Shiru dan Michiro — Kehangatan — Commission milik @nasigarem_
Angin musim gugur berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan yang masih tegak berdiri, membuat dedaunan itu bergoyang lembut dan perlahan menari di udara bak penari yang berputar anggun sebelum akhirnya gugur lembut ke tanah.
Di setiap sudut jalan, tampak dedaunan kering berwarna kuning, merah, dan jingga yang mulai gugur perlahan dari dahan-dahan pepohonan yang mulai tumbang, seakan dilukis dengan sapuan kuas lembut oleh tangan-tangan tak kasat mata. Menciptakan kanvas alam yang penuh warna dan estetika. Daun-daun yang kering berserakan di sepanjang trotoar menciptakan harmoni warna yang kontras dengan langit senja yang mulai memudar, memperindah pemandangan kota dengan keajaiban musim gugur.
Senja pun tiba, menyinari kota dengan cahaya matahari yang mulai memudar, memancarkan gradasi jingga dan merah muda di hamparan langit di atasnya, menciptakan pemandangan indah di antara gedung-gedung tinggi yang memukau seolah kota itu hanyut dalam dekapan cahaya senja. Bayangan gedung-gedung membentang panjang di jalanan, membuat segalanya tampak lebih dramatis di bawah langit yang mulai bersinar.
Sore hari adalah waktu yang sangat menenangkan, dengan anak-anak berlarian di taman, kakek-nenek tua berjalan bersama menikmati sinar matahari terakhir, dan pasangan muda duduk di bangku taman, berbagi cerita di bawah langit senja. Suara tawa anak-anak, kicauan burung yang kembali ke sarang, dan angin yang membawa aroma daun kering menciptakan suasana damai dan penuh kenangan. Seolah-olah setiap orang yang ada di sana terlibat dalam harmoni musim gugur, merasakan iramanya yang tenang namun penuh makna dengan suara langkah kaki yang tak ada habisnya terdengar di rumah gadis rambut putih.
Padahal, ia baru saja asyik bermain gim, tetapi ketenangan itu terusik saat mendengar suara langkah kaki di lantai kayu, baik yang keras maupun tergesa-gesa, seolah mengingatkan akan ketegangan yang selalu menghiasi harinya. Pintu-pintu dibanting menutup, pembicaraan berubah menjadi pertengkaran, dan gelombang amarah seakan tak pernah berhenti menghantam dinding-dinding rumahnya.
Angin musim gugur yang membawa kedamaian justru membuat dadanya terasa sesak karena mendengar suara gaduh di rumahnya yang tak pernah berhenti setiap hari. Ia merasa tak ada ruang untuk melarikan diri kecuali ke dalam pikirannya sendiri. Ia berusaha menutup matanya seakan semua suara itu lenyap dengan tempat yang lebih damai. Ia mencoba melihat ke luar jendela kamarnya, ia melihat orang-orang berjalan di trotoar yang dihiasi dedaunan kering dan bahkan dapat mendengar bisikan angin yang menenangkannya.
Namun kenyataan tak sepenuhnya bisa ia hindari karena suara piring pecah bahkan teriakan kencang selalu muncul setiap detiknya, Michiro tak bisa tenang karena kenyataan yang ada rumahnya memang sangat berantakan, tak ada kedamaian seperti di luar sana. Tetapi Michiro tentu saja tahu untuk mendapatkan sedikit ketenangan, dia harus melangkah keluar—keluar dari rumahnya dan berlari menuju tempat yang selalu membuatnya merasa nyaman. Suatu kesempatan sebelum dirinya semakin muak dengan segalanya, benaknya terlintas sebuah nama. Shiru temannya yang selalu memberinya ketenangan.
“Aku harus keluar dari sini dan menemuinya,” ucapnya pada dirinya sendiri, tangannya yang gemetar mencengkeram pintu. Namun, ia melepaskannya. Sebab, jika ia meninggalkan kamarnya dalam situasi yang kacau seperti ini, ia takut akan terlibat. Dia menghela nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang semakin kencang. Hal seperti ini menjadi sumber ketidaknyamanan baginya. Michiro tahu ini sudah waktunya untuk tidak terus berada disini.
Dia meraih jaketnya dengan tangan gemetar mengenakannya dengan tekad mulai tumbuh, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh tanpa mencari perhatian orang-orang yang berada di rumahnya adalah kabur melewati jendela. Dengan perlahan, ia membuka jendela dan membiarkan angin musim gugur masuk dan mengacak-ngacak rambutnya yang pendek. Aroma dedaunan yang mulai gugur yang menyapu wajahnya itu seakan-akan menghilangkan sebagian beban di dadanya.Dia bisa membayangkan dia sampai di tempat yang membuat dirinya menarik nafas lega dan mengumpulkan kembali sisa-sisa kedamaian yang terbesar yang dia inginkan selama dia hidup.
Sebelum keributan semakin kacau dan dapat menghancurkan harapan terakhirnya dengan gerakannya yang hati-hati, Michiro perlahan berbalik keluar dan mendarat dengan kaki yang sedikit goyah di tanah. Dia menutup jendelanya dengan lembut. Langkahnya yang lambat namun mantap membawanya keluar dari rumahnya dengan nafas yang tersengal-sengal, tetapi dia tidak berhenti. Dia tahu bahwa jika dia kembali ke dalam, dia akan terjebak dalam masalah lagi, dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat dia hadapi saat ini. Ke tempat yang selalu menjadi tempat berlindungnya, tempat di mana dia merasa bebas dan aman, apartemen Shiru, tempat di mana dia berharap dapat menemukan kedamaian yang telah hilang dari hidupnya.
Dia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang, merasa sedikit lega seiring dengan semakin jauhnya langkahnya dari tempat yang penuh konflik. Udara musim gugur yang dingin menyentuh kulitnya membuatnya sedikit gemetar, tetapi justru menambah kesadaran bahwa ia telah mengambil keputusan yang benar. Pikiran tentang Shiru kembali muncul di benaknya, membawa perasaan tenang yang sudah lama ia rindukan. Apartemen Shiru adalah tempat yang baginya tidak hanya memberikan pelarian, disana semua ketegangan seakan larut dalam keheningan yang nyaman, di mana tidak ada teriakan, hanya ketenangan dan kehadiran yang menenangkan itu dia bisa melakukan apapun dengan bebas.
Langit mulai meredup, senja berganti malam, di sepanjang jalan, lampu-lampu jalan mulai menyala, cahayanya menerangi langkah Michiro yang semakin mantap. Ia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menghangatkan diri. Setiap detik di luar rumah terasa melegakan.
Michiro terus melangkah, memeluk tubuhnya erat-erat, melindungi diri dari angin musim gugur yang dingin. Napasnya yang tadinya tersengal-sengal mulai teratur, dan kecemasan yang sedari tadi membayangi perlahan memudar, tergantikan oleh keyakinan bahwa ia hampir aman berada di apartemen Shiru.
Setelah beberapa saat, Michiro akhirnya tiba di depan gedung apartemen yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menarik napas dalam-dalam untuk lebih menenangkan dirinya. Tangannya yang tadinya gemetar, sebagian karena kedinginan dan sebagian lagi karena kecemasan, kini mulai stabil, meskipun udara malam masih menusuk kulitnya. Dengan langkah hati-hati, Michiro mengetuk pintu apartemen Shiru dengan lembut.
Shiru asyik dengan dunianya dengan permainan yang belum selesai, tahu bahwa orang di luar pintu itu mungkin lebih penting daripada level yang ingin ia selesaikan. Dengan gerakan malas, ia bangkit dari sofa, rambut hitamnya acak-acakan, menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah duduk di sana untuk waktu yang lama. Ketukan itu berulang kali, kali ini sedikit lebih lembut. Saat ia membuka pintu, mata Shiru bertemu dengan wajah Michiro yang rapuh di bawah sinar bulan. Mereka saling menatap sejenak, dengan tatapan lembut dan tenang tanpa perlu berbicara. Shiro segera menggeser tubuhnya, mengundang Michiro untuk masuk.
“Masuklah, Micchan,” kata Shiru lembut, suaranya setenang bisikan angin malam yang lembut.
Michiro hanya mengangguk, melangkah masuk ke apartemen yang hangat itu. Begitu pintu tertutup di belakangnya, dinginnya udara musim gugur yang menggigit tidak lagi terasa. Dengan Shiru, di tempat yang damai ini, ia tahu bahwa untuk sementara waktu, semua kekacauan di luar sana dapat ditinggalkan.
Kini, Michiro bisa bernapas lega sembari berbaring di sofa. Suasana di apartemen Shiru yang tadinya dipenuhi suara game, berubah sunyi, hanya terdengar dengungan AC dan desiran angin dari luar.
Shiru hanya menatapnya sebentar sebelum kembali duduk di sampingnya. Tidak ada kata-kata, hanya kebersamaan yang sederhana. Shiru tahu bahwa Michiro datang ke sini untuk mencari pelarian dari sesuatu yang berat, sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Kemudian, ia meraih alat pengontrol permainannya dan duduk di sebelah gadis itu, tetapi kali ini ia mengatur volume ke tingkat yang lebih rendah, memberi Michiro ruang untuk menenangkan diri.
Beberapa menit berlalu tanpa kata-kata, Michiro hanya menatap langit-langit, hanya terdengar suara permainan yang samar di sekitar apartemen. Akhirnya, Michiro berbicara dengan suaranya lemah dan penuh kelelahan nyaris tersendat-sendat. Ia mulai berbicara, mengungkapkan beban yang telah lama disimpannya sendiri.
“Aku... tidak tahan lagi berada di rumah. Terlalu banyak kebisingan, terlalu banyak hal yang membuatku stres...” Michiro berbicara pelan, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu harus ke mana lagi, jadi aku datang ke sini.”
Suaranya terdengar sangat lelah, ada getaran dalam kata-katanya, seolah-olah semua emosi yang telah ditahannya akhirnya keluar. Namun, kata-kata yang dia ucapnya membuat dirinya merasa lega seolah-olah beban telah terangkat dari pundaknya hanya dengan mengucapkannya.
Shiru tidak menjawab hanya mengangguk pelan sambil menatap layar game, jari-jarinya masih bergerak di kontroler. Shiru mendengarkan tanpa menyela, memberi Michiro ruang untuk mengungkapkan semuanya. Michiro tahu bahwa Shiru mendengarkan dengan saksama. Shiru jarang berbicara panjang lebar, tetapi kehadirannya selalu memberikan kenyamanan yang dibutuhkan Michiro. Tidak perlu kata-kata, tidak perlu solusi. Berada di dekat Shiru saja sudah cukup untuk membuat Michiro merasa sedikit lebih baik.
Karena yang dibutuhkan Michiro bukanlah solusi dan nasihat, tetapi kehadiran Shiru yang membuatnya merasa nyaman. Shiru dapat merasakan beban yang ditanggung Michiro, meskipun dia tidak selalu pandai berkata-kata, dia tahu bagaimana menawarkan kenyamanan dalam keheningan.
“Aku ngerti,” gumam Shiru akhirnya, suaranya rendah dan tenang, seperti biasa. “Kamu bisa di sini selama yang kamu butuh, Micchan.”
Michiro menoleh, menatap Shiru yang masih fokus pada layar. Dia tidak butuh kata-kata lebih dari itu. Hanya kehadiran dan dukungan tanpa syarat yang Shiru berikan sudah cukup. Di tengah keheningan, Michiro akhirnya menutup mata sembari menarik napas panjang, sedikit lebih tenang dari sebelumnya, senyumannya pun terlintas di wajahnya. Dengan Kehadiran Shiru di sisinya, suara pelan dari game, dan kehangatan apartemen yang sederhana—semua ini memberi Michiro rasa nyaman.
Shiru terdiam sejenak, menyadari bahwa terlalu tenggelam dalam dunia game mungkin bukan hal terbaik saat Michiro berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu Michiro pasti akan bosan jika Shiru sibuk bermain game sendiri. Hal itu membuatnya segera mematikan gamenya dan menaruh kontroler tersebut di atas meja, lalu berbalik menatap Michiro yang saat itu tampak tenang, ia mendekatkan wajahnya menatapnya dengan senyum terukir di bibirnya. Tanpa ia sadari, jari-jarinya bermain di sela-sela helaian rambut Michiro dan membelai rambutnya dengan lembut. Michiro yang hampir tenggelam dalam ketenangan, tiba-tiba membuka matanya. Saat itulah pandangan mereka bertemu dengan mata Shiru yang berada begitu dekat dengannya membuat suasana di sekelilingnya hening namun nyaman.
“Wah, Shiru, apa yang kau lakukan! Kenapa kau begitu dekat?” ucap Michiro kaget, wajahnya sedikit memerah, sementara dadanya masih berdebar-debar karena terkejut. Ia duduk perlahan, menatap Shiru yang masih menatapnya dengan senyuman. Merasa canggung, Michiro menggelengkan kepalanya dan mengalihkan pandangan ke arah lain membuat Shiru terkekeh.
“Hei, Micchan, aku punya camilan! Bagaimana kalau kita makan sambil ngobrol santai?” tanyanya tenang, mencoba mencairkan suasana yang sempat menjadi canggung itu. Michiro tersenyum lalu mengangguk pelan tentu saja perutnya juga sedikit lapar setelah kabur dari rumahnya tanpa menyiapkan apa-apa. Suasana hatinya yang perlahan terasa lebih ringan ketika berada di apartemen Shiru yang menenangkan.
Shiru kembali sambil membawa dua bungkus keripik, cokelat, dan minuman, lalu menaruhnya di meja kecil tepat di depan mereka. Ia kembali duduk di sebelah Michiro, membuka salah satu bungkus keripik, dan mulai memakannya.
“Micchan, lihat, langit malam ini cerah sekali. Bintang-bintang terlihat,” kata Shiru sambil melihat ke luar jendela besar apartemennya. Michiro mengikuti arah pandangan Shiru dan mengangguk. Langit malam yang dihiasi bintang-bintang memang tampak menenangkan, membuat Michiro merasa sedikit lebih damai.
“Ya, jarang sekali melihat bintang seperti ini di kota,” jawab Michiro, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Keduanya menyantap camilan mereka sambil berbincang santai tentang hal-hal kecil—mulai dari permainan yang dimainkan Shiru, hingga hal-hal ringan seperti film yangakan mereka tonton nanti. Obrolan mereka sederhana, tetapi penuh kehangatan, seolah waktu berjalan lambat, memberi mereka ruang untuk bernapas.
Ketika camilan mereka habis dan mereka merasa kenyang, . “Sebelum tidur, kita main game dulu, ya? Tidak usah lama-lama, beberapa ronde saja,” kata gadis itu sambil mengambil kontroler miliknya dan mengedipkan mata ke arah Michiro.
Michiro terkekeh, terhibur oleh semangat Shiru yang tak pernah padam. “Baiklah, Shiru, tapi jangan membuatku kalah terus-terusan, ya?” jawabnya bercanda, meskipun ia tahu Shiru kemungkinan besar akan menang di setiap ronde.
Mereka duduk di depan TV, memainkan game ringan namun sangat seru. Tawa dan canda mereka memenuhi ruangan, dan untuk sesaat, semua masalah yang menghantui Michiro menghilang. Hanya mereka berdua, dalam kehangatan apartemen Shiru, bermain game hingga rasa kantuk mulai menghampiri mereka..
Akhirnya, saat malam tiba, mata mereka mulai terasa berat. Mereka memutuskan untuk mematikan konsol, membersihkan sisa makanan dan membereskan kekacauan ruang tamu setelah bermain game itu. Ketika semuanya beres, Shiru menarik tangan Michiro dengan lembut dan mengajaknya masuk ke kamar. “Ayo, kita tidur. Besok masih ada hari panjang yang perlu kita lalui,” ucap Shiru dengan nada tenang, sembari meregangkan tubuhnya yang lelah.
Michiro mengikutinya tanpa banyak bicara, lega karena memiliki momen santai seperti ini. Keduanya naik ke tempat tidur dan berbagi selimut tebal di bawah malam yang dingin. Shiru segera memposisikan dirinya untuk tidur dan langsung tertidur karena dia suka tidur. Michiro perlahan menutup matanya, merasa hangat, aman, dan jauh dari semua kekacauan yang selama ini mengganggunya. Dengan kehadiran Shiru di sampingnya, kesunyian malam menjadi dipenuhi dengan ketenangan, dan keduanya tertidur dengan damai, siap menyambut hari berikutnya. Di bawah cahaya bintang-bintang, mereka tidur dengan damai dan tenang, menantikan hari-hari yang akan mereka lalui bersama di hari-hari yang akan datang.
END
© ilyfigaro on twitter, 2024