write.as

Giverny, Normandy France

May 2024 ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Minhyun, ‏‏‎ ‎ Sumpah, gue harap ini surat beneran nyampe ke lo. Maksud gue, nyampe sebelum gue balik ke Jakarta.

Gue nggak ngerti kenapa Jihoon maksa buat ngirim surat ke keluarga dan temen-temennya padahal ada teknologi yang namanya email. Even better, mending video call aja jadi nggak usah capek-capek nulis dan buang-buang kertas. But he insisted and somehow I got dragged into it, so here I am.

Anyway. How are you?

Hope everything's fine. Denger-denger, lo baru buka semacam sekolah seni untuk anak-anak yang kurang mampu? Damn. That's very noble and philanthropist of you. Gue baru aja stop nulis untuk ngasih lo apresiasi dengan tepuk tangan. Super meriah tepuk tangannya, sampe-sampe ada yang nengok dan ngedesis ke gue karena berisik. Hahah.

Gue masih di Giverny. It's... very different from Paris, that's for sure. Jauh lebih tenang, kecuali kalo lagi high season, since it's a common tourist destination. Iyalah, secara ini tempat tinggalnya Claude Monet.

Btw, you really should visit this place. Monet's gardens are exquisite, no joke. Nggak heran dia ngededikasiin waktu dan energi untuk nge-capture pemandangan itu di lukisan-lukisannya. Sampe matanya kena katarak pun, objeknya juga mostly tetep sama. So it's easy to say that I'm highly inspired in a place like this, dan lo tau kan seberapa cintanya gue dalam ngelukis landscape. Udah kayak surga, dikelilingin sama pemandangan yang sebegitu indahnya.

Oh but of course, no landscapes can ever compare to the beauty of Park Jihoon.

Yah, anaknya langsung nengok. Gue barusan cengengesan nulisnya, dan sekarang dia lagi ngeliatin gue dengan tatapan curiga.

Lo udah denger, webtoonnya mau dijadiin drama?

Lucu banget, pas dia pertama kali dapet offer itu via email, langsung diem selama beberapa menit. Kayak nge-hang. Mesti digoyang-goyangin dulu baru sadar. Excited banget anaknya, sekarang lagi proses bikin script dan lagi ngobrol-ngobrol soal aktor yang pas untuk di-casting. Katanya dia mau bener-bener ngawasin dan terlibat sama seluruh prosesnya dari a sampe z, nggak boleh ada yang kelewat. Semua mesti lewat persetujuan dia. Kan, emang dia nih sebenernya ambis dan perfeksionis juga. Tapi harus di bidang yang dia bener-bener passionate aja.

Our life here has been partly peaceful. Well, kita di sini baru beberapa bulan sih. Tapi gue bisa bilang ini paling peaceful dibanding tempat-tempat yang sebelumnya kita kunjungi. I think I told you, or Ong—gue lupa. But our first year abroad was a mess. Banyak masalah, banyak berantem. Mungkin karena itu pertama kalinya kita bener-bener tinggal berdua, di New York pula, jauh dari keluarga dan lingkungan yang familiar. Itu juga saat-saat di mana dia lagi struggle ngerjain project webtoonnya. Because it's his first ever serious and long-term project, dan ternyata nggak gampang. Gue nggak tega ngeliatnya, tiap malem dia begadang untuk ngejar chapter baru biar bisa update tiap minggu. Tangannya sampe sering kram; dan dia baru mau berhenti kalo udah gue ciumin dan tarik ke ranjang. Lol, is that too much information?

But, we managed to get through it. No arguments are left unsolved before bedtime, that's our rule.

Tapi sebenernya, kita udah ngerencanain untuk pulang kok.

Or rather, baru gue aja sih.

Gue udah rencana untuk beresin pameran di sini dulu, baru beli tiket pulang. Ini lucu, tapi dari sekian banyak pameran yang pernah gue selenggarain, tetep aja yang paling digemari itu eksibisi muka Jihoon. Yeah, that one from years ago. Sampe sekarang pun, gue selalu dapet demand untuk nyelenggarain pameran itu lagi. Jihoon sampe muak ngeliat mukanya sendiri dipajang di mana-mana, hahaha. Sekarang gue lagi on progress untuk nge-expand eksibisi itu, karena tentunya udah bertambah koleksi wajah Jihoon seiring dengan bergantinya tahun. Bakal gue adain di Jakarta, nanti kalo udah balik.

‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Speaking of which... ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

Gue sebenernya ada satu tujuan untuk ngirimin lo surat ini sih.

Since you're now a married man, I wanna ask you something.

‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (“Kak Daniel,” suara Jihoon memecah konsentrasinya.

Daniel menoleh, meletakkan pulpennya dan melipat kertas surat itu, kemudian memasukkannya ke dalam amplop. Dia tersenyum, menerima Jihoon yang tanpa aba-aba, mendudukkan diri di pangkuannya.

“Nulis apa? Sampe ketawa-ketawa sendiri,”

Pria itu menyingkirkan rambut yang jatuh ke dahi Jihoon, lalu meletakkan kedua tangannya di pinggul pemuda yang lebih kecil itu.

“Surat,” jawabnya simpel, lalu ia langsung mengaduh begitu Jihoon mencubit pipinya tanpa belas kasihan.

“Sakit, sayang,” protesnya, mengusap pipinya sendiri.

“Lagian jawabnya gitu!” tapi Jihoon sudah menundukkan wajah dan memberi kecupan pada pipinya, “di sini yang sakit?”

“Di sini,” Daniel menunjuk bibirnya.

Pria itu menyeringai penuh kemenangan lantaran Jihoon hanya memutar bola mata, tapi tetap memutuskan untuk menghumorinya dan mencium bibirnya dengan mesra.) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ How do you convince Seongwoo that he's the one?

Hmm, atau gue ralat deh pertanyaannya. How do you convince Seongwoo to settle down with you? Or rather, gimana cara lo bisa tahu kalau pasangan lo udah siap untuk ke jenjang berikutnya?

I've been mulling about this for nearly months and I still haven't gotten my answer. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (Keduanya memejamkan mata, suara angin semilir dan hangatnya sinar matahari yang menerobos jendela cottage tempat mereka tinggal seolah menjadi penambah rasa kantuk. Musim semi di Giverny, desa kecil yang berjarak 80 km dari Paris, sangatlah menyenangkan. Ada untungnya juga, mereka memilih destinasi yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan‏‏‎—tidak seperti New York atau Tokyo yang siang dan malamnya tidak bisa dibedakan. Awalnya memang seru, hidup di tengah kota-kota besar yang tidak pernah tidur. Tapi pada akhirnya, mereka memutuskan untuk rehat sejenak dari semua kebisingan itu dan mendekat ke alam.

Daniel bergerak di kursinya, membawa Jihoon ke dalam pelukannya. Ia mengintip ke pemuda itu, dan tersenyum geli lantaran Jihoon kelihatannya sudah terlelap. Ia mengulurkan tangan, menelusuri garis wajah Jihoon dengan jemarinya.

“Elus rambut aja,” pinta Jihoon tiba-tiba, suaranya teredam di leher Daniel. Matanya masih terpejam.

Daniel menaikkan alis, “Kirain udah nyenyak,” tangannya bergerak ke rambut Jihoon.

“Hampir,” lalu ia mendesah nyaman saat jemari Daniel menyisiri rambutnya.

“Sayang,” pria itu berkata, setelah selang beberapa menit. “I've been thinking.”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Maksud gue, dari pihak lo pasti udah siap, kan. You're the type to settle, after all. Sementara Ong itu setau gue agak lebih tricky, hahaha. Dulu banget, dia bahkan pernah bilang gak mau married. Mau single aja selamanya, karena takut gak ada yang bisa muasin dia kayak si cowok ons-nya dia dulu.

Wait.

What the fuck. That was you. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (Jihoon hanya bergumam penuh kantuk, “Mikir apa?”

Daniel menghentikan usapannya pada rambut Jihoon, menatap ke luar jendela.

“What do you think about... going home?”

Kali ini, Jihoon mengerjapkan mata, menatapnya.

“Rumah?”

Daniel mengangguk, meraih tangan Jihoon dan menciumnya pelan.

“Balik ke Jakarta. For good,” katanya, “gimana menurutmu?”

Tak disangka, Jihoon hanya mengedikkan bahu. “Terserah.”

“Loh, kok terserah?”

“Ya, terserah. Ngikut kakak aja.”

Daniel menjawil pipinya gemas, “Kamu nggak kangen rumah?”

“Kan saya udah di rumah,” jemari bulatnya menggambar hati imajiner di dada Daniel, “mau di belahan bumi mana pun, asal sama kakak. Itu udah di rumah.”

Ada hening yang nyaman sampai ada bunyi srot besar.

“Sayang, saya nangis nih,”

“Ih, nggak jelas,”

Pelukan Daniel mengerat, pria itu mengerang, “Kamu nih kok jadi lebih romantis dari saya sih?”

“Dari dulu kan emang saya yang lebih romantis. Buktinya ya di karya TA saya,”

“Iya, manis banget. So sweet. Saya kalah deh,” keluh Daniel, “gimana dong,”

“Gimana apanya? Ya belajar lah, sana,”

“Iya. Kamu tunggu aja ya. Nanti pokoknya kamu bakal tercengang.”

Jihoon mengangkat kepala, menatapnya curiga. “Emang kakak mau ngapain?”

Kali ini, Daniel hanya mengedipkan mata jenaka.

“You'd just have to wait until we get home.”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

‏‏‎ ‎ You know, Jihoon and I are both competitive freaks, and he's been leading in the romantic department—so naturally, I have to one-up him.

So it's like this; gue rencana mau pulang di akhir bulan ini, tepatnya di tanggal 30 Mei. Semua lukisan gue udah dikirim jauh sebelum itu, dan gue udah atur semuanya agar bisa siap pameran di tanggal 1 Juni. Awalnya gue mau ngadain di hari ulang tahun Jihoon, biar bisa dobel bahagianya. But then, I remembered. 1 Juni adalah tanggal di mana gue dateng ke pameran TA Jihoon, dan hari di mana gue pertama kali mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Is it too cheesy? That I'm doing it on the anniversary of the day he first said I love you to me?

But that's not my main concern. Gue cuma khawatir dia belum siap. Walaupun perbedaan umur kita nggak sejauh itu—gue tetep khawatir dia belum mau settle down sama gue. Sedangkan tahun ini, gue udah nginjek umur 30. I already know he's the one from such a long time ago, so this is just me waiting for him to be ready. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ But I guess, when will a person ever be ready, anyway? ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (”Jawab nggak—” Jihoon berlari kecil ke arah Daniel yang sudah melepaskan diri dari pelukan Jihoon, dan sekarang sedang berjalan ke arah tempat tidur mereka. Pemuda itu memeluk punggungnya, tapi tangan-tangannya sibuk menggelitiki perut Daniel dengan anarkis. “Mau ngapain, kak!”

“Kan kejutan, sayang,” Daniel meringis, menggenggam erat tangan Jihoon agar berhenti menyiksanya.

“Mau tau sekarang!”

“Nggak,” lalu ia berbalik badan, merogoh sesuatu dari kantongnya dan buru-buru menyembunyikannya di belakang tubuh.

Jihoon memicingkan mata, “Itu apa?”

“Apa?” Daniel pura-pura bodoh, “bukan apa-apa,”

Tangan Jihoon terulur, berusaha mengambil barang itu. Dengan sigap, Daniel mengangkat tangannya ke atas, jauh dari jangkauannya. Jihoon langsung menarik napas, dan berjinjit. Tapi tentunya tidak sampai.

“Kakak!” ia berjinjit dengan seluruh tenaganya, “kasih sini!”

Namun yang dilakukan Daniel selanjutnya adalah menerjang tubuh kecil Jihoon ke tempat tidur, menibannya sampai pemuda itu mengerang dan memukul-mukul punggungnya.

Ia tergelak begitu kencang sebelum berguling ke samping.

Jihoon balas tertawa, karena ikut merasa geli dengan situasi ini. Lalu ia melebarkan mata, meraba kasur itu.

“Mana barangnya?”

Daniel memandangnya gemas dari posisinya yang sedang rebahan. “Udah ilang.”

Jihoon membelalakkan mata, “Kok bisa!”

“Bisa dong. Saya kan pesulap.”

“Serius!”

“Lah, beneran. Saya lagi training buat jadi the next Houdini,” lalu Daniel merentangkan tangan, “sini dong,”

Menggerutu, Jihoon masuk ke dalam pelukannya. Ia mendongak, “Kak, serius. Itu apa?”

“Nggak penting, sayang. Beneran. Cuma struk belanjaan.”

“Ish... trus kenapa tadi kayak gitu?”

“Ya gapapa. Ngisengin kamu aja,”

“Ngeselin!”

Daniel tergelak, “Tapi cinta kan?”) ‏‏‎ ‎ ‏‎‏‏‎‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Dammit. This letter's getting too long.

Yaudah, intinya gitu aja. Salam buat semuanya, bilangin gue bentar lagi bakal balik. Siap-siap buat si Ong, dia bakal sibuk ngurusin jadwal gue lagi. Wkwkwk.

Kalo surat ini udah sampe, lo balesnya pake email aja ya. Ya kali anjir, pake surat juga. Keburu gue udah di Jakarta, suratnya baru sampe di Perancis. Atau pake chat juga gak masalah. Mana aja deh, you know where to reach me.

Btw, Hyun.

After all this, I don't regret it. I don't regret everything that happened. Not when it got me here, not when it got me meeting him. It took years, but I'm complete. My life's complete.

Well. That is, if he says yes to me.

Wish me luck, Hyun. See you soon in Jakarta. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

Sincerely,

Daniel ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

P.s. Lo nggak keberatan kan, jadi best man gue? ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (“Cinta. Saya cinta kakak.” ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

Musim semi di Giverny selalu hangat dan menyenangkan. Lembayung senjanya menyinari kedua sosok itu dari sela-sela jendela. Dua insan itu saling merengkuh, bibir mereka saling bertaut. Keduanya menyatu dalam kehangatan. Rasanya seperti hanya ada mereka yang hidup di dalam gelembung mereka sendiri, terlindungi dari dunia.

Tapi toh kali ini, seluruh dunia sudah memberikan mereka restu. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ Tertinggal di bawah sana, adalah sebuah kotak beludru mungil yang tergeletak dalam diam di bawah tempat tidur. Menunggu untuk diambil dan disimpan baik-baik oleh pemiliknya, sebelum akhirnya dibuka dan diserahkan, sebagai tanda cinta yang mengikat.

Sebuah bukti komitmen untuk selalu ada dan tidak saling meninggalkan.

Sebuah janji untuk selamanya.)