faaosh

“Morning cantik.”

Berdiri cowok paling nyebelin selama gue idup. Nggak deng bercanda lebay amat gue. Gue memicingkan mata gue hanya untuk melihat keadaaan kali ini.

Rambut kucel, udah gitu telanjang dada adalah kebiasaan dia. Katanya gerah padahal bulan Desember kan udah masuk musim penghujan dan Jakarta akhir-akhir ini sering hujan.

“Pagi palalo! tuh liat diluar matahari segede gitu.” omongan gue emang selalu ketus kalau menyangkut dia

“Yaudah iya maap. Marah-marah mulu deh lo.”

Terlihat beberapa botol minuman dan ciki-cikian berserakan di meja dekat TV. Sebotol wine yang sudah kosong juga ada.

“Lo gapapa gar?” dia sekarang sudah ada di samping, duduk bersama gue

“Gua kenapa emang?”

“Itu.” gue menunjuk sebuah botol wine yang sudah kosong

Sagara Mahendra adalah orang paling toleran sama alkohol. Mau minum 5 botol juga nggak akan mabok tuh orang. Dan biasanya dia minum kalau lagi banyak pikiran.

“Pengen aja.”

Gue beralih menatap orang yang ada dihadapan gue. Terdapat sedikit kebohongan dari matanya.

“Yaudah ah gua mau mandi dulu.”

Dia berdiri kemudian mengecup puncak kepala gue dan mengelusnya pelan.

“Lo ganti sampo Ra?”

Gue diem tak menjawab. Satu hal yang paling gue suka dari dia, sering memerhatikan hal-hal kecil dari gue yang bahkan gue sendiri aja tuh nggak peduli.

“Iya di indomart deket kost gue kosong waktu itu jadi gue beli yang ada aja.”

“Besok cari sama gue, wanginya terlalu nyengat. Gue nggak suka!” ucapnya sebelum berjalan ke kamar mandi. Gue mengganguk sambil membersihkan beberapa sampah bekas makanan di depan TV

“Gar lo ganti parfum ya?”

“Nggak denger! Apaan!”

Gue langsung mengingat kejadian sebelum gue dateng kesini. Cewek dengan paras cantik, tinggi semampai. Dan auranya yang sangat mahal.

Lo pernah nggak sih kayak liat orang auranya tu gila banget bikin mau ngeliat terus. Nah itu deskripsian dari cewek yang gue temui di lift tadi.

Wanginya sama kayak yang sekarang gue rasain disini. Kalo di lihat dari mukanya sih nggak mungkin temen have fun nya Sagara.

“Sorry deh, lo kok ngambek sih.”

“Gue kan udah bilang. Jangan lupa di print!”

“Itu kan udah di print.”

Cewek dengan pakaian kantor formal itu pun menghela nafas panjang.

“Terus kalo udah kayak gini gimana? Lo kan tau gimana pak Dion.”

Gua menoleh setelah mendengar salah satu orang yang gua kenal di perbincangkan. Seterkenal itukah Dion?

Dua sejoli ini masih tidak sadar dengan kehadiran gua. Mereka berdua berhenti di lantai 5. Pandangan kita bertemu sebelum akhirnya ia dan cowok itu keluar dari lift.

“Gausah galak-galak lah Yon.” ucap gua setelah memasuki ruangan pada lantai paling akhir itu

“Ck ngapain lo disini?” mukanya berubah sinis setelah melihat kedatangan gua. Setelah gua pikir Dion memang seperti ini setiap harinya.

“Sagara gua nggak izinin lo ya duduk disitu!”

“Lah ini kan sofa, fungsinya buat duduk. Gimana sih lo belajar jauh-jauh ke Prancis tapi nggak tau fungsi sofa.”

Dion memilih untuk duduk ditempatnya dan gua berbaring sambil memainkan ponsel. Hampir tiap minggu gua kesini hanya untuk merecoki Dion.

Tok 3x

“Masuk.”

Gua memenjamkan mata sebentar.

“Permisi pak.”

“Duduk disana saja.” Sayup-sayup gua masih bisa mendengar Suara Dion berbincang dengan seorang cewek.

“Yon ada bir nggak?”

Dion ngelirik gua dengan tatapan yang sinis banget. Ampe mau copot tuh mata.

“Jelek banget kantor lo. Masa bir aja nggak punya.”

Cewek yang sama sewaktu di lift itu melirik gua sekarang. Tatapannya tuh antara terpesona sama aneh.

“Ada karyawan gua bisa diem sebentar nggak sih? Gua nggak enak sama dia.” Ucap Dion dengan penuh penekanan

“Lo bosnya kenapa harus nggak enak?”

“Gua bukan lo yang suka seenaknya. Jadi berhenti ceramahin gua. Gua ngerti apa yang gua lakuin bener atau salah.”

“Panjang amat, Pidato lo?” Gua berjalan kearah pintu berniat untuk pulang. “Jangan galak-galak karyawan lo takut sama lo.”

Gua sengaja berbicara sedikit teriak dan benar saja orangnya merasa. Cewek dengan lesung pipit di pipinya itu pun menoleh ke arah gua sebelum akhirnya gua menutup pintu ruangan.

Gue melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan. Menunggu keajaiban agar waktu bisa terhenti sebentar saja.

“Eh mas ayok jalan.” ucap gue dengan sedikit lega karna berfikir tidak ada gocar yang menerimanya.

Cowok dengan setelan seadanya itu menatap gue dengan tatapan heran. Entahlah gue bukan pakar ekspresi yang bisa menebak ekspresi wajah seseorang.

“Kenapa Mas?”

“Lo siapa?”

“Nama saya Zora Mas. Kenapa tanya nama Mas?”

“Aneh.”

Gue tidak pusing-pusing mendengar ucapan aneh dari mulut cowok itu. Gue sangat paham bahwa mood seseorang memang berubah-ubah. Mungkin aja hari ini ada hal buruk yang di alami cowok itu.

“Ini Maps nya ya Mas.”

Tidak ada jawaban dari cowok itu. Ia fokus menatap ke arah depan tanpa melihat sekitar.

“Ini Mas 35 ribu kan? Makasih banyak ya Mas. Hehe hati-hati dijalan.”

Tidak ada yang tahu bahwa kejadian itu adalah awal dari kesedihan selanjutnya…

Setelah The Vagas tampil di tutup oleh Cakra yang memainkan drumnya. Keren juga sepupu gue. Ternyata benar penampilan Cakra saat di pangging memang sangat berbeda. Tidak heran banyak yang menyukainya.

“Woi abis ini Kalen nggak sih?” tanya Bintang dengan muka lelahnya

“Iya kayaknya dah kan emang dia sering tampil terakhir.”

Setelah ucapan Amora barusan terdengar suara riuh menyambut kedatangan sang penyanyi khas lagu mellow. Cewek itu berjalan dengan membawa gitar pink kesayangannya.

“Hai semua!” salam Kalen yang membuat suasana semakin ramai. Banyak penggemar yang menanti kedatangan sang idola ini.

“Okey..menurut kalian malam ini aku bawain lagu apa?”

“Yang pasti semuanya sedih.”

Jawaban salah satu penggemar nya membuat cewek dengan senyuman manis di bibirnya itu pun tertawa.

Diiringi petikan gitar dengan pembawaan khas nya pun lagu itu sukses membuat gue merasa semua orang menyakiti gue.

Rentetan kebahagian masa lalu yang mungkin sampai saat ini masih belum bisa untuk gue lupakan.

Semua kebahagian di masa lalu

Hilang di bawa terpanya hujan

Lirik yang siapapun nyanyikan ini sukses membuat gue menangis. Menahan segala hal yang selama ini nggak pernah gue bagi sama siapapun.

Mata gue terpaku pada cowok dengan pakaian seadanya persis seperti pertama kali kita bertemu itu.

Cowok Barisan paling belakang menghisap rokok ditangannya itu menatap ke arah panggung dengan tatapan yang gue sendiri gatau apa artinya.

Satrio Mahendra POV

“Ada yang mau papi bicarakan. Kapan kamu kembali ke Indonesia? Ajak adikmu juga dia susah sekali papi temui.”

Setelah menutup telfon dari Papi. Gua berjalan membawa beberapa koper. Biasanya asisten gua yang akan membawakan, tetapi asisten gua nggak bisa ikut karna ada kerjaan lain di LA.

Sudah 3 tahun tidak pulang rasanya aneh sekali merasakan lagi panasnya Indonesia. Tapi bagaimanapun gua tetap lahir di negara ini.

“Astaga.” kaget akan apa yang gua lihat pertama kali setelah sampai di Apartemen daerah Kebayoran baru.

Gua diam untuk waktu yang lama hanya memerhatikan adik gua yang ternyata sudah sebesar ini. Terakhir kali kita bertemu di acara ulang tahun Omah. Setelah itu kita hanya berbicara di telfon itu aja kalo dia jawab.

Mulut bau alkohol dan rambut yang berantakan. Ketika melihat ke arah meja gua melihat beberapa botol minuman keras. belum lagi rokok yang sudah setengah berhamburan di dekat sana.

Gua pernah bertanya pada salah satu temannya Cakra yang juga tetangga kita dulu waktu kecil.

Tell me why sagara is so crazy about drinking?” Alasan gua menanyakan ini karna gua bahkan nggak kuat minum 3 sampai 5 botol minuman itu.

Tapi adik gua so crazy.Entah berapa beban yang ia pikul sampai memutuskan minum sebanyak itu.

“Dia pernah cerita ke gua kalo dia nggak bisa tidur kalo nggak minum.”

Jadi selama ini?

“Dia insomnia parah sampe bisa 2 hari nggak tidur. Waktu gua sama anak-anak yang lain ngingetin dia malah marah dan berakhir tonjok-tonjokan.”

Mungkin tuhan sedang menegur gua untuk lebih perhatian pada seseorang yang kesepian sejak dulu.

Bagaimana dia bisa hidup dengan baik selama ini?

Saga..adik kecil gua yang sekarang udah bisa pukul-pukulan.

Malam itu gua duduk di sofa sekalipun gua cape tetapi rasanya gua tidak ingin untuk tidur.

Tidak sengaja menemukan sebuah foto yang masih tersimpan rapih di belakang lampu tidurnya.

Why do you still remember the girl who never saw your whereabouts?

Gue melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan. Menunggu keajaiban agar waktu bisa terhenti sebentar saja.

“Eh mas ayok jalan.” ucap gue dengan sedikit lega karna berfikir tidak ada gocar yang menerimanya.

Cowok dengan setelan seadanya itu menatap gue dengan tatapan heran. Entahlah gue bukan pakar ekspresi yang bisa menebak ekspresi wajah seseorang.

“Kenapa Mas?”

“Lo siapa?”

“Nama saya Zora Mas. Kenapa tanya nama Mas?”

“Aneh.”

Gue tidak pusing-pusing mendengar ucapan aneh dari mulut cowok itu. Gue sangat paham bahwa mood seseorang memang berubah-ubah. Mungkin aja hari ini ada hal buruk yang di alami cowok itu.

“Ini Maps nya ya Mas.”

Tidak ada jawaban dari cowok itu. Ia fokus menatap ke arah depan tanpa melihat sekitar.

“Ini Mas 35 ribu kan? Makasih banyak ya Mas. Hehe hati-hati dijalan.”

Tidak ada yang tahu bahwa kejadian itu adalah awal dari kesedihan selanjutnya…

“Sini gua bawain deh tas lo. Kayaknya berat amat.” kebiasaan deh ngomel mulu kalo sama gue

“Gausah gue masih bisa bawa sendiri.”

“Kebiasaan deh sok kuat.”

Habis itu dia membawakan tas gue yang sebenernya nggak berat hanya sedikit berat karna ada laptop di dalamnya.

“Lagian lo ngapain sih minta naik kereta?”

“Biar nggak macet. Terus gue bisa ngobrol deh tanpa ganggu lo nyetir.” jawab gue sedikit antusias

Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara kita. Sagara yang duduk disebelah gue itu memainkan game di ponselnya dengan tenang. Sedangkan gue diam hanya mendengarkan lagu dari playlist spotify gue sambil menikmati pemandangan.

“Gar..”

“Hmm”

Abis itu gue diam lama menunggu reaksi apa yang dia keluarkan. Ternyata ia mematikan ponselnya beralih menatap gue menunggu penjelasan.

“Gajadi deh.” gue mengurungkan niat gue untuk bertanya siapa sosok di balik foto-foto di instagram Sagara selama ini.

“Gajelas lo. Apa nggak! Gua udah berhenti main gamenya. Lo kesel karna gua cuekin?”

“Heh nggak gitu! Mana pernah gue kesel lo cuekin! Lo nggak bales chat gue seminggu aja gue biasa aja.”

Sagara melepas topi hitam yang sering ia pakai ini. Rambutnya dibiarkan berantakan entah apa alasannya.

“Mau denger juga dong.” ucapnya sambil merebut pangsat airpods pada telinga kiri gue

“Galauin siapa sih lo? Galau mulu lagu lo.”

“Lo.”

Dia langsung dia tidak tertarik melanjutkan obrolan tadi. “Gue bercanda kali gar. Ngapain galauin playboy kaya lo.”

“Gapapa perasaan suka itu hak manusia.”

“Najis kok jadi kepedean sih!”

“Siapa tau lo beneran naksir sama gua.”

“Skip.”

Biasanya disepanjang jalan gue akan membicarakan hal random yang spontan gue lihat. Tapi gue mengurungkan niat itu setelah melihat cowok di samping gue ini tengah tertidur pulas.

Gue tahu Sagara anak bontot dari dua bersaudara. Kakaknya yang sering ia ceritakan itu tinggal di LA karna kerjaan entahlah tapi ia pernah menceritakannya sesekali.

Hasa Pramudipta : dia di bandung. lo juga ke bandung hari ini?

Tertera nama dan pesan yang dikirimkan seseorang setelah gue tak sengaja mendengar bunyi ponsel Sagara.

Gua mematikan rokok yang sedari tadi gua hisap sambil menunggu Zora pulang setelah melihat sesosok wanita dengan senyuman di wajahnya. Ada perasaan yang tidak bisa di jelaskan setelah melihat cowok lain pada kehidupan Zora.

Pasalnya dia tidak pernah meng-upload cowok manapun selain gua.

Gua menarik kencang tangannya dan memeluk erat tubuh mungil itu.

Taunya rasanya mau nangis tapi nggak bisa? Gue diam lama masih mencerna apa yang barusan terjadi. Marah juga nggak berhak karna gue bukan orang yang penting buat dia.

Jadi Sagara selama ini mencintai orang lain? orang yang juga di cintai sahabatnya? Kenapa percintaan orang rumit amat.

“Apasih.”

Nelfonnya kenapa nggak tau sikon banget sih? udah tau gue mau galau ada aja yang ganggu.

“Gue mau kesana sekarang.”

“Gamau cak! Gue mau kesana sekarang juga!”

Dalam perjalanan gue hanya diam sambil berusaha menghubungi Sagara yang tidak kunjung mengangkat telfonnya.

Cakra menarik gue meminta untuk tidak pergi setelah mengetahui apa yang kita berdua lihat sekarang.

Terlihat pasangan yang sedang berpelukan. Pasangan itu memunggungi gue tapi gue tahu siapa dibalik punggung yang selama ini selalu memeluk gue untuk sekedar menenangkan.

“Gar kenapa ya kalo lo peluk gue tuh rasanya kaya aman?”

“Soalnya gue satpam.”

Mendengar reaksi barusan gue merasa kesal karna Sagara memang tidak pernah serius menanggapi omongan gue.

“Hai Cakra! Apa kabar lo?” Gue menoleh ke arah sumber suara.

“Kalen hai! Gua baik kayak yang lo liat sekarang.”

Mata gue hanya menatap sosok lelaki sedang menunduk memegang kepalanya. Lelaki itu mendongak secara tiba-tiba dan gue reflek menoleh ke arah lain.

Kenapa jadi sangat canggung antara gue dan dia? Mungkin cuman feeling gue.

“Gue cari makan di kantin dulu deh. Sagara dari tadi belom makan.”

“Gua ikut len, laper juga ni perut. Lo mau nitip apa Zo?” gue menggeleng pelan setelah itu mereka berdua pergi meninggalkan gue dan Sagara sendirian.

Tidak ada pembicaraan di antara kita. Gue dan Sagara sama-sama diam untuk waktu yang lama. Sampai saat gue ingin berdiri menyusul Kalen dan Cakra.

Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar itu menahan lengan gue dengan pelan.

“Jangan pergi Ra.” gue menoleh mendapati matanya yang kurang tidur dan sedikit merah.

Kemudian dia menarik tubuh gue sampai wajah gue bertabrakan dengan dadanya.

“Gapapa Ga mamih baik-baik aja.” tangan gue mengusap punggungnya dengan pelan.