bisingnya dusta-dusta

Bunga di bulan sepi Jatuh terdampar Tersasar Alasan masih bersama Bukan karena terlanjur lama Tapi rasanya, yang masih sama

mematikan gawai setelah bertukar jumpa dengan keluarga di ujung sana, suasana di ruang tamu itu kembali merana. memang bukan hal baru bagi nir untuk menerima siratan penolakan dari keluarga sakuma, tapi tetap saja. harga diri yang dipertanyakan akan selalu berhasil dibuat mereka.

tidak ingin ketegangan ini menjadi terlalu larut, rei berdeham memecah keheningan dengan alis yang mengkerut, tanda ia sedang dengan keras memikirkan jalan keluar terlihat absolut. membuat segenap rasa gugup nir berebut-rebut menyinggahi lutut, masih harus memproses semua yg baru saja terjadi, gemetar hebat macam dikejar-kejar bajak laut.

melihat sang cinta memainkan jari seakan-akan kukunya hanya sebatas aksesoris, rei paham. bahwasannya mungkin percakapan keluarganya telak membuat nir bungkam. bukan, bukan karena dia orang awam, yang baru sekali dua kali menghadapi keluarga sakuma lalu tumbuh rasa dendam. kemungkinan nir demam karena perkataan mereka yang asam juga jauh dari genggamam.

dan itu masalahnya. apa-apa persepsi mereka kepada nir hanya akan membuat geleng-geleng kepala.

“gimana kalau kita dinner malam ini, kamu engga masak kan?” pertanyaan rei disambut dengan nir yang berjengit. menggeleng cepat-cepat dan menjawab, “maaf... aku lupa beli belanjaan hari ini mas...” lirih, kepalanya dipenuhi beberapa pemikiran yang ia sesali. kepalanya dipenuhi pemikiran bodoh yang datang tanpa henti.

kepalanya perlahan menyetujui perkataan sang calon mertua, mungkin ia memang tidak akan bisa menjadi yang terbaik untuk rei, mungkin ia tidak akan pernah cukup untuk menjadi seorang istri, mungkin segala hal buruk memang pantas datang menghampi-

“gapapa” terhenti. suara-suara rongsok itu berhenti. “ga perlu minta maaf” ah, rei dengan senyumnya yang menyimpan segala pelipur lara. nir hanya ingin memuja Tuhan dalam setiap anggukan setujunya, dalam tiap langkahnya, dan dalam hidupnya karena telah menurunkan padanya seorang rei sakuma.

:・゚✧

kendati kalutnya kepala, sebuah syukur mobil yang dikendarai rei masih dengan stabil berjalan di bawah terangnya lampu jalan ibukota. di sampingnya dengan manis terduduk nir dan tangannya yang dimainkan di atas pangkuan. adalah meremehkan untuk mendeskripsikan posisi rei saat ini dengan kata ingin.

hasratnya berbisik, hasratnya berkumandang, hasratnya ingin rei menyatukan satu persatu jemarinya dengan sang cinta. namun sangat disayangkan, was-was adalah juaranya. urung, karena dirinya juga tidak kalah pundung.

kesunyian bukan lah hal yang awam bagi keduanya tapi untuk pertama kalinya mereka lebih baik hidup diantara bisingnya dusta-dusta.

:・゚✧

lampu gantung itu selalu menyambut mereka berdua tiap kali mereka tapakkan kaki ke restoran ini. nir selalu suka bagaimana gemerlapnya yang bisa jatuh kapan saja itu seakan-akan berbicara bahwa semuanya akan baik-baik saja. nir tidak pernah takut dengan cantiknya lampu gantung tersebut. tak peduli seberapa pun tingginya ia menjulang.

atensinya ditarik penuh oleh sang cahaya sampai-sampai nir tidak sadar kalau rei sudah memanggilnya sebelum ia merasakan ada tangan yang melingkar di sekitar pinggangnya, mengarahkannya ke meja dengan vas kecil berisikan dua mawar, sebagai teman. mendudukan diri, membolak-balikkan lembar menu, nir ibarat berada di dalam dunianya sendiri.

rei melambaikan tangannya ke arah pelayan yang sudah siap mencatat pesanan mereka, tanda ia ingin sang pelayan memberi mereka waktu berdua. dan lagi-lagi nir tidak sadar akan eksistensi pelayan yang menunggu dan pergi karena sibuk di dalam dunianya sendiri.

saat ingin memulai percakapan, tanpa sadar keduanya berpikiran hal yang sama. hawa tegang yang sebelumnya menyelimuti perlahan runtuh akibat bertukar senyum dan tawa karena kebetulan yang tidak disengaja.

“duluan aja mas... kalau mau ngomong” jeda, rei menarik napas. “sebelumnya aku minta maaf ya? tidak ada justifikasi akan apa yang sudah mereka lakukan ke kamu karena jelas ini semua sudah kelewatan.”

ingin, rei sangat ingin memegang tangan cintanya pada saat itu juga tapi belum, dirinya belum merasa pantas untuk itu sebelum ia mendengar penerimaan maafnya dari nir, yang walaupun dengan jelas ia tau, nir sudah memaafkan segala busuk tetek bengek keluarganya jauh sebelum rei meminta.

nir tersenyum, masnya si personifikasi cinta. nir mengerti betapa hebatnya pengaruh dirinya terhadap rei sampai ke poin di mana jika nir mengajaknya kabur bersama, sampai ujung dunia akan rei bangunkan nir sebuah istana.

namun, nir bukanlah dan tidak ingin menjadi antagonis di mata sakuma. nir tidak akan mungkin sanggup melihat rei harus dipisahkan dari ritsu untuk yang kedua kalinya. dan walaupun memang ritsu akan mengerti, lari dari masalah bukan jawabannya, dan mereka tidak akan pernah mungkin bisa bersembunyi selamanya.

“mas, ga perlu minta maaf sama aku. mungkin ini yang mereka bilang dari mencintai itu engga gampang,” menarik napas, memejamkan mata, nir mengulum senyum. “lagi pula, hal yang paling aku engga mau liat itu kamu harus dibenci sama keluarga kamu hanya karena aku mas...”

mungkin nama belakang mereka sama, mungkin wajah mereka serupa, tapi tidak ada hari di mana rei berhenti mengutuk darah mereka yang juga mengalir dalam dirinya. keluarga tidak pernah menjadi kata yang mudah untuk rei ucapkan, wajar. karena siapa rei sakuma kalau tidak dieksploitasi. “yang membesarkanku, yang memberiku makan, yang membawaku ke dunia,” sebagai kata ganti untuk orang tua.

mendengar nir mengucapkan kalimat seakan-akan keluarganya menganggap rei manusia membuatnya tertegun. “mungkin memang aku engga bisa bikin semuanya akrab tapi setidaknya aku pingin mereka semua bisa mengerti... no matter how long it takes, aku bisa lakuin karena aku punya kamu mas.”

ah, cintanya. cintanya yang tidak pernah gagal mengejutkan rei dari awal bertemu. cintanya yang tanpa sewenang-wenangnya membuat jantung berkecamuk tanpa babibu. cintanya yang menjadi alasan dirinya untuk tersenyum hari ini, nanti, esok dan selalu.

hawa berat yang membebani pundak mereka perlahan terangkat selepas mereka saling bertukar sudut pandang dan perasaan. perjuangan memang tidak ada yang instan, namun sebuah masa depan yang dijanjikan untuk mereka berdua cukup dijadikan alasan.

dengan senyum yang dilontarkan kepada nir, rei memanggil pelayan dan memesankan satu per satu menu mereka berdua.

“aku ada piano recital bulan depan mas... coba ajak mama, beliau suka kan?” tidak seberat hawa tadi tapi rei ragu, sebelum ia menyetujui usulan nir karena, apa salahnya mencoba, iyakan? “boleh, cinta.”

meraih tangan yang hanya bisa ia lirik dua jam terakhir ini, mengaitkan jari dielus perlahan seakan-akan tangannya adalah kanvas yang sedang diarsir, sejatinya rei akan selalu percaya nir.

:・゚✧

entah karena pertukaran pembicaraan mereka yang terus berangsur-angsur datang tanpa jeda, gelak tawa karena lelucon rei yang terlampu seperti bapak-bapak, atau mungkin diam-diam rei yang melambatkan laju mobilnya untuk melihat pipi merah nir yang bersemu karena tangan mereka yang bersentuhan dengan malu.

apapun alasannya, perjalanan pulang mereka terasa sangat lama. bukan komplain, sama sekali bukan komplain. karena mau sejauh, selama, sesusah apapun perjalanannya jika dilewati berdua, bagi rei dan nir semua tidak ada apa-apanya. bahkan diantara bisingnya dusta-dusta.

© kelana, 2022