kaoru, ibu, dan kampung kreatif dago pojok sore itu

Dikatakan oleh angin Yang menghasilkan gelombang Jadilah besar bestari Dan manfaat untuk sekitar

mendiang ibu selalu mengingatkan kaoru bahwa selemah-lemahnya manusia adalah mereka yang terlena oleh nikmatnya kemujuran atas penderitaan seorang insan, menari-nari di atas sebuah kesengsaraan. salah sekian wasiat sang ibu yang sampai saat ini masih belum bisa sepenuhnya ia aplikasikan. sebagian karena pekerjaan, sebagian lagi karena keadaan.

industri di mana ia mengabdi menuntutnya untuk beradaptasi. menuntutnya untuk percaya bahwa hanya keuntunganlah yang akan selalu dicari. dimuntahkan jika sudah tidak dibutuhkan lagi, walau sebelumnya dengan ramai lahap-lahap dikonsumsi.

menurut kaoru altruisme adalah praktik moral yang patut dipertanyakan. bukan, bukan karena kaoru sama sekali tidak memiliki empati untuk dicurahkan. namun menurutnya, semua-semua yang dilakukan seorang individu pasti ada secercah harap akan imbalan. bukan semata-mata kesejahteraan orang lain patut dijadikan tanggung jawab yang harus diemban.

indonesia selalu mengagumkan bagi kaoru. tidak hanya negaranya, namun juga warganya. tidak bisa dipungkiri bagaimana mereka adalah personifikasi dari altruisme itu sendiri. dirinya tidak hanya sekali dua kali menapakkan kaki di negara yang terkenal akan maritimnya tersebut, tapi bagaimana warga setempat masih menyambut kehadirannya dengan senyum yang sama membuat kaoru merenung,

“apa berbuat kebajikan semudah memberi arah jalan kepada seorang pelancong yang linglung kebingungan?”

menyusuri dago dengan rasa lelahnya badan setelah melangsungkan asia tour yang keempat di bandung adalah sebuah rekognisi yang berhak didapatkan. biasanya, kaoru memilih daerah yang mau dikunjungi untuk sebatas cuci mata selalu dengan spontan. tapi yang kali ini agaknya beda, kampung kreatif dago pojok merupakan rekomendasi salah satu member unitnya yaitu rei sakuma.

rei tau kebiasaan rekannya yang suka berkelana tanpa jejak setelah latihan ataupun sesudah mengentaskan acara di manapun ia berada. dan kali ini mungkin sedikit campur tangan tidak akan menyakitinya.

kampung tersebut seperti lengan yang ditato, corak-corak di tembok menceritakan sebuah kisah abstrak yang tiap lekukannya diagungkan macam artefak. tangga-tangga yang berdiri kokoh itu takkan retak walau sudah bertahun-tahun dan dengan orang yang berbeda-beda diinjak-injak. sungai kecil yang mengalir ibarat detak dari jantung, inti dari kehidupan berpijak. di depan rumah-rumah terdapat warga-warga yang sedang menikmati sore dengan merujak, ada yang tertidur di pundak, ada pula yang bertukar-tukar pikiran dengan bijak.

rencananya kaoru hanya ingin berjalan-jalan santai sampai matahari bersiap-siap untuk tidur cantiknya, itu sebelum seorang ibu yang kurang lebih berusia 60 tahun memanggilnya dengan bahasa yang tidak ia kenali, bahasa indonesia.

“nak,” kaoru tidak mengerti. “buat apa kamu di sana?” kaoru sekali lagi tidak mengerti.

ada sedikit hasrat untuk menghampiri kala ibu tersebut menganggukkan kepala ketika kaoru menunjuk dirinya sendiri, seakan-akan bertanya “ibu memanggil saya tadi?” perseteruan antara batin dan pikiran untuk melanjutkan perjalanan atau kembali lebih lambat untuk membuat sedikit kenangan.

tapi mutlak batinnya menang walau pikiran terus memohon kaoru untuk pulang. perlahan kaoru menghampiri perempuan yang memanggilnya “i’m sorry, i do not speak indonesian.” ucap kaoru dengan harap sang ibu dapat memaklumi, dibalas dengan anggukan kecil tanda memafhumi.

“look lonely, alone? alone?” sang ibu seperti menimbang-nimbang kata apa yang harus diucapkan agar kaoru mengerti. kaoru mengerti. “nooo, im not lonely… im with my friends…” tangan sedikit digerakkan untuk menandakan teman, tapi tidak dipungkiri pertanyaan tersebut mengganggu kaoru.

apa dia selalu terlihat kesepian? kaoru suka sendirian, ia menganggap sifatnya yang individualis adalah sebuah kelebihan di hidupnya jika dirinya ingin terus bertahan. namun apakah dia selalu terlihat kesepian? apakah di dalamnya ia menemukan kebahagiaan?

“no friend okay… you me friend!” kurang lebih kaoru artikan bahwa sang ibu dengan senang hati menjadi teman kaoru untuk seterusnya atau hanya di kampung. dirinya terhuyung-huyung, ucapan sang ibu kembali membuatnya merenung,

“apa berbuat kebajikan semudah dengan menawarkan diri sebagai teman kepada pelancong yang terlihat seperti dirinya kesepian?”

tawa anak-anak terdengar dari kiri kaoru dan disambut dengan suara tapak kaki mereka yang berlari-lari. di tangan kanan terdapat egrang yang dijinjing, dan satunya lagi mendorong sang kawan kearah kaoru duduk disampng sang ibu yang menunjukkan raut pusing.

salah satu dari anak tersebut mengajak kaoru bermain egrang, yang sudah pastinya ditolak karena kaoru terlampau asing dengan benda tersebut. ia meminang-nimang dalam hati, apa itu? permainan? alat masak? atau hanya sebatas barang? telapak tangannya dirapatkan dengan satu dan lain, membentuk sebuah salam. mulutnya tidak berhenti mengucapkan kata maaf seakan-akan dia baru saja melakukan kejahatan yang akan berakhir dengan penuh dendam.

yang ia dapatkan hanyalah senyuman dan merah di kedua pipi anak kecil itu muncul dengan malu-malu. melambaikan tangan kedepannya seakan-akan berbicara kalau semua ini tidak apa-apa, tidak perlu dibawa pilu. dengan kaki-kaki kecil kedua anak tersebut lari dengan egrang bertabrakan yang menimbulkan suara klantang-klontong beresonansi. warga indonesia dan sifat altruisme mereka. bagaikan manifestasi dari paham itu sendiri.

mungkin ini adalah rencana rekan satu unitnya itu untuk membawa kaoru berkeliling kampung ini. tentu saja, rei sakuma dengan 1001 caranya untuk memperlihatkan kaoru dunia dengan perspektif yang baru. tentu saja, rei sakuma si buta karena cinta akan menuntun kaoru ke tempat yang membuatnya terbisu, membuatnya terharu-haru.

dan sekali lagi kaoru termenung, “apa berbuat kebajikan selalu sesederhana ini?”

dirasa matahari sudah siap untuk menyambut kekasihnya sang bulan, kaoru berdiri dan bergegas pamit kepada sang ibu untuk pulang, untuk kembali ke hotelnya, untuk kembali ke unitnya. disusuri kembali tembok-tembok penuh tato, tangga-tangga yang berdiri kokoh, dan sungai kecil yang derunya bergerak sesuai tempo.

kampung kreatif dago pojok sore itu adalah saksi bisu bahwa kaoru belajar sejatinya kebajikan itu tak selamanya membawa pilu. menjadi baik tak selamanya menggadaikan hidup seperti dadu, tanpa taktik tanpa politik. dan bukan pula menjadi buta tanpa arah, tanpa tujuan seperti para fanatik.

dua orang di pintu gerbang terlihat tidak asing di mata kaoru, rambut abu-abu dan ungu. ah… adik kecil unitnya. menunggu kepulangannya. entah untuk berapa lama, kaoru merasakan dirinya sendiri bahagia. adonis melambaikan tangan dan mengulum senyuman, sedangkan koga… ya, seperti koga pada hari-hari biasanya. tangan bersedekap, wajah yang dipalingkan, dan alis yang menyatu karena mengerut. tapi kita semua tau, untuk koga, unitnya itu nomer satu.

“udah nunggu lama yaa?” basa-basi kaoru sesampainya ia di samping adonis. “tidak terlalu, hakaze-senpai” dibalas adonis dengan sunggingan di bibir yang nyaris mencium mata. “nunggu apa lagi sih? aku mau pulang.” oh, yang satu ini kita semua pasti sudah bisa menebak siapa.

paham altruisme masih menjadi suatu hal yang awam bagi kaoru, tapi dengan adik kecil (dan si rekan yang selalu di sampingnya untuk membantu) dalam genggaman tangannya, mungkin kaoru mampu mempelajarinya tanpa ragu.

© kelana, 2022