BACKGROUND STORY.

PART I. AWAL MULA.

Terik panas mentari berada di atas kepalaku. Sepanjang dua manikku mengedar, Aku hanya melihat sapuan indah gelombang luasnya lautan biru. Indahnya mengalahkan warna terang batu Safir yang biasa ku lihat pada pameran bergengsi bangsawan kerajaan.

Rungu yang menangkap halus kicau burung Northen Ganneth menemani laju kapal kebanggaanku. Aku mengusap patung merpati yang bertengger gagah di ujung geladak kapal. Ini merupakan hari yang indah `tuk arungi lautan. Bila perkiraanku tidak salah, maka dalam tiga hari, kami akan sampai di kota Eylas.

Eylas hanya sebuah kota yang miliki pulau terpencil di bagian Utara, tetapi pulau itu menjadi penentu nasibku di kemudian hari.

Aku merogoh kantong jubah untuk mengambil dan kemudian membuka kembali gulungan pesan yang diikat dengan tali rami. Hanya ada kumpulan kata secara acak yang sengaja ditulis sebagai kode kepadaku.

Pening.

“Aku ... tidak bisa membaca ini terlalu lama.”

Setiap selesai mencerna arti dari bait pendek yang tertulis, Aku menghela napas. Mual sekali rasanya, membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh ketua kelompok para bangsawan rusak itu.

“Hahaha. Mereka? Bangsawan? Sejak kapan kerajaan memberikan otoritas sepenuhnya kepada orang-orang yang harga kepalanya saja tak sebanding dengan seekor keledai?”

Aku memijat keningku tak percaya, Aku melakukannya lagi. Padahal, Aku tahu tidak ada gunanya memikirkan atau menebak lebih jauh apa yang ada dalam pikir sasaranku saat ini. Tak akan buahkan hasil apapun kecuali Aku sudah bertemu dengannya di pulau itu.

Sebuah apel dari kantong jerami ku ambil, lalu ku gigit sedikit. Rasa manisnya menetap lama pada rongga mulut dan lidahku, aromanya kuat sekali, pun rasa segar yang tak kunjung hilang bahkan ketika potongan apel tersebut sudah jatuh jauh ke dalam tenggorokan.

Ah, ini pasti apel dari Frusea. Memang kabarnya, mereka pemilik kebun apel terbaik di seluruh negeri. Ini bukan pertama kalinya bagiku untuk memakan apel dari Frusea, sebab rasanya yang tidak terlalu asing namun tetap mampu membuatku takjub seperti baru mencobanya pertama kali.

Sembari menikmati apel Frusea, aku kembali bersandar pada dinding kapal untuk melihat hamparan luas berwarna biru yang tak terlihat di mana ujungnya.

“Lady Anneth! Lady Anneth!”

Oh, Vouis.

Seseorang yang ahli membaca bintang dan angin. Apa kau percaya itu? Aku awalnya tidak percaya, tetapi ia benar menunjukkan kemampuannya kala itu.

“Kau, kenapa berlarian seperti itu di dekat geladak kapal? Tidak kah kau tahu itu berbahaya untuk nyawamu?”

“Oh .. maafkan saya, Nona.” Vouis berlutut, menunjukkan sikap hormat kepadaku. Aku bisa melihat rambut-rambut halus berwarna coklat tua pada rahang Vouis tersapu sesekali oleh angin Laut Artik. Aku menaikkan satu alisku, mencoba menerka ekspresi wajah yang diberikan olehnya.

'Tidak ada yang bisa dicurigai. Semuanya nampak normal.'

Adalah yang ku pikirkan pada awalnya, tetapi biar ku tarik kembali. Ada sebuah seringai yang muncul, menggantikan ekspresi wajah tak berdosa milik Vouis.

“Lagipula, kalau memang sudah waktunya saya mati, maka saya akan mati. Tetapi saya akan mati dengan terhormat dan bahagia. Karena kau berikan lelaki ini izin untuk melayanimu hingga akhir hayat.”

Aku tertawa geli. Apa-apaan perkataannya itu, seperti seorang pemain wanita kelas kakap yang sedang menggoda tuannya.

“Hahaha, cukupkan sandiwaramu itu, Vouis. Aku tahu kau menghampiri bukan hanya untuk berikan lelucon menggelikan seperti itu.”

Bisa ku lihat raut wajahnya berubah drastis, ada garis yang membuat tegang wajahnya. Ada apa sebenarnya?

“Nona, merpati milik Xieth telah tiba tadi malam.”

“Oh ya? Ada kabar terbaru apa dari /mainland/?”

Vouis mengatupkan dua bilah bibirnya, lalu berdiri kembali; netranya menatap sekeliling. Aku bisa merasakanya dengan jelas bahwa ada yang tidak beres dengan keadaan /mainland/ saat ini. Vouis masih melihat sekeliling, kemudian mengambil dua langkah mendekat ke arahku untuk kemudian berbisik.

“Vouis.”

Aku berhenti sejenak, mencoba untuk mengontrol emosi yang bisa kapan saja meledak dan membuat satu kapalku penasaran.

“Bisa kau ulangi? Apa maksud perkataanmu itu?”

“Maafkan saya, Nona. Tetapi apa yang saya sampaikan dan apa yang Xieth tuliskan lewat pesan semalam, benar adanya. Tiga merpati lainnya juga datang untuk memberikan konfirmasi terkait kabar tersebut pagi ini.”

“Cukup, jangan dilanjutkan.”

Aku menelan ludah, baik pikiran pun tubuhku tidak bisa mencerna apa yang dikatakan oleh Vouis. Apa maksudnya itu? Bagaimana bisa itu terjadi? Aku berjalan mundur, punggungku menabrak dinding kapal; membuatku terjatuh pada kedua lututku. Aku memeluknya, sangat erat untuk menahan tangisku pecah.

Seluruh awak kapal segera berjalan ke arahku, mereka tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.

“Hei, apa yang kau lakukan? Cepat ambilkan selimut untuk Nona Anneth!” Ujar seorang awak kapal, memberikan perintah pada seorang pelayan di ujung geladak kapal.

“Berhenti menatapnya begitu, dia bukan seorang yang bisa kau tatap seenaknya!”

Aku menatap Vouis, kedua matanya mengecil, memberikanku tatapan muram.

Tunggu, jangan seperti ini.

Tidak boleh, bila Aku menangis di sini, semua yang ku bangun akan hancur seketika.

Penglihatanku, memburam, semua bayangan yang ada dihadapku menjadi sulit untuk dikenali.

“Jangan, mendekat.” Ucapku, memberi peringatan pada dua tungkai yang mencoba untuk menghampiriku.

Kepalaku sakit, rasanya seperti dipukuli dengan sebuah tongkat besar yang kedua ujungnya telah tumpul. Bangsawan sialan, berani-beraninya mereka.

BAGIAN PERTAMA, RAMPUNG.