Déjà rêvé

Lee Hana


Selain senang bercocok tanam, Hana juga senang tempat yang tenang dan menata barang. Makanya, ia merasa bangga dianggap city girl sekaligus country girl. Di kampung halamannya, dia bisa menghabiskan seharian berkeliling kebun untuk memanen buah sunkist. Di kota, ia bisa menghabiskan 24 jam dalam toko buku, menata urutan dan memandang jalanan di depan sambil menunggu pengunjung datang. Itu yang sedang dilakukannya hari ini.

Ini bukan hari libur, tapi ia sudah membuka toko bukunya sebelum matahari naik utuh di Kota Seoul yang sedang dingin. Hari ini hari yang spesial, hari yang Hana sendiri tidak tahu apakah dia harus senang atau bersedih.

Hana membalik papan di jendela toko.

Bawa struk pembelian yang lalu, diskon 60% untuk setiap buku di section yang sama.

Sekali lagi Hana menghela napasnya sebelum kembali ke kasir dan mengurai senyum sendiri. Bersiap untuk menyambut hari ini.

“Selamat pagi!” bersamaan dengan suara lonceng pintu.

Hana menoleh dan tersenyum. “Selamat datang.”

“Ah, apa saya terlalu berisik?”

Seorang wanita seumuran dengannya datang dengan plastik kecil di tangan.

Hana menggeleng dan bertanya apa yang wanita itu butuhkan.

“Boleh titip es krim saya?” Tanya perempuan itu sambil mengangkat kantong plastik di tangannya.

Hana menatap perempuan itu tidak mengerti, masih sambil tersenyum.

“Maksud saya, boleh saya titip es krimnya di sini selama saya mencari buku-buku ini?”

Kali ini Hana tersenyum paham lalu mengangguk. “Perlu saya bantu mencarikan raknya?”

“Enggak usah. Saya mau lihat-lihat sekalian.”

“Baik,” Hana mengangguk hormat. Si perempuan berjalan ke salah satu rak.

Suara lonceng pintu terdengar lagi.

“Selamat datang,” Hana menyapa dengan ramah, lalu menatap agak bingung setelahnya.

Seorang pria yang sedikit lebih pendek darinya masuk ke toko buku dengan kemeja yang masih agak basah. Hana menoleh keluar, mendung tapi tidak hujan.

Si laki-laki terlihat bingung juga tapi memandang dirinya sendiri dan berdecak. “Oh, maaf. Saya habis syuting. Ceritanya hujan.”

“Ah,” mulut Hana terbuka. “Aktor yang kemarin baru menang di Belgia, kan?”

Pria itu menunduk sopan dan tersenyum sebelum mengeluarkan sebuah post-it. Hana menerima kertas itu dan mengangguk. “Mau ambil sendiri atau…?”

“Saya cari sendiri saja. Sekalian lihat-lihat.”

Hana menunjukkan rak untuk buku-buku yang dimaksud. Si aktor berterima kasih dan permisi. Hana membuat catatan di otaknya untuk minta foto bersama dengan aktor itu nanti.

Hana meletakkan kantong plastik milik si perempuan ke dalam cooler miliknya. Ia memiringkan kepalanya heran lalu menatap keluar. Dingin-dingin begini makan es krim? Sepertinya enak juga.

Pemandangannya ke jalanan luar yang baru beberapa detik, dihalangi oleh seorang pria tinggi besar yang berhenti dan membaca papan tanda diskon.

Mata mereka bertemu. Si pria dengan kemeja oversize dan celana bahan dengan warna hampir senada menatap Hana dengan senyum tipis yang hangat.

Hana mengalihkan pandangannya sedikit ke arah lain. Ia berkedip. Sepertinya dia pernah mengalami kejadian ini. Tapi di mana?

Lonceng pintu berbunyi.

“Selamat datang…”

Si pria tinggi mengeluarkan selembar kertas dari saku kemejanya. “Apa struk ini bisa dipakai?”

Hana yakin pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya. Bukan. Hana yakin pernah berada di posisi dan situasi seperti ini sebelumnya, dengan pria di hadapannya.

Apa itu hanya mimpi?

Agassi…”

Hana kembali berkedip, lalu mengalihkan mata ke struk pembelian yang ia terima dari pria itu.

“Ini... nota pembelian…” kata Hana pelan. Tulisan ceker ayam yang bisa dibaca Hana, ditambah stempel merah kecil yang sedikit luntur.

“Ah, jadi tidak bisa, ya?”

”... dari 15 tahun yang lalu,” lalu Hana mendongak menatap pria di hadapannya.

Lalu pria itu akan tersenyum sambil mengusap pelipisnya.

Pria itu tersenyum tidak enak. “Sebenarnya, ini nota milik ayah saya. Buku di nota ini, buku terakhir yang ayah belikan buat saya.”

Hana menatap nota dan pria di hadapannya bergantian. Si pria mengusap pelipisnya. Mata Hana melebar.

Benar! Dia sudah pernah mengalami kejadian ini. Atau memimpikan?

“Kamu… yang di bawah jembatan, kan?”

“Apa kamu hantu?”

Baik Hana maupun si pria menoleh pada dua sumber suara yang sama terkejutnya.

Si aktor dan si wanita es krim sama-sama saling menunjuk satu sama lain, terpisah dua rak dengan buku di tangan masing-masing.

Hana menatap pemandangan itu dengan terpana. Ini benar-benar seperti mimpi. Apa ia punya kemampuan melihat visi lewat mimpi?

“Sepertinya mereka akan jadi kisah yang menarik. Bagaimana menurutmu, Agassi?”

Hana kembali menoleh pada pria tinggi di hadapannya. Lagi-lagi pria itu tersenyum hangat.

“Ini… bisa dipakai,” Hana mengulurkan nota itu pada pemiliknya.

“Tolong simpan itu untuk saya. Saya harus pergi dulu ke beberapa tempat hari ini. Jaga-jaga kalau nota ini hilang di tengah aktivitas.”

Hana kembali melihat nota dengan tulisan ceker ayam yang sangat familiar.

“Saya akan kembali malam ini. Anda masih akan di sini, kan?”

Hana mengangguk. Si pria tersenyum lega.

“Sampai jumpa nanti malam, Agassi.”

“Hana. Lee Hana. Dan tutup jam sepuluh,” ucapnya saat pria itu sudah di ambang pintu.

Si pria tersenyum lebar. “Sampai jumpa nanti malam, sebelum jam sepuluh, Hana-ssi.”

Hana baru bisa bernapas penuh saat pria itu menghilang dari pandangannya. Dia sangat yakin dia pernah memimpikan hal ini.

Sambil menghitung pembelian si aktor dan si perempuan es krim yang mengantre dengan saling kikuk, Hana sedikit menyunggingkan senyum.

Sepertinya, dalam mimpinya, pria tadi akan sering mengunjungi Hana. Dan Hana berharap, agar tidak sekedar bermimpi.


#LeeHana #AntologiIntuisi #indofic

Komentar dan feedback: https://secreto.site/18493978

Terima kasih!!! xx