How Do You Confess?

a.k.a. *mencintaimu dengan sat set sat set

Anak-Anak Damkar


“Mau ngomong apa?” Jiyeon menggosok biolanya sambil melirik Seungjo sebentar. Udah hafal banget kalau pacarnya berhenti bicara dan diam dengan serius, tandanya ada hal genting yang mau diomongin.

“Saya lulus tes akhir pemadam kebakaran.”

Jiyeon berhenti menggosok biolanya dan melihat Seungjo. Kakinya selonjoran, tangannya sibuk mengeluarkan bihun dari dalam risol, satu per satu.

Jiyeon menatap Seungjo beberapa saat, agak memutar otak karena sebenernya ini berita bagus, tapi kenapa nadanya seperti informasi bela sungkawa?

“Mas Seungjo sedih karena keterima jadi petugas damkar?”

“Enggak,” jawab Seungjo.

“Terus kenapa bilangnya lemes banget?” Jiyeon makin heran.

“Saya lolos damkar!” teriak Seungjo dengan ekspresi dan intonasi yang semangat dan happy.

Jiyeon hampir aja menggetok kepala Seungjo pakai busur biola. “Serius ih!”

“Iya, ini serius!” jawab Seungjo masih dengan semangat.

“Terserah,” Jiyeon seperti biasa, menyerah, lalu kembali menggosok biolanya. Seungjo bener-bener gak bales apa-apa lagi. Dia menonton biola pacarnya dibersihkan sambil makan risol yang tinggal kulitnya.

“Kalau mas senang, aku juga senang,” kata Jiyeon selang beberapa lama.

Seungjo kembali menatap pacarnya cukup lama, sebelum berkata lagi, “Beneran. Saya senang keterima di sana.”

Jiyeon melihat Seungjo lagi, dan pria itu melihatnya sambil tersenyum simpul.

Melihat senyum Seungjo, Jiyeon ikut tersenyum. “Syukur kalau gitu. Mas akhirnya bisa bantu orang lagi.”

“Selamat ya, Mas,” lanjut Jiyeon dengan senyum yang sangat manis. “Semoga yang ini bisa bikin mas bahagia.”

Seungjo tidak berhenti mengaminkan ucapan itu untuk waktu yang sangat lama. Tapi di saat yang sama, mengulang obrolan barusan, lalu flashback ke pertama kali mereka kenalan sampai jadian, dari ruang sidang tilang sampai surat pengunduran diri, Jiyeon selalu ada.

“Jiyeon.”

“Hmm?”

Dan Seungjo mau Jiyeon tetap ada dalam setiap keputusan yang dia buat.

“Kalau saya lamar kamu sekarang, bisa?”

Tangan Jiyeon berhenti sedetik sebelum kembali mengelap senar biolanya. “Enggak.”

“Gak seru. Langsung ditolak,” Seungjo mengambil risol isi dan memakannya sekali gigit.

“Bapak lagi pulang kampung.”

Seungjo buru-buru menelan risolnya. “Kalau lamarnya habis bapak kamu balik ke sini, bisa?”

“Bisa,” Jiyeon mengangguk-angguk.

“Nanti saya bawa bapak sama ibu saya juga.”

“Iya,” angguk Jiyeon lagi.

“Kayaknya bapak kita cocok.”

Jiyeon tertawa lepas dengan pipi yang merona.


Minki melepas sarung tangan dengan giginya biar seperti cowok keren di film-film. Padahal emang susah aja sih dilepas pakai tangan. Lagian, mukanya udah cemong, sekalian aja lah.

Matanya menatap sekeliling. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Menonton kebakaran, memfoto kebakaran, meliput kebakaran, mencegah orang masuk ke lokasi kebakaran, evakuasi sisa-sisa bangunan, memberikan pertolongan pertama, tapi ada satu yang beda. Perempuan di depan Hyunchul (yang lagi membantu menjaga police line) menatapnya dengan tatapan “gue.mau.bicara.sama lo”.

Minki dengan pelan berjalan ke arah perempuan itu, sampai di depannya tapi gak berkata apa-apa.

“Saya mau bicara. Bisa?” katanya dengan nada seakan terburu-buru.

“Saya masih harus cek titik api,” jawab Minki sambil melihat ke puing-puing bangunan.

Si perempuan menghela napasnya lalu jalan ke sisi lain police line. Mata Minki mengikuti perempuan itu. “EH?”

“Kapten Jinhee? Saya Seo Jihye. Pernah makan siang di kantor damkar. Saya boleh pinjem Minki?”

Minki berjalan cepat ke kapten. “Kap-”

“Silakan.”

“Kap, tapi-”

Tapi Minki keburu ditarik Jihye. Barbar banget ini perempuan kalau udah punya niat. Apa semua reporter begini sifatnya?

Jihye menarik Minki dan berhenti di antara dua truk damkar yang sepi.

“Saya harus liputan ke Kalimantan.”

Oke. Minki gak tahu informasi ini harus diapakan, jadi dia respons seadanya. “Lama?”

“Seminggu.”

“Oh...”

“Kamu... Gak mau makan bareng lagi?” Jihye bertanya setelah mereka cuma tatap-tatapan beberapa lama.

Minki yang mendengarnya agak nge-blank. “Bukannya kamu bilang makan bareng saya pengalaman paling aneh selama kamu jadi reporter?”

Si reporter merengut. “Itu... salah sebut. Waktu itu kan saya gak jadi reporter. Tapi jadi anak perempuan yang dijodohin orang tuanya.”

“Salah sendiri, dong?” Minki mengangkat bahunya.

“Ih!”

Minki sedikit tertawa mendengus.

“Kamu sendiri kenapa ke kantor saya terus?” Jihye ngegas.

Minki berkedip. “Karena ada panggilan damkar lah???”

Lucu banget perempuan ini.

“Kan bisa petugas lain yang datang?” sanggah Jihye. “Kamu juga yang sering tulis nama di buku laporan kantor tiap ada keadaan darurat.”

“Gedung kantor kamu itu gak memenuhi standar keamanan. Kenapa masih kerja di-” “Waktu liputan tentang damkar, kamu volunteer buat tur markas, padahal rekan kamu ada yang mau banget masuk tv. Terus benerin jeep saya yang mogok. Terus anterin saya pulang. TIGA.KALI., waktu kota lagi cuaca ekstrem padahal saya gak minta. Semua perempuan kamu giniin?”

Duar!!!

Minki di-ulti dan gak punya alasan buat bikin alasan.

Dia menghela napasnya. “Itu... karena ego saya tinggi. Kita sama-sama gak mau dijodohin saat itu. Saya lagi mikir cara nolak kamu, tapi malah kamu duluan yang nolak, seenteng itu lagi.”

Jihye menatap Minki lama. “Jadi semua yang kamu lakukan itu buat balikin harga diri kamu? Supaya saya suka sama kamu terus kamu akan nolak saya?”

Minki memiringkan kepalanya. Bener juga kata Jihye. Dia ngapain ya melakukan semua hal itu setelah ditolak? Harusnya bagus, Jihye duluan yang nolak perjodohan itu, terus Minki bisa hidup bebas.

Jihye menggembungkan pipinya kesal sambil melihat ke arah lain. Hal yang Minki perhatikan sejak makan siang mereka di markas damkar.

“Enggak,” Minki menghela napasnya. “Jihye, saya minta maaf udah bikin kamu salah paham. Saya akui waktu itu pertama kali saya ditolak sebelum saya menolak duluan. Ego saya agak tergores. Tapi saya gak pernah berniat buat kamu patah hati. Maaf. Saya gak akan ganggu hidup kamu lagi.”

“Naikin.”

Huh? Minki menatap Jihye heran. “Apanya?”

“Egonya.”

Mata Minki melebar.

“Naikin lagi egonya.”

Hah???

“Kamu udah terlanjur ganggu ritme hidup saya. Jangan berhenti.”

Minki bingung harus bereaksi gimana.

“Ajak saya makan, dateng ke kantor saya, tulis nama kamu di buku laporan, betulin mobil saya, antar saya pulang, ajak saya makan siang di kantor damkar,” wajah Jihye masih datar serius walau wajahnya udah kayak kepiting rebus sekarang.

“Jangan berhenti cari perhatian sama saya,” Jihye akhirnya menurunkan postur tegapnya.

Minki cuma bisa berkedip sambil melihat Jihye. Entah ngapain. Jihye gak bisa mikir, tapi cukup bicaranya, dia cuma mau respons dari Minki.

Minki menghela napasnya setelah cuma terdiam lama, membuka mulutnya ingin menjawab.

“DAMKAR LEE, TITIK API SEKARANG.”

Minki menoleh dan Kapten sudah duluan berlari. Minki memakai sarung tangannya dan melihat Jihye yang terlihat sudah ingin menangis.

“Hati-hati di Kalimantan,” kata Minki selang beberapa lama. Dia menarik selang keluar dari truk damkar di sampingnya.

“SUNGCHEOL!” Minki berteriak dan Seungcheol dengan sigap mengambil ujung selang dan menariknya ke sisa-sisa bangunan.

Jihye bingung mau balas apa karena bukan ini respons yang dia mau.

“Kalau udah balik, mampir ke markas. Saya yang masak makan siang.”

Minki tersenyum hangat sambil memutar hydrant valve dan menyusul damkar lain ke titik api yang lain, meninggalkan Jihye yang mendengus mengikuti Minki sampai hilang dari pandangan. Ada sedikit sinar di matanya.


Hyunchul melihat Jehoon sedang diobati lukanya oleh Soyoung di belakang mobil paramedik damkar. Lalu ada Jaewook yang mesam mesem teleponan dengan seseorang, pasti dengan istrinya. Lalu di samping truk pemadam kebakaran, ada Jooyoung dan Joonhyuk yang piket membersihkan atribut damkar sambil mengobrol.

Hyunchul menggigit kebab durian di tangannya dan baru teringat kalau ini oleh-oleh pacarnya Minki yang habis liputan di luar kota. Dia menghela napasnya.

“Semua orang pacaran ya, Hyunchul.”

Hyunchul menoleh dan mendapati kapten duduk di sampingnya sambil menyeruput kopi panas.

Hyunchul tertawa. “Gimana kabar Mas Seungwoo, Kap?”

“Baik. Tadi Mbak Doona udah sadar. Seungwoo ambil cuti seminggu biar bisa nemenin.”

“Syukur, deh,” dia menghabiskan kebabnya dan meneguk teh yang sudah dingin.

“Hyunchul gak ikutan cari istri juga?” tanya kapten.

Yang ditanya terkekeh kecil. Kapten bilangnya cari istri, bukan cari pacar, karena tahu betul Hyunchul termasuk angkatan tua di sini.

“Kok orang-orang gampang ketemu jodoh, ya?” Hyunchul memiringkan kepala melihat rekan-rekannya.

Kapten tertawa kecil. “Kok gampang?”

“Mas Seungwoo hari pertama ketemu langsung suka sama istrinya. Jehoon sama Soyoung ketemu waktu jadi relawan tsunami. Mbak Yumi sama cinta pertamanya dari SMA. Jooyoung udah suka dari lama, ternyata Mas Joonhyuk lebih lama. Sungcheol gak usah ditanya, tiap bulan jatuh cinta.”

Kapten tertawa mendengar Seungcheol ikut disebut. “Nanti kalau kamu udah ketemu juga jadi gampang, Hyunchul.”

“Kadang jodoh itu deket, cuma belum waktunya jadi jodoh,” lanjut kapten.

“Gitu, ya?” Hyunchul mengangguk-angguk sambil mengusap-usap tangannya.

“Masih suka ngilu, Hyunchul?”

Hyunchul menoleh pada kapten dan dia sedang menatap tangan Hyunchul yang dari bawah bahu sampai atas pergelangan seperti digambar dengan garis coklat yang panjang dan besar. Bekas operasi hasil first rescue gempa besar setahun yang lalu.

“Lumayan, Kap. Tapi yang penting bisa turun lapangan.”

“Kalau kamu berhenti terapi, izin lapangan kamu juga saya cabut, ya.”

Hyunchul terkekeh. “Siap, Kap.”

Dia menonton Jaewook yang sekarang mengajak Jehoon dan Soyoung buat video call-an. Lalu Joonhyuk yang jalan menyusul Minki dan Mbak Yumi buat wall climbing di belakang markas.

“Hyunchul.”

“Ya, Kap?”

“Boleh banget, lho. Kalau mau ambil di Kemendagri.”

Hyunchul tersenyum simpul. Berkat penyelamatan epic yang mengorbankan tangannya setahun yang lalu, dia sampai ditawarkan buat kerja di kantor induk damkar, alias Kementerian Dalam Negeri.

“Kadang jodoh itu deket, cuma belum waktunya jadi jodoh,” kata Hyunchul.

“Loh, kok pakai kalimat saya?” Kapten tertawa.

“Bisa jadi, Kemendagri jodoh saya, Kap. Tapi belum waktunya.”

Kapten menoleh melihat Hyunchul yang menggerak-gerakkan tangannya seperti peregangan.

“Saya suka saya yang sekarang. Selama tangan dan kaki saya masih bisa gerak kayak begini, saya mau di damkar aja.”

Kapten mengangguk. “Oke.”

“Terima kasih ya, Kap. Kalau bukan karena kapten, saya gak akan secinta ini sama profesi ini.”


“Lo suka ya kak sama gue?”

Joonhyuk tersedak, selang yang lagi dia gulung hampir jatuh dan berantakan lagi. Dengan ribet dia menahan biar selangnya tetap rapi. Jooyoung dengan baik mengambil sarung tangan yang dipegang Joonhyuk biar dia bisa fokus gulung selang. Emang agak kurang ajar.

Joonhyuk menatap Jooyoung yang lagi menimang batita yang sedang tidur di bahunya. Orang tuanya lagi ditanya-tanya sama polisi, Jooyoung menawarkan diri buat momong setelah mengobati luka ringan di tangan anak itu.

“Kenapa lo nyimpulin begitu, Damkar Jooyoung?”

Jooyoung mengusap-usap punggung si bayi sambil mengalihkan matanya dari Joonhyuk, melihat jalanan. Di seberang, Kapten Jinhee dan Jehoon sedang bikin laporan kebakaran. Sementara Jaewook dan Seungwoo sedang antre membeli es krim doger.

“Gak jadi, deh,” ucap Jooyoung setelah diam lama.

Joonhyuk mengangkat alisnya dan meletakkan selang yang sudah ia gulung ke truk damkar, lalu menatap Jooyoung dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Ketawain aja, ketawa,” Jooyoung masih tidak mau melihat mata Joonhyuk.

Alih-alih tertawa, Joonhyuk malah tersenyum dengan wajah yang hangat. “Padahal gue mau jawab.”

Sesaat mata Jooyoung melebar. Kemudian dia menunduk dan mengeratkan pelukannya pada si bayi.

“Jooyoung.”

Jooyoung berdehem. Ia masih enggan melihat Joonhyuk.

“Jangan pernah remehin perasaan gue dengan bilang kalau gue cuma kasihan sama lo.”

Jooyoung mengangkat kepalanya dan seperti biasa, cuma menemukan keseriusan di wajah laki-laki itu.

Joonhyuk tidak tahu apa perempuan itu punya perasaan yang sama, tapi ia tahu ada banyak hal yang harus ditata dan diluruskan kalau ia mau memulai hubungan dengan Jooyoung yang punya trauma masa lalu. Maka langkah pertama yang ia lakukan adalah membuat Jooyoung paham kalau perasaannya tidak datang dari empati dan rasa kasihan.

Tidak ada jawaban atau kalimat tambahan. Mereka hanya saling bertatapan. Bisingnya lalu lintas kota seakan hanya dengung yang jadi latar suara. Sampai—

“Kenapa sih kalian setiap berdua kelihatan serius banget tapi gak ada yang tau konteksnya apa?”

Joonhyuk menghela napasnya lalu mengambil sarung tangannya dari tangan Jooyoung. Jooyoung berbalik buat melihat orang tua si bayi.

Seungjo, seperti biasa, dengan wajah tanpa dosa memberikan plastik penuh gorengan pada Joonhyuk dan Jooyoung. Ia lalu menatap Jooyoung dan Joonhyuk bergantian. “Ayo, lanjutin.”

Gak ada yang lanjutin. Jooyoung malah pergi buat mengembalikan anak bayi ke orang tuanya.

Seungjo mengangkat bahunya, mengambil singkong goreng dan memakannya sambil duduk di samping truk damkar. Dia melihat Joonhyuk yang matanya mengikuti Jooyoung.

“Kalau kalian jadi, jangan lupa gue yang kenalin, ya.”


Klik #damkarlife for more

#JangSeungjo #LeeMinki #ChoHyunchul #LeeJoonHyuk #LeeJooYoung #indofic

Komentar dan feedback: https://secreto.site/18493978

Terima kasih!!! xx