Sebuah Prolog

Cho Seung Woo x Bae Doona, Jang Seung Jo


“Martabak kacang coklat, Mas,” Seungjo tiba-tiba sudah duduk di sampingnya, menawarkan martabak benar-benar di atas wajah Seungwoo.

“Buset.”

Seungwoo menghindar sebentar sebelum akhirnya mengambil martabak dari tangan Seungjo. Ternyata dia bawa satu piring ke sini.

“Ini dari Doona?”

Seungjo menggigit sepotong dan mengangguk, “Tapi ini beli, katanya. Yang tempe mendoan masak sendiri, udah habis sama anak-anak.”

“Saya kira, mas jadian sama Mbak Doona,” lanjut Seungjo.

“Emang beliau bilang gitu?”

“Enggak, sih. Tapi tadi dia ke sini pertama bilangnya mau ketemu sama Mas Seungwoo. Kan biasanya kalo ada anak damkar yang disamper cewek, berarti mau jadian.”

Seungwoo hanya berdehem seadanya. Dia gigit martabaknya dan mengunyah dengan pelan. “Seungjo...”

“Hmm?”

“Istri model kan, ya?”

“Sampingan aja. Aslinya mah ngajar musik, Mas. Kenapa gitu?”

“Jangan salah paham ya, Jo. Saya tanya karena mau dapat insight. Dulu kamu minder gak sama istri?”

“Minder lah. Istri saya cantik banget.”

Hadeh. “Bukan itu maksudnya,” Seungwoo bersandar lelah.

“Tapi bener, loh, Mas. Istri saya emang cantik banget ga paham.”

“Iya deh, iya...” Seungwoo memijat kepalanya.

“Mas Seungwoo ada masalah sama istri saya?” tanya Seungjo sambil mengambil sepotong lagi martabak coklat kacang.

“Gak jelas anjir, Seungjo!”

Seungjo tertawa sambil mengunyah makanannya. “Emangnya Mas Seungwoo minder kenapa? Karena kita pemadam kebakaran?”

“Enggak, lah.”

“Terus?”

Seungwoo menatap bekas gigitan martabaknya. “Penghasilan kita gak seberapa, gaji sering di-pending.”

“Iya. Terus?” Seungjo bertanya lagi.

“Teras terus teras terus. Ya itu,” Seungwoo menggigit seporsi besar dengan kesal.

Seungjo mengetuk-ketuk dahinya dengan punggung telunjuknya, terlihat berpikir. “Sama aja dong, Mas.”

“Beda, Seungjo. Gue bangga jadi damkar. Gue cuma gak yakin kalau gue bisa menghidupi orang lain dengan penghasilan yang segitu-segitu aja. Gue juga gak yakin yang bisa gue kasih ke orang itu cukup, sementara gue bakal lebih sering ketemu lo di sini daripada menghabiskan waktu sama beliau.”

“Oh gitu,” Seungjo mengangguk-angguk sambil melahap martabaknya.

“Iya gitu,” Seungwoo mendengus.

Seungjo melanjutkan menikmati makanan di tangannya. Emang dah, gak ada yang bisa ngalahin nikmatnya martabak coklat dan bala-bala. Walaupun besok harus workout ekstra.

“Emang si beliau itu minder sama Mas Seungwoo?”

Seungwoo tidak menjawab, sibuk berpikir lama. Seungjo santai aja, karena masih banyak martabaknya.

“Enggak,” Seungwoo menyimpulkan setelah berpikir lama.

“Istri saya juga enggak.”

“Hah?” Seungwoo lagi-lagi menatap Seungjo aneh sekaligus bingung.

“Istri saya gak minder sama saya, makanya kami menikah.”

Sesimpel itu?


Seungwoo mengetuk gerendel pagar rumah berwarna coklat muda dengan banyak tanaman di halamannya. Sesekali dia melihat teleponnya.

Ketuk lagi. Masih belum ada jawaban.

Sekali lagi kalau enggak direspons Seungwoo akan berbalik pergi dan tidak akan kembali.

Tepat di ketukan ketiga, pintu dibuka. Doona berdiri di sana, terlihat kaget saat melihat Seungwoo di balik pagar. Ia berjalan ragu ke pagar.

“Kenapa telepon saya gak diangkat?” membuat Doona berhenti dan mereka dihalangi pagar yang masih tertutup.

“Telepon?” Doona berpikir lalu melihat handphone dalam genggamannya. “Ini nomor... bukannya udah saya minta buat hapus, ya?”

“Saya hafalin nomornya sebelum dihapus,” Seungwoo menghela napasnya.

Doona cuma bisa berkedip bingung campur tegang dan degdegan.

“Doona,” Seungwoo maju selangkah. “Saya minta maaf karena gak menghubungi kamu padahal saya yang minta nomor kamu. Saya gak pernah bermaksud buat main-main dengan... apapun yang kamu harapkan. Setiap saya scroll kontak, gak pernah saya enggak terpikir buat menghubungi kamu. Tapi sampai kemarin saya masih kurang percaya diri buat ketemu kamu.”

Doona mendengarkan, ikut maju selangkah.

“Kalau Doona masih mau, saya mau mulai lagi dari awal. Saya–”

“PAK! SALAH RUMAH! DI SINI!”

Seungwoo hampir terlonjak saat lengannya tiba-tiba ditarik oleh ibu-ibu. Doona melongo bingung. Seungwoo berusaha melepaskan diri dari tarikan si ibu. “Bu, saya lagi–”

“Pak damkar, kan? Saya yang tadi telepon! Ayo cepetan, Pak! Kaki anak saya udah bengkak!”

Seungwoo yang tadinya keberatan ditarik sekarang langsung berlari ke dua rumah di sebelah rumah Doona. Doona mengikuti si ibu ke dalam rumahnya dan mendapati anak si ibu yang biasa nganterin surat dari ketua RT sedang duduk kesakitan di dapur yang sepertinya lagi direnovasi, dengan kaki penuh darah dan nail gun di tangan.

Hal pertama yang Seungwoo lakukan adalah memutus aliran listrik ke nail gun dan melepaskannya dari genggaman si anak muda itu.

“Panggil damkar jam berapa, Bu?” kata Seungwoo sambil mengambil lap di atas meja dapur.

Si ibu melihat ponselnya, masih dengan panik. “Setengah satu, Pak.” Doona menarik si ibu biar enggak deket-deket anaknya.

Seungwoo melirik jamnya. “Sebentar lagi sampai.”

Dia menggerak-gerakkan kaki si anak dan menanyakan beberapa hal sampai terdengar suara sirene damkar. Doona berlari keluar dan membukakan pintu.

“Eh, Mbak Doona, kan?” Sungcheol bertanya. Dari belakang mobil keluar Jehoon.

“Di dapur,” Doona menunjuk ke dalam dan tanpa basa basi Sungcheol dan Jehoon berlari ke dalam.

“Lah?” Jehoon menatap bingung Seungwoo yang sedang melilitkan kain ke kaki si anak sebelum jongkok di sebelahnya. “Kan kita tukeran shift, kok abang ada di sini?”

“Sst. Disinfektan,” Seungwoo memerintah dan mereka dengan kompak bertukar posisi, karena Jehoon yang paramedik.

Sisanya dikerjakan oleh Jehoon dan Sungcheol. Ambulans milik kecamatan tiba beberapa menit kemudian dan Jehoon bersama si anak dan ibu naik untuk mengantar ke rumah sakit.

“Bang Seungwoo mau ikut balik gak?” tanya Sungcheol.

“Enggak.”

Sungcheol mengangguk-angguk saja dan pamit kepada Doona yang sedang mengunci pagar rumah si ibu. Setelah Sungcheol pergi dan tetangga pulang ke rumah masing-masing, tinggal Doona dan Seungwoo berdiri di depan rumah yang sudah kosong.

Doona melihat celana dan baju Seungwoo yang kena darah di mana-mana. “Saya punya kaos di rumah.”

“Sebentar. Saya harus selesaiin tujuan saya datang ke kamu dulu.”

Doona tidak jadi beranjak. Seungwoo maju selangkah mendekati Doona. “Doona. Alasan saya gak pernah menghubungi kamu, karena saya berharap bisa jadi lebih dari teman buat kamu, dan saya merasa gak pantas.”

Doona mau memotong ucapan Seungwoo, tapi keburu ditahan oleh Seungwoo. “Tapi sekarang saya sadar, saya merasa gak pantas karena saya belum kenal Doona.”

Mulut Doona terbuka dan dia mengangguk paham sebelum merespons Seungwoo. “Saya yang akan nentuin apa Mas Seungwoo pantas buat saya.”

Seungwoo juga mengangguk. “Berlaku juga buat saya. Jadi, ayo mulai dari awal lagi.”

“Dari sutet?” Doona merespons dengan spontan yang membuat Seungwoo tertawa.

Seungwoo mengulurkan tangannya, tersenyum lebar. “Saya Cho Seungwoo. Pemadam kebakaran.”

Doona akhirnya tersenyum dan menyambut tangan Seungwoo. “Doona. Bae Doona.”

Siang itu, di depan rumah tetangga, Seungwoo dan Doona akhirnya memulai.


Sequel dari: https://write.as/kikiyay/bukan-sebuah-prolog

Klik #damkarlife for more

#ChoSeungwoo #JangSeungJo #BaeDoona #BaeCho #indofic

Komentar dan feedback: https://secreto.site/18493978

Terima kasih!!! xx