Teman Berduka

Lee Joo Young & Lee Joon Hyuk


Jooyoung tengkurap sambil bersenandung melantukan lagu lama yang kembali viral akhir-akhir ini. Wajahnya disanggah tangan yang bertumpu siku pada atap truk pemadam kebakaran. Jooyoung sedang menonton apapun yang ada di bawah.

Hari ini seperti biasa, damkar sepi panggilan darurat. Jooyoung aja sejak pagi baru jalan dua kali, satu orang kakinya nyangkut di jembatan, satu lagi ular peliharaannya kabur ke rumah tetangga.

Di bawah, jalanan sedang lancar. Alun-alun kota juga mulai ramai. Ada beberapa anak damkar yang Jooyoung tahu dari seragam oranyenya lagi di alun-alun, kayaknya lagi jajan atau sekedar menunggu matahari terbenam.

Walaupun di dataran rendah, menonton senja dari alun-alun kota itu bisa bikin nangis. Langit kotanya indah banget, ditambah sayup-sayup suara orang jualan, suara orang ngobrol, gelembung-gelembung sabun tukang jualan, juga bunyi dan bau makanan yang dimasak.

Tapi Jooyoung sendiri jarang menikmati senja di alun-alun. Kalau badannya udah nempel sama truk damkar, lihat senja sambil berbaring saja udah cukup menyenangkan. Ditambah lagi, kalau di alun-alun, lebih enak menikmati senja bersama orang lain.

“Jooyoung.”

Jooyoung refleks bangun dari tengkurapnya sambil menoleh ke arah sumber suara.

Ada Joonhyuk kepalanya muncul dari tangga truk, satu tangannya terjulur ke depan, bersama satu plastik es teh manis.

“Apaan tuh?” tanya Jooyoung.

“Es teh manis.”

“Iya, kenapa tiba-tiba ngasih es teh manis?”

“Mumpung lagi kaya. Mau gak?”

Jooyoung menghela napas dan bangkit melangkah menuju Joonhyuk lalu mengambil es teh manisnya. “Makasih, Kak,” lalu Jooyoung berbalik lagi ke tempatnya tadi.

“Alun-alun, yuk.”

Jooyoung menoleh lagi, berhenti sebentar, agak mempertimbangkan sebelum melanjutkan duduk bersila. “Enggak deh.”

Joonhyuk memanjat naik dan langsung tengkurap di samping Jooyoung, menonton pemandangan di bawah.

“Ngapain lo?” dahi Jooyoung berkerut.

“Nonton itu,” Joonhyuk menunjuk kelompok tari tradisional yang biasa tampil weekend di alun-alun dengan dagunya.

“Kenapa nontonnya dari sini?”

“Karena lo gak mau gue ajak ke sana.”

“Ya lo sendiri lah.”

“Ya kan gue maunya sama lo.”

Jooyoung bingung mau bales apa.

Plak.

Joonhyuk digeplak pipinya pake plastik berisi es teh manis. Seger.

“Gak jelas lo,” cibir Jooyoung sambil kembali menyeruput es tehnya.

Joonhyuk dengan cueknya tetap santai memandangi orang-orang di bawah, bahkan kepalanya ikut goyang-goyang mengikuti alunan musik yang cuma sedikit kedengeran sampai atap truk ini.

Setelah menyerah menunggu Joonhyuk yang kayaknya emang gak niat buat ngobrol, Jooyoung menyeruput es teh manis sambil mengikuti arah pandang Joonhyuk. Kepalanya ikutan Joonhyuk bergoyang-goyang mengikuti gerak penari tradisional di bawah.

“Priwit! Yang di atas!”

Jooyoung menoleh ke bawah dan mendapati Seungjo melambai-lambai.

“Gak ke alun-alun?”

Jooyoung menggeleng. Joonhyuk juga.

“Mau nitip apa gak?”

Joonhyuk menoleh pada Jooyoung, yang lagi-lagi dijawab dengan gelengan.

“Cilok 2. 1 bumbu balado, 1 bumbu kacang,” ucap Joonhyuk.

“Uangnya?” tangan Seungjo menengadah ke atas.

“Yaelah, sepuluh ribu doang. Nitip dulu kenapa,” protes Joonhyuk. Tapi selembar uang sepuluh ribuan malah jatuh kayak daun yang ditiup angin, tepat ke atas tangan Seungjo yang emang nguber juga sih.

Joonhyuk menoleh dan mendapati Jooyoung melambai-lambai membalas dadah-dadahnya Seungjo yang senang karena gak harus nalangin jajan dulu.

Lalu pandangan Jooyoung kembali pada Joonhyuk, masih dengan pertanyaan tanpa suara.

Lagi-lagi, Joonhyuk tidak berkata apa-apa dan melanjutkan aktivitasnya menonton alun-alun. Jooyoung menonton beberapa damkar yang sedang bercanda sambil jajan.

Di bawah ramai, tapi dari atas sini, yang terasa hanya semilir angin dan hening yang nyaman.

Merasa cukup menonton aktivitas di alun-alun, Joonhyuk berbalik telentang, berbaring memandangi langit sebelum menutup matanya.

Jooyoung melirik Joonhyuk sambil menyedot es teh manisnya. Normalnya, Jooyoung akan bertanya Joonhyuk sedang ada masalah hidup apa. Tapi akhir-akhir ini Jooyoung memutuskan untuk sedikit menjaga jarak dengan Joonhyuk.

“Tawaran lo di depan rumah itu, masih berlaku gak?”

Jooyoung berkedip, agak kaget, takut Joonhyuk tahu lagi diliatin. Joonhyuk masih menutup matanya.

“Di depan rumah?”

“Kalau gue butuh temen nangis, lo bisa gue ajak.”

Ekspresi Jooyoung melunak. “Ada apa, Kak?”

Tanpa membuka mata, Joonhyuk mengeluarkan ponselnya dan memberikannya ke Jooyoung.

Jooyoung melihat apa yang ada di layar dan mengerutkan keningnya.

Telah berpulang ke Yang Maha Kuasa...

“Ini siapa?” Jooyoung melihat foto yang disertakan dalam pesan dari nomor yang tidak disimpan Joonhyuk itu. “Oh...”

Sekali lagi Jooyoung melirik Joonhyuk yang wajahnya masih terlihat damai.

Seminggu yang lalu Joonhyuk, Minki, dan anak-anak shift pagi melakukan penyelamatan dramatis seorang bapak dan anak yang belum genap sepuluh tahun yang tertimpa billboard karena angin kota sedang aneh-anehnya; kadang enggak ada, kadang kencangnya udah kayak mau badai.

Setelah proses penyelamatan selama hampir dua jam, Joonhyuk berhasil mengeluarkan si anak dari reruntuhan billboard dan jalanan yang ambles. Sebelum diselamatkan Minki, bapaknya sempat titip pesan ke Joonhyuk biar anaknya dirujuk ke satu rumah sakit di mana ada bibinya yang kerja di sana, karena sudah enggak punya ibu.

Hari ini anaknya berpulang, menyusul bapaknya yang habis dikeluarkan dari reruntuhan langsung meninggal.

Jooyoung paham perasaan ini. Saat korban sudah stabil waktu dibawa ke rumah sakit, tapi malah meninggal. Rasanya seperti pagi ini baru saling sapa, sekarang orangnya sudah enggak ada.

Walau sudah tahu itu risiko pekerjaan, tapi sakit gak pernah sepenuhnya bisa ditahan.

“Mau layat, Kak?” tanya Jooyoung.

“Tadi pagi langsung dimakamin. Minki dateng.”

Jooyoung meletakkan ponsel di samping kepala Joonhyuk. “Besok mau ziarah? Gue shift dari sore.”

“Iya. Temenin, ya.”

“Iya.”

Lalu hening lagi. Jooyoung sibuk merenung, Joonhyuk sibuk mengosongkan pikirannya.

“Gue lagi gak bisa nangis,” ucap Jooyoung sambil memeluk lututnya, menonton anak-anak damkar yang sedang bergumul di tukang cireng.

“Gak usah. Gue cuma butuh...” Joonhyuk tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi Jooyoung paham.

Sesuatu yang dingin terasa berat di dada Joonhyuk. Ia membuka mata dan dahinya berkerut melihat es teh manis yang tinggal esnya anteng di atas dada Joonhyuk. Ia lalu melihat Jooyoung.

“Biar adem hatinya,” respons Jooyoung singkat.

Joonhyuk menatap Jooyoung sebentar lalu kembali menutup matanya.

Jooyoung mengistirahatkan dagu ke lututnya sambil kembali menonton pemandangan di bawah, sampai ia mendengar sedikit isakan.

Joonhyuk menangis, air matanya sudah mengalir. Wajahnya berkerut menahan suara yang ingin keluar, tapi percuma. Joonhyuk menutup kedua matanya dengan lengannya dan terisak.

Melihat Joonhyuk yang terlihat sangat sesak, dengan pelan Jooyoung meletakkan telapak tangannya ke dada Joonhyuk, membuat Joonhyuk terdiam sebentar.

Lalu Jooyoung mulai menepuk-nepuk pelan dada Joonhyuk. Tepuk, berhenti. Tepuk, berhenti. Tepuk, berhenti. Sampai Joonhyuk melanjutkan tangisnya dengan lebih tenang.

Saat Seungjo datang membawa dua bungkus cilok, sudah tidak ada tangisan. Joonhyuk sudah duduk tenang menatap Jooyoung yang meremas sisa es di plastik teh manisnya. Background matahari terbenam di belakang.


Klik #damkarlife for more

#LeeJoonHyuk #LeeJooYoung #indofic

Komentar dan feedback: https://secreto.site/18493978

Terima kasih!!! xx