Tempat yang Aman

Lee Joo Young & Lee Joon Hyuk


“Siapa lagi yang belum dateng?” Tanya Jaewook sambil duduk dan kipas-kipas. Gerah habis bolak balik angkat galon.

“Bang Seungwoo lagi jemput Mbak Doona. Kapten otw, pulang dulu katanya ambil buah. Mbak Yumi sama istri gue lagi shift,” kata Jehoon.

“Oh, iya. Sisain buat yang lagi shift,” kata Jaewook.

Joonhyuk menghela napas dan duduk di samping Jaewook, mengipas-kipas badannya dengan kaos lepek yang dipakainya.

Hari ini unit damkar lagi mau mengadakan syukuran atas banyak banget hal yang terjadi. Hyunchul yang setelah 1 tahun akhirnya selesai terapi patah tangan, Seungwoo yang istrinya hamil anak pertama, Minki yang pertama kalinya ambil cuti selama jadi damkar, Joonhyuk yang dapet IPK bagus dan akhirnya bisa libur semesteran, dan yang paling perlu dirayakan: kenaikan gaji damkar.

Biar enggak ribet, syukurannya diadakan di panti asuhan tempat kapten dan Joonhyuk tumbuh besar.

“Oh, Jooyoung mana?” Tanya Jaewook.

“Macet kali? Bilang otw-nya sih udah dari sejam yang lalu,” kata Jehoon sambil mengecek grup WA.

“Buset, jalan kali dia. Mana ada markas-panti sampe satu jam,” ujar Jaewook.

“Naik angkot sih katanya tadi.”

Joonhyuk memiringkan kepalanya, lalu menoleh ke pertokoan samping panti yang sepi walau belum jam 5 sore. Joonhyuk beranjak, “Gue mau beli es ya.”

“Ah, iya! Sama arang juga, Hyuk.” Jaewook menepuk jidatnya. “Ayo beli sama gue.”

Joonhyuk mendorong pelan Jaewook buat kembali duduk. “Gue aja. Gue tau tempat yang murah.”


Joonhyuk menoleh ke satu gang kecil di antara dua ruko yang sepi sambil berjalan santai. Dari tempatnya sekarang, dia bisa melihat punggung Jooyoung di jalan tusuk sate.

Perempuan itu sedang duduk di atas dipan kayu depan warung eceran yang biasa dipakai ibu-ibu buat ngerumpi. Entah sedang apa, tapi kepalanya terlihat menoleh ke sana kemari, mengikuti motor yang lewat, orang yang lewat, kucing yang lewat, ayam yang kejar-kejaran...

“Jooyoung,” panggil Joonhyuk saat langkahnya tidak jauh lagi dari dipan.

Jooyoung menoleh lalu refleks berdiri. “Kak...”

“Ngapain lo nongkrong di sini?”

“Ngg... Enggak nongkrong. Tali sepatu gue lepas.”

Joonhyuk melirik kaki Jooyoung. Jooyoung memakai sepatu yang diberikan Kapten Jinhee sebagai hadiah waktu ia lulus tes masa percobaan damkar. Talinya terikat dengan sempurna.

“Udah kenceng talinya?”

“Hah?” Jooyoung melongo. “Oh, udah.”

“Ayo jalan, bantuin gue bawa es batu sama arang.”

“Di mana?”

Joonhyuk menunjuk warung seberang dengan dagunya. Seperti anak ayam mengikuti induknya, Jooyoung tanpa banyak bicara mengikuti Joonhyuk, sampai Joonhyuk ngikutin bapak-bapak warung buat ngambil arang di belakang rumah juga Jooyoung ikutin.

Joonhyuk menyerahkan plastik es batu pada Jooyoung.

“Gue bawa arang aja,” tolak Jooyoung. “Esnya berat.”

“Jangan, nanti baju lo blepotan.”

“Tapi itu enteng.”

“Tapi pasti kotor, Jooyoung. Lo mau cemongan baju putih begitu?”

Jooyoung merengut kesal. “Ya udah jalan, cepetan.”

Joonhyuk berjalan duluan keluar dari warung. Matahari agak turun, jalanan makin sepi, mungkin karena ada perbaikan jalan utama ruko depan, jalan penghubung jadi ketutup dan yang mau lewat harus berputar jauh.

Bugh.

“Aduh! Jangan berhenti mendadak dong, Kak,” keluh Jooyoung.

“Mau lewat mana?” Joonhyuk menoleh ke kanan.

“Hah?”

“Mau lurus atau muter lewat belakang?”

Kening Jooyoung berkerut bingung. “Ya lurus, lah. Kan satu arah.”

Joonhyuk masih menoleh ke sana kemari, tapi matanya menerawang jauh entah ke mana. Lalu Jooyoung tertegun kembali.

Oh... Kak Joonhyuk tau. Lagi.

Jooyoung tidak menjawab. Joonhyuk juga tidak mendesak Jooyoung buat cepat-cepat memberi jawaban.

“Kak Joonhyuk.”

“Hmm?”

“Lo pernah mikir gak sih? Kalau gue gak mau kelihatan lemah di depan lo.”

Joonhyuk akhirnya menoleh pada Jooyoung. Ia tatap Jooyoung beberapa saat sebelum menjawab. “Lo belum pernah kelihatan lemah di mata gue. Satu kali pun.”

Bahkan saat Jooyoung menangis setiap kali menyaksikan penyelamatan, atau saat tubuhnya bergetar pada panggilan yang sama dengan panggilannya dulu, Joonhyuk tidak pernah menganggap perempuan itu lemah.

Mereka masih saling bertatapan. Matahari semakin turun dan sinar sorenya menyapu wajah mereka berdua. Tangan Jooyoung meremas kencang plastik es batu di tangannya.

Joonhyuk berbalik dan maju selangkah, sampai bayangannya menutup Jooyoung dari silau sinar matahari yang mengenai wajahnya. Ia mengulurkan tangannya pada Jooyoung. Mata bulat Jooyoung melebar.

Joonhyuk tetap tidak berkata apa-apa. Ekspresinya tetap sama; tegas dan serius. Jooyoung mencari celah dari ekspresi laki-laki di hadapannya. Dia tidak menemukan keraguan, celaan, kasihan, dan emosi lainnya. Kalaupun ada sesuatu, maka itu adalah kehangatan yang terpancar dari mata tajam Joonhyuk, dipadukan dengan pantulan sinar senja yang membuat wajah Joonhyuk terlihat semakin hangat.

Dengan perlahan, Jooyoung meletakkan tangannya di atas tangan Joonhyuk. Joonhyuk meraih tangan Jooyoung dan mengunci jari-jarinya dalam genggaman. Ia mengangguk pada Jooyoung, lalu berbalik dan mulai berjalan, beriringan.

Tidak ada yang bicara. Joonhyuk memutuskan menunggu Jooyung yang mulai lebih dulu, disambi menikmati langit yang mulai menguning.


Joonhyuk agak tersentak, karung arang yang belepotan itu mengenai celana kremnya, meninggalkan serbuk dan noda hitam. Ia menoleh. Masih dalam genggamannya, Jooyoung berhenti berjalan.

Matanya tidak perlu mengikuti arah pandang Jooyoung. Joonhyuk sudah tahu Jooyoung sedang melihat ke mana. Tempat Jooyoung mendapatkan hari terburuknya.

Wajah Jooyoung datar. Tatapannya tidak kosong, terfokus pada satu titik, gang antara 2 ruko dengan sinar matahari yang masuk lewat celah-celah atap usangnya. Kelihatan sangat estetik buat street photography, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dalamnya.

Entah apa yang sedang dipikirkan Jooyoung, kali ini Joonhyuk tidak mencoba buat memahaminya. Itu bisa nanti saja. Dia cuma menunggu Jooyoung siap kembali untuk berjalan.

Joonhyuk mengusap punggung tangan Jooyoung dengan ibu jarinya, membuat perempuan itu menoleh. Sama seperti tadi, Joonhyuk tidak berkata apa-apa.

Sekali lagi, Jooyoung melihat gang kecil itu, lalu kembali pada Joonhyuk.

“Ayo, Kak.”

Sisa perjalanan yang cuma selang berapa ruko ke panti tetap mereka habiskan dalam diam. Setiap kali tangan Jooyoung berkutat gelisah dalam genggaman Joonhyuk, laki-laki itu akan mengusap punggung tangan Jooyoung dengan ibu jarinya.

Lalu Jooyoung akan merasa, setidaknya, ada satu tempat aman di dunia.


Klik #damkarlife for more

#LeeJoonHyuk #LeeJooYoung #indofic

Komentar dan feedback: https://secreto.site/18493978

Terima kasih!!! xx