aphro제

I write things. Sometimes sad, sometimes happy. But most of the time it breaks a heart.

Kita

Jemari Kaira tak henti menari di atas lembar putih buku diary yang sedari tadi ia genggam. Surai cokelatnya ia biarkan terjatuh, seolah melarang siapapun melihat paras cantiknya. Sudah hampir dua jam ia bertahan di duduknya, ditemani bisikan angin yang berhembus merdu.

“Ra,” seorang lelaki dengan surai hitam menepuk pundak Kaira, memintanya untuk sejenak berhenti.

“Ya, San?”

“Kamu nggak pegel apa?” Kaira terkekeh pada San -sang lelaki.

“Enggak, lagian ini bentar lagi selesai. Kenapa? Kamu bosen?” San mengangguk kecil, gemas.

“Yaudah, yuk jalan-jalan?” ujar Kaira, akhirnya. Tak tega melihat sang terkasih dirundung bosan.

“Eh? Tapi kan tulisan kamu belum selesai? Nanti kalo kamu lup-” San sejenak terhenti, lalu memandang gadisnya yang tersenyum tipis mendengar penuturan San.

“Lupa? Kan ada kamu yang jadi ingatan aku, San.”

“Yuk, ah.”

Jemari mereka bertautan, seolah enggan untuk melepaskan dan enggan untuk terpisah. Membelah dinginnya malam, dua insan merengkuh hangat hati satu sama lain.

Tawa dan senyuman lepas seolah menjadi tanda, bahwa ada rasa sakit yang keduanya pendam. Tak butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa keduanya sama-sama terluka.

“San, mau janji nggak sama aku?”

“Janji apa?”

“Janji buat selalu jadi ingatan aku.” Genggaman mereka terlepas, langkah mereka terhenti. Kaira menatap langit malam dengan sendu. Ia tak ingin melupakan.

“Janji buat selalu ada di samping aku. Janji buat selalu jadi San nya Kaira.” Lanjut sang gadis. San berdiri terpaku, hatinya mencelos. Ia tahu, bahwa sang gadis memendam lebih banyak rasa sakit dibanding dirinya.

“Ra..”

“San janji ya? Buat selalu ada di buku diary aku.”

Satu rengkuhan hangat membungkus tubuh dan hati sang gadis. Luka dua hati bertubruk menjadi satu, saling menimpa namun tak menyembuhkan.

“Ra, aku janji. Aku janji bakal jadi orang pertama yang bakal kamu liat di pagi hari, dan aku janji buat selalu jadi ingatan kamu. Aku janji, Kaira.”

Kaira tahu, tak mudah untuk menjadi San. Merelakan dirinya sejenak menjadi orang asing, dan harus memberikan afeksi lebih terhadap Kaira. Merelakan dirinya sejenak terlupakan.

Dan San tahu, tak mudah untuk menjadi Kaira. Memaksa memori lamanya kembali terputar, bak film yang di rewind. Memaksa, karena Kaira hanya akan mengingat satu tanggal yang sama, saat ia membuka mata.

Keduanya tahu, meski hati memiliki rasa, ingatan berkata sebaliknya. Jemari terkadang ingin meraih, namun terhempas oleh rasa takut dan tidak percaya. Keduanya, sejenak menjadi orang asing, setidaknya pada 10 menit pertama mereka bersua.

“Selamat pagi, Kaira.”

“Uh- siapa?”

“Aku San.”

“Maaf, aku nggak inget punya temen namanya San? Ohya, maaf, bisa keluar sebentar? Aku harus siap-siap ke sekolah. Hari ini pengumuman kelulusan aku.” San tersenyum kecut mendengar penuturan Kaira.

“Ra, sekarang tanggal 27 mei 2020, kamu udah lulus 4 tahun lalu. Coba buka deh, diary kamu.” Kaira tertegun, namun tetap melakukan apa yang San minta.

Perlahan, air matanya menetes. Ia tak ingat, tetapi melihat nama San tertulis begitu banyak di setiap lembarnya membuat hatinya mencelos. Tangisnya hari itu, bukan tanpa arti.

  • Besok anniversarry Kaira dan San yang ke 3tahun! – 26/5/2020, Kaira.

Kalimat itu, adalah yang ditulisnya kemarin. Ia tak ingat, namun San yang di hadapannya pasti adalah San yang sama yang ada di bukunya. Dan hari ini, adalah hari jadi mereka yang ke 3.

San, merengkuh hangat sang terkasih. Memori mungkin melupakan, namun hati tidak. San membawa hati keduanya bertemu, meraih rasa satu sama lain.

San akan terus mencintai. Meski setiap hari ia harus berkorban untuk terus menjelaskan siapa dia, dan apa arti kita dalam hidup San dan Kaira. San akan terus menjadi San nya Kaira. Meski ia tahu, bahwa mereka tak akan pernah menjadi sama.

Bahwa arti kita, akan terus terhapus pada saat Kaira membuka mata.

Untuk kamu, dan kita.

Semburat senyum, dihadirkan untukku melalui mereka yang ku sebut keluarga. Tak terhitung sudah berapa banyak, aku menarik garis bibir hingga ke telinga untuk mereka. Mereka, yang berharga.

Hari, dan waktu berlalu dengan cepat. Aku hancur. Rasanya, sangat ingin menyalahkan semesta. Sebab memberikan skenario buruk, disaat sedang menjalankan cerita indah. Namun, aku kembali menutup lisan. Agar kita, sama-sama tidak merasakan sakit dan luka.

Sayap telah patah, bahkan saat belum sempat untuk mengepak. Malaikat tak lagi dapat terbang, sang master tak lagi memegang peran. Usai sudah, semuanya. Meski sudah terlanjur hancur, skenario ini merengkuh hati menjadi satu. Melebur lara menjadi rasa. Skenario ini, menguatkan kita sebagai keluarga.

Terimakasih, untuk kamu. Terimakasih, telah ada. Menghadirkan segala tawa, dan sentuhan hangat untuk masing-masing hati. Kamu, adalah yang ku sebut keluarga. Membagi cinta untuk satu sama lain, merengkuh rasa satu sama lain. Menguatkan jiwa, yang terbentur oleh luka. Terimakasih, telah menjadi tangan dan telinga untuk satu sama lain.

Terimakasih, telah bertahan. Untuk kita, yang dihantam badai setelah pelangi. Terimakasih, atas segala cinta. Untuk kita, yang menjadi keluarga. Sang master, dan para malaikatnya, terimakasih untuk segala kata. Hujan badai akan tergantikan oleh pelangi dan kupu-kupu, sebab kita adalah keluarga.

Universe ini, sudah berakhir. Aku, kamu, bukan lagi seorang malaikat. Sang master, bukan lagi seorang pemegang kendali. Hanya melalui prolog dan isi, universe ini telah tertutup. Hati sudah terlanjur hancur, namun tak ingin pergi. Biarlah terus seperti ini, aku, dan kamu, tak terhalang gelar dan peran, menjadi satu karena rasa.

Untuk kamu, dan kita, tetaplah menjadi keluarga. Sebab aku, tak sampai hati untuk meninggalkan apa yang membuatku bahagia.

Sincerely, Angel Jeje.

Adorasi.

San menyandarkan tubuhnya pada sofa kelabu di tengah ruang kosong. Ada satu rasa yang kembali ke dalam ruang rindunya. Kenangan baik maupun buruk, berkecamuk dalam benak San. Surai hitamnya dibiarkan menutupi netra, seakan enggan untuk menatap dunia.

Hidupnya kini perlahan rata dengan tanah, hancur tak tersisa. Karena sejak satu tahun silam, San sudah menyerah pada semesta. Satu tahun, adalah waktu yang cukup lama baginya. Cukup lama untuk bertahan, meskipun akhirnya tidak.

“Maaf, Laura. Aku bakal ingkar janji.” Ujar San begitu pelan, berbisik pada diri sendiri.


9 Juli 2019 “Mulai besok, kamu tidak usah bekerja lagi. Ini gajimu bulan ini, dan ada bonus di dalamnya.”

San merasa hidupnya sia-sia. Tak banyak yang dapat ia buktikan, bahwa ia layak. San malu. Terlebih pada ibunya, yang memandang dari Surga. Sebab lagi-lagi, ia gagal.

San memasuki toko perhiasan yang tak sengaja ia lewati. Besok, adalah ulang tahun Laura -gadisnya. Beruntungnya San, ia memiliki uang untuk membelikan gadisnya hadiah.

“Ada yang bisa saya bantu?” Pramuniaga menyambutnya ramah. San tersenyum sembari menunjuk sebuah kalung berbandul bintang.

“Saya ambil yang ini, tolong dibungkus yang cantik.”

San menyusuri jalanan malam dengan sendu. Sebuah kotak hadiah menemaninya sepanjang jalan. San bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan setelah ini? Untuk apa ia menjalani hidupnya? Bertanya-tanya, akankah ada bahagia untuknya?

Tak lama, San memasuki lobby rumah sakit tempat Laura dirawat. Sangat sepi, mengingat sudah hampir tengah malam. San sengaja datang pada waktu sekarang, untuk memberi kejutan sang terkasih.

Belum sempat San menyapa, tubuhnya ambruk seketika. Rengkuhan ibu Laura menambah rasa sesak di hati San. Derai air mata turun tanpa seizinnya. Hatinya hancur, sebab ada satu lagi kegagalan dalam hidupnya.

“Laura tadi cari San, tapi San di hubungin nggak bisa. Laura mau nunggu San, tapi ternyata Laura sudah nggak sanggup.” Penuturan ibu Laura membuat luka di hati San semakin menganga. San bersimpuh, menyalahkan semesta. Karena begitu tak adil, memberi hidup ini kepada San.

“San, tadi Laura kirim pesan. Coba di baca ya, nak?”

San meraih ponsel yang sedari tadi ia matikan. Benar saja, ada dua pesan tak terbaca dari sang terkasih.

San kapan kesini? Aku mau ngomong sama kamu.

San, aku mungkin nggak bisa bilang ini ke kamu besok, jadi aku bilang disini aja, ya? Karena aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, dan kapan bisa ketemu sama San. San, selamat ulang tahun. Makasih, udah jadi San nya aku. Makasih, udah jadi salah satu kebahagiaan aku. Aku bersyukur banget punya San di dunia ini, meski sebentar. San, aku tahu apa yang terjadi. Kalo bisa, rasanya aku pengen peluk kamu sekarang. Kamu boleh nangis di depan aku, kamu boleh ngeluh sama aku. Tapi janji, ya? Jangan pernah nyerah. Janji sama aku untuk terus bertahan. At least, lakuin itu buat aku. Bisa kan? San, makasih atas waktu dan cinta yang kamu berikan buat aku. Aku bahagia. Makasih udah jadi duniaku. I love you, Laura.

Semesta seakan mengolok San, meneriakkan kata bodoh berkali-kali. Jika saja, ponselnya tidak ia matikan, San pasti punya kesempatan untuk sekedar mendengar suara Laura. Memang, San bodoh. Begitu bodoh hingga akhirnya kembali merasakan hilang. Dan tak sempat untuk berkata pamit, atau sekedar merengkuh hangat.


Sebuah kotak cantik berwarna putih berada dalam genggamannya. Kalung berbandul bintang, masih ia simpan dengan rapi. San menatap langit malam dari jendela. Angin malam berhembus menyapu surai hitam dan paras rupawannya.

“Ra, maafin aku. Aku nggak bisa nepatin janji yang kamu kasih.”

San meletakkan kotak putih itu di sofa, bersebelahan dengan ponselnya yang menyala dengan sebuah pesan tertulis pada layar.

Aku menyusul Laura, dan Ibu.

Ia kembali menuju jendela, menatap langit malam untuk yang terakhir. Sebelum akhirnya, San membungkus tubuh dengan angin. Semesta, membuatnya menyerah.

San memeluk tubuh, membiarkan angin membawanya terbang. Derai air mata terus mengalir tanpa henti, menciptakan hujan yang menyayat hati. Sebab, hati tak lagi dapat membendung luka.

San tersenyum tipis, sebelum akhirnya menutup mata. Angin tak lagi membungkus tubuh, tergantikan gelap yang tak berujung. Semesta, akhirnya menghapus segala luka, selamanya.

San mengorbankan dunianya, demi menggapai kata bahagia. Ia mencapai titik dimana kegagalan adalah satu-satunya pilihan, dan menyerah adalah satu-satunya jalan. Meskipun sebenarnya, pengorbanan San tak lagi memiliki arti. Sebab dirinya telah menyerah, sejak satu tahun silam.

Dan kini, tepat 10 Juli 2020, San dan Laura mendapat bahagianya, dengan sebuah adorasi.


vlessingtae, 2020.

No chance.

Rain go down as San starts to walk out from the office. He doesn’t even bother to come back to take shelter, he just walk away as if nothing happened. His gaze looks empty, his steps seems heavy.

“Your life is sucks. I hate you, San.” He murmured. Few minutes ago, he just got fired. He did nothing wrong, he was framed as if he did. There’s no one behind him, there’s no one helping him. San takes all the blame.


“What should i do?” he repeats the words again and again. His anxiety takes over his head, he lost himself at this moment. All of the glasses are broken here and there. Causing lots of blood, as San steps on it.

“Why am I living this life?”

“WHY ME?” he throws the last plate to the floor. He feels angry, upset, and guilty. He drowned himself into the black hole, deeper than ever. Dark, and lonely.

He, once, had a best friend. It was before he caught him be friend with San just for winning a bet. San hates his life even more since then.

Nobody was there for him. Nobody, until now.


His phone rings, a message popped up on the lockscreen.

Hi, San. It’s Hongjoong. Have a time for lunch? I want to talk to you.

San slightly smile to his phone. Hongjoong is an old friend. He is the one who helped San got his last job, before he got fired in the end. San almost forgot about Hongjoong. He almost forgot, that he has one person that still on his side.

He steps in on a cafe Hongjoong told him. San walks to the table where a boy with blue hair sits.

“Hyung.”

“San! You are here, sit down.” Hongjoong smiled, not a happy smile.

“San, I just heard about what happened to you. Are you okay?”

A cliche question that don't even need an answer, actually. San shakes his head, that's his answer. Hongjoong pull out a paper, a song lyric.

“San, join me, to make a song. It’s your dream, right? To be a singer?” Again, San shakes his head. He doesn't want it. He thanked Hongjoong for his help, but that's not what he needs right now. Besides, he is done with his life.

“No, Hyung. I won’t take it.”

“Why?”

“I decided to move out, tomorrow. My life in here is sucks, so I wanna leave.” Hongjoong stay still, not saying any word. He stares at the boy in front of him. He wants to help San, it’s his mission, actually.

“San, it will change you and your life. I promise.”

“It won’t, Hyung! Nothing’s gonna change, if I still live here as Choi San.” San walks away, leaving Hongjoong all teared up. There’s no other chance, it will stay the same.

The sand flow up even quicker, Hongjoong’s time is over. Their time is over.


His apartment is half empty. All of his belongings are packed and he is ready to move. He decided to go back to his hometown. The loaded truck parked down there, he rented a truck himself because he want to be all alone.

After organizing his belongings on the back, he start to drive.

“Is this a right choice?”

“Are you sure wanna leave?”

“You think your life will get better if you run away, cowards?” These voices resound in San’s head. His gaze change, empty. The anxiety takes over again. The car stops in the middle of the road. He is shaking, doesn’t know what to do.

“You are useless.”

“You are worthless, Choi San.”

”SHUT UP!” He yelled. The sound of car honking bring him back to reality. He starts to drive again, as he keeps repeating the same question, murmured. “You think your life will get better?”.

He, again, stops in the middle of the road. He is sick, of everything. He is done, he wants a better life. San loosen his seatbelt, waiting for the right moment, he opens the door.

San is sick of his life. When the moving car that stopped for a moment, he jumped out of the car.

He jumped out, right at the time a car from across moving fast. He bumped himself to the car, leaving the pain on the street. He falls hard, until everything turns dark.

He failed. He give up.

He smiled, for the last time. “You did great, Choi San.” It’s his last word, before the darkness take over. His life ends here.

Halo.

Cukup sering aku bersua denganmu, namun tak sedetikpun aku mampu untuk menyapa. Perangai mu yang menawan, membuat hati menyimpan rasa. Membawa kupu-kupu terbang menuju angkasa.

Meski baru menghitung hari, nyaman ternyata menjadi kata yang pasti. Aku nyaman. Tutur kata, membawaku menuju awan. Seonghwa, rasaku telah memilihmu.

Seonghwa, halo. Sapaan pertama dan mungkin terakhir, kini mampu ku utarakan. Aku, kagum. Pada perangai dan parasmu. Begitu baik, pun juga misterius.

Seonghwa, terimakasih.

Atas segala kata, dan rasa. Jika hari ini adalah terakhir kali aku dapat menyapa, aku rela. Terimakasih, atas hari dan hati nya. Jika aku esok harus pergi, Seonghwa adalah orang pertama yang akan aku ingat.

Terimakasih, atas tutur yang menarik rasa. Sampai kita bersua kembali, Seonghwa.


vlessingtae to mindmasteratz.

Agony

kita tak dapat saling menyembuhkan, sebab kita ternyata tidak ditakdirkan untuk itu.


Aku melangkah tanpa arah, batinku kacau. Rentetan pesan tak terbaca, memenuhi layar ponsel. Aku tak cukup kuat untuk membuka satu persatu, sebab hati ini dapat hancur kapan saja.

Hujan perlahan turun. Semesta seakan membaca hatiku, menurunkan air nya untuk meredam luka. Aku tenggelam, dalam rasa perih dan air hujan.

Maaf, aku nggak bisa ketemu kamu.

Aku nggak jadi ke Korea, perjalananku batal.

Sayang? Yeosang kritis. Dia nabrakin diri ke mobil, baru aja. Doain ya nak. Ini mama Yeo.

Hanya tiga pesan yang mampu aku baca, pun menjatuhkan ku begitu dalam. Kita, sama sama salah. Rasa ini, menjadi sebab kita hancur.


2020, 06 10

Aku menolak kenyataan dimana, jarak mengambil alih rasa. Sebuah kata pamit, mampu meruntuhkan pertahanan yang ku punya. Meski, ada janji untuk kembali.

“Aku kan bakal sering hubungin kamu, jangan sedih. Cuma Jepang, kok.” Yeosang memelukku, erat. Bukannya aku tak mau ia mengejar cita, hanya saja, aku takut.

“Janji? Setiap hari ya, Yeo?”

“Iyaa. Setiap hari aku bakal video call kamu sampai bosen.” Yeosang terkekeh kecil, sebelum mencium keningku lembut.

Rasa hampa menyelimutiku. Memberikan rengkuhan terbaiknya. Melihat punggung Yeosang menjauh, ada sedikit rasa yang ikut menjauh pula.


Aku dengan selamat pagiku, Yeosang dengan selamat malamnya. Tak ada waktu kita bertemu. Sibuk, menjadi kata penyambung frasa.

Perlahan, kita sama-sama meragu. Adakah rasa yang masih tersisa? Apakah kita masih menjadi pemilik hati satu sama lain?

Aku, menemukan jawabannya.

Malam itu, 10 Juli 2020. Yeosang meneleponku. Berkata rindu, dan menyapa hangat. Semburat sedih terasa pada setiap tekanan kata yang terucap.

“Maaf.” Dengan penekanan penuh, malam itu Yeosang meminta maaf. Aku sepenuhnya diam, menunggu alasan dibalik sebuah kata maaf.

“Aku rasa, kita semakin menyakiti satu sama lain. Aku menyakitimu, begitupun sebaliknya. Aku mendengar semuanya. Tentang kamu, dan hancurnya hati kamu saat itu. Dan, San menjadi orang yang ada buat kamu, menggantikan peranku.”

“Kamu selalu bilang, kamu baik-baik aja. Kamu bilang, kamu bahagia. Aku pun juga. Padahal, masing-masing dari kita sebenarnya tahu apa yang terjadi. Tapi, kita tak perlu repot untuk tanya bagaimana keadaan hati, sebab sudah ada yang menyembuhkan. Aku benar, kan?”

Aku tak mengelak, sebab apa yang di utarakan adalah sepenuhnya benar. Aku, dan Yeosang, tak perlu repot menanyakan tentang sedih dan luka. Sebab, luka itu perlahan sembuh oleh rasa yang berbeda.

“Sayang, jarak sudah semakin memisahkan. Dan ternyata, jarak juga mengambil sebagian rasa yang ada. Maaf, karena aku bukanlah orang yang dapat menyembuhkan kamu. Dan kamu, juga bukan lagi orang yang dapat menyembuhkanku.”

Derai air mata membasahi pipi. Hati sudah terkoyak, dunia telah runtuh. Tutur katanya yang halus, semakin membuat luka menjadi terasa sakit. Aku memang salah, namun aku juga hancur.

“Yeo, aku cinta kamu. Sangat.” Hanya itu, yang dapat ku utarakan sebagai balasan.

“Aku juga cinta kamu, sayang.”

Malam itu, sebuah kata rindu tertutup oleh maaf. Membelenggu rasa, menjadikannya luka yang mungkin tak akan sembuh.

Malam itu, adalah kali terakhir aku dan Yeosang bertukar sapa.


Aku tiba, di jembatan tempat aku dan Yeosang bertemu. Angin malam berhembus, menyapu rambut menutupi paras. Netra memandang ke sungai yang sepi, dan gelap.

“Yeo, maaf untuk segala sakit yang aku beri. Mungkin, bukan takdir kita untuk bersama di semesta ini.”

Aku mengambil langkah, menuju batas antara langit dan tanah. Membungkus diri dengan angin, aku melepas genggaman. Langit malam, menjadi saksi akan luka yang terbuka.

Aku tenggelam, dalam kegelapan yang tak berujung. Angin melepasku, membawa menuju samudera. Direngkuh oleh rasa sakit, yang membunuh.

Aku tenggelam, bersama dengan Yeosang yang juga telah menyerah. Takdir, tidak mengizinkan kita untuk menjadi bahagia bagi satu sama lain.

Aku, dan Yeosang, sama-sama menyerah. Kepada luka dan rasa sakit.

Semoga di kehidupan selanjutnya, aku dapat mencintaimu dengan sepenuhnya. Dan dapat menjadi obat, atas segala lara mu, Kang Yeosang.

Hanya Rindu.

Senja menjadi saksi, akan ukiran senyum indah pada dua insan yang bahagia. Jemari yang saling mengait, menandakan adanya rasa yang terjaga. Polesan tawa, menghangatkan apa yang mentari tak dapat.

“San, foto disini yuk?” Wooyoung melepas genggaman, berpindah pada polaroid yang menggantung di leher. San hanya mengangguk.

“Yey! Satu, dua, tiga,” Gelak tawa terdengar bersamaan dengan potret kamera. Sesekali terdengar, teriakan Wooyoung dan kekehan kecil San.

Masing-masing dari mereka, menyimpan satu potret diri di balik ponsel. Mengingatkan tentang rasa, dan sang pemiliknya.

“Woo, besok kita ke festival yuk?”

“Ayo! Aku pengen banget kesana, San!” Wooyoung terus menggenggam jemari San. Masih dengan heboh bercerita, tentang keinginannya pergi ke festival. Sang terkasih mendengar dengan hati yang penuh.

Netra San menelusuri tiap jengkal paras Wooyoung. Mengagumi dan bersyukur. Sebab, semesta menjatuhkan hati Wooyoung untuknya. Lelaki manis dengan surai hitam legam di sisinya, membuat San bersyukur dan bahagia.

“Jadi, besok Sani mau jemput Woo jam berapa?”

“Jam 7 malam ya?”


Wooyoung membuka lembar demi lembar diary yang berisi potret dirinya dengan San. Seulas senyum terpancar dari paras manisnya.

Ke festival dengan Sani, 7 malam

Sebuah pengingat memenuhi layar ponsel Wooyoung. Tak menghiraukan, jemarinya tetap menjelajahi buku diary di hadapannya.

“Wooyoung?” Seorang wanita berparas ayu mendekati Wooyoung. Pakaiannya sangat rapi, seperti hendak menghadiri acara resmi.

“Sudah siap?” Wooyoung menatap wanita itu cukup lama, sebelum akhirnya memberikan anggukan.

Sepanjang jalan, netra Wooyoung terus menatap langit senja. Goresan warna oranye bertemu dengan merah dan ungu, membuai Wooyoung. Membuatnya menulis beberapa frasa indah dalam sebuah kertas.

Langkah kaki Wooyoung menjadi berat. Ada goresan luka yang kembali terbuka, dan kepingan memori yang kembali. Rentetan potret kebahagiaannya dengan San mengambil alih sebagian memori Wooyoung.

Columbarium

Wooyoung masuk seorang diri. Dengan tongkat sebagai penyangga tubuh, Wooyoung tertatih. Digenggamnya sebuah surat indah, yang ditulisnya berdasar senja dan rasa.

Choi San

Wooyoung berdiri di depan lemari kaca sang terkasih. Di dalamnya, terdapat sebuah potret dirinya dengan San, tepat di hadapan vas abu San.

Tak banyak kata, Wooyoung memasukkan lembaran surat lalu duduk bersimpuh di hadapan San. Derai air mata telah membasahi paras manisnya. Wooyoung rindu. Luka kembali terbuka, rasa sakit kembali membelenggu hati.

Masih ada janji, yang harus ditepati. Masih ada hati, yang harus dijemput. Namun, semesta tak memberi satu kesempatan untuknya dapat merasa. Dunia lebih dulu memisahkan, sebelum dua insan dapat saling memahat kasih dengan paten.


Halo sani

Kamu inget nggak hari ini hari apa? Hehe. Setahun lalu, kamu janji mau ajak aku ke festival. Kamu janji malam ini mau jemput aku jam 7. Aku bahkan masih pasang alarmnya loh, Sani. Tapi, beneran udah nggak bisa, ya? Hehe. Sani, Woo kangen.

Semua ini salah Woo, ya? Kalau aja Woo nggak telpon Sani pagi itu, dan nyuruh Sani buat nyetirin Woo ke kampus, mungkin kita bisa ke festival. Maafin Woo ya, Sani? Tapi Woo udah dapet ganjarannya kok. Sekarang Woo nggak bisa denger, dan kaki Woo diamputasi. Harusnya Woo dapet ganjaran yang setimpal sama kaya Sani, ya?

Ohya, tadi, langit senjanya cantik banget. Woo jadi inget Sani, soalnya Sani sering ajak Woo jalan-jalan liat senja. Rasanya, aku pengen muter balik waktu. Biar aku bisa liat ketawanya Sani, dan bisa liat senja bareng Sani lagi. Aku pengen bilang sama Tuhan, buat balikin Sani sebentar aja.. Tapi nggak bisa ya?.. hehe.

Sani, kalau kamu tanya aku baik-baik aja atau enggak? Jawabanku bakal tetep sama, aku nggak baik. Sejak saat itu, aku nggak pernah jadi baik, Sani. Aku rindu. Rindu sekali. Tau nggak? Setiap hari aku selalu liatin foto kita. Berharap dunia yang aku jalanin cuma mimpi, dan saat aku bangun aku bisa ketemu Sani lagi..

Sani, jaga aku dari sana ya? Cintai aku dari sana. Sampai kita bertemu lagi ya, Sani. Wooyoung bakal sayang sama kamu, selamanya.

The one who loves you the most, your Woo.


Angin malam berhembus, menyapu surai hitam Wooyoung. Tepat pukul 7 malam, Wooyoung berdiri di tengah taman kota. Menggenggam potret dirinya dengan San, dan sebuah bucket bunga mawar putih.

“Sani, ayo ke festival.”

Tutur kata yang disampaikan lewat angin, berhembus menuju surga. San memandang Wooyoung dengan senyum manisnya.

“Ayo, Woo. Aku disini.”


vlessingtae, 2020.

Untuk duniaku, Song Mingi.

Semesta bertanya padaku, kemana rasa ini akan aku bawa? Kepada siapa, rasa ini akan berlabuh? Aku selalu menjawab nama yang sama, Song Mingi. Sebab, tak ada lagi hati yang sejalan dengan rasaku.

Mingi, mungkin kamu tidak akan ingat, tetapi hati akan selalu merasa. Ketika hati telah memilih, ia akan menjadikan pemiliknya rumah. Begitupun aku, dan kamu. Karenanya, aku bukanlah orang asing. Aku, adalah yang kamu sebut rumah. Dulu, setidaknya.

Mingi, hari ini hari spesial. Lagi, mungkin kamu tidak akan ingat. Selamat hari jadi yang kedua, sayang. Terimakasih, atas segala rasa yang kamu beri. Atas rengkuhan hangat yang masih membekas, dan kecupan manis di kala rindu.

Disini, aku masih mencintaimu. Dengan rasa yang sama, dengan hati yang sama. Jujur, aku sempat terluka. Melihat kamu, dengan segala kehilangan mu, aku terluka. Ketika kamu bertanya siapa aku, aku hancur, Mingi. Tetapi, aku tidak menyerah. Sebab, aku tak ingin kehilangan duniaku.

Untuk itu, ijinkan aku.. Ijinkan aku, membantu kamu mengembalikan semuanya. Satu persatu, ayo berjuang untuk itu. Aku rela berkorban hidup, agar kamu dapat mengingat semuanya. Agar kita dapat merengkuh hati satu sama lain, lagi. Ijinkan aku, membantu kamu, untuk menggapaiku lagi.

Aku akan membagi memori, jiwa, dan cerita, untuk membawamu pulang. Sebab, aku rindu.

Ya, aku rindu.

Aku merindukan Mingi yang selalu mengirim pesan setiap malam. Aku rindu, kala kamu bersenandung mengantarku kepada mimpi. Aku rindu, pada rengkuhan hangat kala aku terjatuh. Aku rindu, kepada Song Mingi.

Aku tak pandai berkata manis, itu keahlianmu. Karenanya, aku juga merindukan rayuan manismu itu. Aku tahu, untuk kembali, itu akan melelahkan. Namun, bisakah kita sejenak bertahan? Sebab, bahagiaku adalah kamu.

Mingi, jika kamu bersedia, aku akan membantumu. Tak peduli waktu, aku akan terus bersamamu. Bercerita tentang kita, dan rasa satu sama lain. Aku disini, akan terus memberi rasa yang sama. Dan hatiku, akan selalu menemukan rumahnya. Karenanya, aku bertahan. Meski terluka, dan perih, aku bertahan.

Mingi, aku mencintaimu. Sangat. Segeralah pulang, duniaku. Sebab, sang mentari enggan bersinar, bila tidak pada dunianya.

Yang sangat mencintaimu, Jeong Yunho.

Kepada yang bersinar paling terang, Sirius.

Gelak tawa dan semburat senyum, diberikan padaku setiap pukul 7 malam. Tak hanya tawa, perkataan manis pun memenuhi hati yang sepi. Meski jauh, rengkuhan hangat terasa memeluk tubuh sebelum bertemu mimpi. Mereka yang berharga, mereka yang aku sebut keluarga.

Semakin lama, aku terayun dengan rasa nyaman. Enggan melepaskan, dan bergantung sangat erat. Sebab, kalian, adalah rumahku yang berharga. Tempatku pulang, ketika duniaku sedang runtuh. Aku sempat berkata, kalian adalah alasan penatku menghilang. Aku tidak mengada, benar adanya.

Terimakasih, atas segalanya. Tak terhitung sudah berapa kali, aku mengatakan terimakasih dalam hati. Sebab, kalian melunturkan segala penat dan resah dalam diriku. Menjadi alasan bagiku untuk tersenyum setiap hari. Terimakasih.

Teruntuk leaders, Terimakasih atas segala usaha yang kalian beri. Segala cerita indah yang tersusun, dan rengkuhan hangat di setiap tutur. Terimakasih, telah menjadi sosok hangat dengan segala panggilan sayang yang terucap.

Teruntuk Boatswain, halo papi. Maaf, karena sering tidak hadir. Maaf, karena sering membuat papi kesusahan sendiri. Maaf, karena tidak selalu menjadi yang utama. Tetapi, terimakasih. Karena begitu sabar, dan sangat baik untuk anak boatswain. Terimakasih atas segala semangat dan rasa bangga nya untuk kami. Aku, sangat merasa senang menjadi bagian dari boatswain.

Tidak ada yang tahu kapan kapal akan berlabuh, untuk itu aku berikan surat ini. Kenangan indah akan selalu terukir, bersama dengan semburat senyum tiada akhir. Perjalanan panjang, mengurai kisah penuh rasa. Meski tak selalu berisi pelangi dan kupu-kupu, cerita Sirius tetap menjadi indah.

Aku tak ingin berkata pisah. Sebab, aku tak ingin kehilangan sebuah keluarga, yang menjadi tempatku pulang.

Sincerely, Jeje.

Pamit.

Acrux membiarkan butiran hujan membasahi diri, mengguyur segala luka. Derai air mata pun sudah tak memiliki arti. Semesta seperti tahu, bahwa sedang ada yang terluka hatinya. Membiarkan air hujan turun, menyamarkan air mata yang terjatuh tanpa henti.

Hatinya telah patah, dihancurkan oleh pukulan keras berdasar cinta. Acrux tak tahu, bahwa mencintai akan menjadi sesakit ini. Bahwa tersirat kata pisah, pada tutur dan rasa sayang. Acrux baru menyadari, bahwa ia telah jatuh ke dalam lubang gelap yang ia ciptakan. Sulit baginya untuk merangkak keluar, tanpa harus mengoyak hati.


“Seharusnya, aku tak menaruh rasa padamu sejak awal.”

“I never should've said I love you. Jika pada akhirnya, aku lah satu-satunya orang yang merasa. Jika pada akhirnya, kata cinta hanya akan menyakiti. Itu menyakitkan, untukku.” Acrux bergetar, menahan segala sakit yang perlahan mengambil alih rasa.

Netra nya menatap sang terkasih, menelusuri tiap inci paras rupawannya. Surai hitam yang dibiarkan terurai, sangat mengundang untuk dibelai. Namun, Acrux menahan keinginan itu. Sudah cukup. Acrux ingin menjadikan malam ini, sebagai epilog dalam kisah mereka.

“Acrux, maaf. Iya, aku berbohong. Atas semuanya, aku berbohong. Tapi aku juga berusaha, Acrux.”

“Berusaha? Bahkan untuk kembali merengkuhku, kamu tak mampu. Bahkan untuk mengatakan kembali kalimat aku cinta kamu, kamu pun tidak sanggup. Lalu, mana yang harus aku anggap sebagai usaha?”

Sang terkasih terdiam. Yang diutarakan Acrux benar adanya. Hanya Acrux yang selalu berusaha, hanya Acrux yang selalu mencinta. Kata cinta tak pernah sekalipun terbalas. Bodoh, benar Acrux bodoh. Ia mencinta, untuk sebuah omong kosong.

“Selamat tinggal. Kita sudahi saja, ya? Ini terlalu menyakitkan, dan aku sudah cukup hancur karenanya. Aku tak membencimu, bahkan, aku masih menyayangimu. Tapi, sepertinya semesta tak setuju. Kita hanya menciptakan luka, untuk satu sama lain. Cinta yang kita ucap, hanya akan menambah luka pada hati. Kita sudahi saja. Kita selesai. Kamu tidak perlu lagi berbohong pada hatimu. Memaksakan rasa yang tak seharusnya.” Tutur Acrux akhirnya.

“Bahagia selalu ya.”


Melepaskan sesuatu yang berharga memang meninggalkan luka yang dalam. Terlebih, ketika cinta sudah mengambil alih hati sepenuhnya. Selama ini, Acrux mencintainya sepenuh hati. Hingga Acrux tak menyadari, bahwa cintanya itu mendorongnya ke dalam lubang gelap. Lubang yang penuh dengan rasa sakit dan kecewa, namun terbungkus dalam kata sayang.

Acrux memandang langit malam, hujan telah berhenti dan tak ada bintang yang bersinar. Langit seakan ikut merasakan kekosongan pada hatinya. Meredupkan cahayanya, agar Acrux dapat membagi sedihnya.

“I never should've said I love you..” ulangnya, kini pada semesta. Selama ini, segala rasa terucap sia-sia.

Selama ini, Acrux hanya tahu rasanya mencintai, tanpa tahu rasanya dicintai sebanyak ia mencintainya.


vlessingtae.