adu mulut

narasi bagian tiga puluh tiga dari Dua Sisi, a sSuna harem story


Tooru memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang kediaman Suna. Begitu Rintarou mendapatkan pesan dari ayahnya, Rintarou dan Tooru terpaksa menghentikan acara ‘kencan’ mereka dan memutuskan untuk mengantar Rintarou pulang ke rumah. Ia mematikan mesin mobil kemudian menoleh menatap Rintarou di sebelahnya.

“Lo yakin sendirian aja?” tanya Tooru kepada Rintarou.

Rintarou mengangguk. “Gue nggak apa-apa. Kan emang gue juga yang ngajak lo keluar. Lo nggak salah apa-apa,” ucap Rintarou.

“Tapi lo juga pergi bareng gue. Harusnya gue juga tanggung jawab ngadep ortu lo,” ucap Tooru.

Rintarou menggeleng. “Kalo gue bawa lo ke dalem, bokap gue bakal makin ngamuk,” ucap Rintarou, “gue sendirian aja,” sambungnya.

Tooru terdiam, merasa tidak puas jika harus membiarkan Rintarou mnghadapi kemarahan orang tuanya sendiri.

“Udah elah. Kayak apaan aja. Gue juga nggak bakal diapa-apain juga,” ucap Rintarou yang menyadari keraguan Tooru.

Chat gue, ya, kalo lo udah selesai ngomong sama ortu lo.” Pinta Tooru. Rintarou mengangguk, “kalo HP gue nggak disita, ya,” balasnya.

“Suna-chan—“

“Iya, iya. Gue bakal chat lo nanti!” tukas Rintarou sebelum Tooru menyelesaikan ucapannya. “Gue masuk dulu, ya!” tukas Rintarou kemudian.

Tooru mengangguk. Ia menatap Rintarou yang melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu mobil di sebelahnya. Rintarou sudah hampir keluar dari mobil Tooru, namun ia kembali masuk ke dalam mobil.

Rintarou menoleh menatap Tooru, sebelum memajukan wajah kemudian mendaratkan kecupan kilat di pipi Tooru.

Thanks. I had fun today with you.” Rintarou tersenyum, kemudian benar-benar keluar dari mobil Tooru dan berjalan memasuki rumahnya.

Tooru sendiri masih terdiam. Tangannya meraba bekas kecupan bibir Rintarou di pipinya yang semakin lama terasa makin panas.

Tooru menundukkan kepalanya. Kedua tangannya meremat setir kemudi mobilnya erat-erat ketika ia mendongak menatap pintu gerbang rumah Rintarou yang sudah tertutup.

“Kalo gitu caranya. Mana rela gue nglepasin lo, Rin.”

***

Rintarou berjalan pelan memasuki rumahnya. Jantungnya seperti berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada rasa takut dan cemas dalam dirinya jika hari ini ia akan kembali berseteru dengan kedua orang tuanya.

“Dari mana kamu?” Baru saja Rintarou menginjakkan kakinya di ruang keluarga, suara tegas itu lebih dulu mengagetkan Rintarou.

Di salah satu sofa ruang keluarga itu, Rintarou melihat sang ayah yang menatap nyalang ke arahnya. Jelas sekali ada ekspresi marah dari wajah pria paruh baya itu.

“Main.”

“Sama siapa?”

“Temenlah.”

“Jangan bohong kamu!” tukas sang ayah. “Kamu pikir Papa tidak tahu kamu pergi sama siapa!”

“Ya itu Papa udah tau! Ngapain masih tanya lagi!” balas Rintarou.

“Papa, kan, udah bilang, jangan temui dia lagi. Kenapa kamu masih ketemu sama dia?”

“Ya emang kenapa? Oik juga masih temenku!” tukas Rintarou. “Apa? Papa mau ngelarang-larang aku juga temenan sama siapa aja? Masih mau ngelarang-larang lagi ini-itu sama aku?” tanya Rintarou.

“Papa tidak melarang kamu mau temenan sama siapa aja. Papa cuma minta kamu tidak usah ketemu pewaris keluarga Oikawa itu lagi!”

“Ya emang kenapa? Apa bedanya Oik sama temen-temenku yang lain? Mereka sama-sama temenku juga!” Rintarou mulai keras kepala.

Pria paruh baya itu menatap wajah Rintarou sejenak, sebelum kembali berbicara. “Apa kamu udah lupa kejadian beberapa hari yang lalu?”

“Enggak. Aku sama sekali nggak lupa. Oik bilang mau ngelamar aku. Terus kenapa? Apa cuma gara-gara itu terus Papa ngelarang-larang aku ketemu sama Oik!?” tanya Rintarou.

“Rin! Sadar! Dia itu laki-laki, kamu juga! Orang tua mana yang tidak was-was setelah dengar ada laki-laki lain yang mau melamar anak laki-lakinya?”

“Ya terus kenapa?”

“RIN!”

“Papa jadi benci orang yang suka sama cowok juga sekarang?” tanya Rintarou. “Papa lupa aku juga pernah pacaran sama Eita?” Rintarou kembali melempar pertanyaan. “Apa Papa juga lupa, karena Papa juga yang bikin Eita ninggalin aku gitu aja? Papa nggak suka? Benci? Papa benci aku juga? Makanya habis itu Papa nggak peduli lagi sama aku? Apa karena itu juga Papa jadi sering sibuk kerja daripada ketemu aku di rumah? Papa nggak sudi serumah sama aku yang suka sama cowok juga? Pap—”

“RINTAROU!” suara menggelegar itu akhirnya terdengar. Pria yang semula masih duduk di soda, akhirnya berdiri menegakkan tubuhnya. Tatapannya tajam menatap ke arah Rintarou.

Pria itu berjalan mendekati tempat di mana Rintarou berdiri. Jantung Rintarou kembali terpompa dengan cepat. Ia ingin pergi menghindar, namun apa daya ia tidak bisa bergerak. Rasanya seperti ada lem di kakinya yang membuat Rintarou tidak bisa mengangkat kedua kakinya untuk pergi dari sana.

“Rin, kamu sadar tidak kamu hidup di mana? Negara kita bukan negara yang ramah LGBT! Kamu tau tidak betapa jahatnya orang-orang di luar sana jika tau mereka tau kamu suka dengan laki-laki juga? Apa kamu tau betapa mengerikannya stigma orang-orang terhadap komunitas LGBT sekarang ini? Papa tidak ingin kamu mendapatkan stigma jelek seperti itu! Papa tau kamu masih muda, masih mencari jati diri kamu! Suatu saat kamu pasti akan tau kalau seharusnya kamu bukan seperti itu! Papa masih percaya kamu bisa berubah!”

Rintarou ikut menatap wajah ayahnya. Memperhatikan betapa rasanya sudah sangat lama sekali ia tidak menatap wajah ayahnya sedekat ini. Rintarou bahkan tidak ingat sejaj kapan ayahnya memiliki kantung mata yang menghitam sejelas itu dan beberapa kerutan yang mulai terlihat di dahi. Rasanya sudah bertahun-tahun Rintarou tidak pernah berbicara sedekat ini dengan ayahnya dan ia bisa melihat jelas betapa lelahnya ekspresi wajah ayahnya saat ini.

“Aku masih diam waktu Papa maksa aku sama Eita pisah. Aku masih diam waktu Papa marah dan ngomong jahat sama aku waktu itu. Aku bahkan masih diam waktu Papa milih ngajak mama sibuk ngurusin kerjaan daripada ngurusin aku sama Maisa. Selama itu juga aku nggak pernah berhubungan sama siapa pun, mau sama cowok ataupun cewek. Dan sekarang, waktu ada yang mau deketin aku, bahkan sampai rela sujud di depan kaki Papa. Papa pikir aku bakal diem aja?”

“Papa itu juga laki-laki! Apa Papa pernah mikir gimana jadi laki-laki yang rela sujud di kaki demi minta restu begitu? Oik udah menyingkirkan harga diri dia, buang ego dia demi sujud di kaki Papa! Apa Papa nggak mikir gimana perasaan Oik waktu Papa dengan gampangnya nolak permintaan restu Oik? Apa Papa pernah mosisiin diri Papa misal jadi Oik? Gimana kalo aja dulu kakek sama nenek nggak restuin Papa sama mama, Papa udah sujud-sujud di kaki kakek tapi tetap ditolak? Apa Papa nggak sakit hati? Apa Papa nggak mikirin juga gimana sakit hatinya Oik waktu Papa nolak nggak ngasih restu ke dia?!”

Pria paruh baya itu diam menatap wajah satu-satunya anak laki-laki yang ia punya, kemudian menghembuskan napas pelan.

“Cukup satu kali saja kamu main-main dengan pewaris keluarga Semi. Jangan lagi kamu main-main sama pewaris keluarga Oikawa juga,” ucapnya.

“Papa anggap aku main-main doang sama Eita ataupun Oik!?” tanya Rintarou. “Iya, mungkin emang iya waktu aku pacaran sama Eita karena kita masih remaja, masih sekolah, masih labil. Tapi sekarang? Papa pikir Oik yang rela sujud demi ngelamar aku minta restu itu main-main?”

“Rin, masih banyak di luar sana perempuan yang bisa kamu jadiin pasangan! Masih banyak yang mau sama kamu! Pap—“

“AKU SUKANYA COWOK! BERBATANG! PUNYA PENIS KAYAK AKU! AKU UDAH BILANG BERKALI-KALI SAMA PAPA SEJAK DULU!!! PAPA MASIH BELUM NGERTI JUGA!”

Rintarou lepas, menaikkan satu oktaf suaranya ketika membalas ucapan ayahnya. Napasnya terengah-engah, matanya terasa pedih ketika menatap wajah diam sang ayah yang berdiri di hadapannya.

“Cinta itu tetap cinta, Pa. Nggak peduli kamu cowok mau suka sama cowok juga apa suka cewek. Kamu cewek mau suka sama siapapun. Cinta tetaplah cinta. Cinta nggak memandang jenis kelamin atau gender. Karena kebetulan Papa sama mama bisa jatuh cinta, menikah lalu punya anak dan dipandang ‘seharusnya’ sebuah keluarga memang seperti itu. Tapi bukan berarti yang sesama laki-laki atau sesama perempuan tidak bisa menjadi seperti mama dan Papa.”

“Rin—“

“Jangan suruh aku buat berubah, Pa. Aku nggak bisa!”

“Rintarou!”

Rintarou maju satu langkah mendekati ayahnya, “kalau aku bilang sama Papa, aku bakal terima lamaran Oik. Papa mau apa?” tanya Rintarou.

“Rin! Jangan coba-cob—“

“Kalau aku bilang aku cinta sama Oikawa. Papa mau apa?”

tbc