Amnesia

Semi Eita x Suna Rintarou | slight Miya Osamu x Suna Rintarou semisuna | slight osasuna

cw // bxb , boys love , hars words , little bit nsfw , mention of accident , amnesia , possessive and obsessive behaviour

2,7k words

Siang itu berita menghebohkan datang dari sebuah akun base di Twitter yang mencuitkan sebuah berita kecelakaan yang baru saja terjadi di jalan yang tidak jauh dari sebuah kampus terkenal di kota itu. Cuitan tersebut sontak mendapatkan berbagai macam respon dari para penghuni aplikasi media sosial itu. Base sendiri merupakan sebuah akun yang dibuat khusus untuk menampung pesan dari pengguna Twitter yang nantinya akan dicuitkan secara otomatis menggunakan sebuah bot sistem.

Netizen tampak menuliskan pesan prihatin atas terjadinya kecelakaan tersebut, beberapa dari mereka juga menyerukan ujaran menyalahkan korban kecelakaan yang tidak berhati-hati dalam berkendara. Ada pula di antara mereka yang ribut menerka siapa gerangan korban dari kecelakaan tersebut.

Hingga tidak lama kemudian apa yang membuat netizen penasaran terjawab sudah. Korban dari kecelakaan tersebut adalah seorang pemuda yang berstatus mahasiswa di Universitas X. Bukan, bukan karena pemuda itu menimba ilmu di Universita X itu yang membuat ramai. Namun, karena pemuda tersebut adalah salah satu anggota grup band yang cukup terkenal di kampus tersebut dan tentu saja mempunyai penggemar yang tidak sedikit.

Semi Eita, pemuda dua puluh tahun yang beberapa saat yang lalu masih mengendarai sepeda motornya, kini tampak tidak berdaya dengan genangan darah yang melumuri diri dan tergeletak tidak sadarkan diri.

***

Suna Rintarou tampak terkekeh kecil ketika melihat pemuda di hadapannya yang sedang menikmati makanannya. Miya Osamu, pemuda itu tampak sangat fokus mengunyah makanannya bahkan sampai melupakan eksistensi Rintarou di depannya yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kamu laper apa doyan, sih?” tanya Rintarou akhirnya.

Osamu tertawa, “dua-duanya,” jawabnya.

“Yeee… kamu, mah, kalau sama makanan rakus amat!” tukas Rintarou terkekeh. Tidak bermaksud mencela.

“Habisnya, Rin, makanan itu rasanya enak. Jadi harus dinikmati,” jawab Osamu lagi.

“Aku jadi ikutan kenyang lihat kamu makan sebanyak ini.” Rintarou menimpali.

“Ayolah, jangan cuma aku yang makan, kamu juga harus makan! Apa mau aku suapi?” tanya Osamu menyodorkan sendoknya yang berisi makanan ke arah Rintarou.

Rintarou menggeleng, “aku bukan anak kecil, ih! Aku bisa makan sendiri!” tolak Rintarou.

Osamu terkekeh mendengarnya. “Ya udah, lanjut makan!” ajak Osamu. Rintarou mengangguk, lantas ikut menyendokkan makanan dalam piringnya ke mulut.

Kegiatan makan Rintarou terganggu ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Pertanda jika ada panggilan masuk dari ponsel pintarnya. Osamu melirik, “abang kamu, tuh! Angkat aja nggak apa-apa,” ucap Osamu.

Rintarou mengangguk kecil, “sebentar, ya,” pamitnya kemudian bangkit dari duduknya untuk pergi ke luar kedai makan, ingin menerima panggilan masuk dari kakaknya.

“Ada apa, bang?” tanya Rintarou begitu ia menempelkan ponselnya di dekat telinga.

“Rin, lo di mana?” tanya seseorang di seberang sana.

“Lagi nemenin si babi makan, nih. Kenapa?” jawab Rintarou.

Terdengar kekehan dari seberang telepon ketika sosok itu mendengar jawaban yang Rintarou berikan. “Pacar sendiri lo katain babi,” timpalnya.

Rintarou mendengus, “ya gimana? Kebanyakan makan, sih, Osamu-nya. Udah macam kayak babi,” balas Rintarou.

“Awas ngambek ntar Osamu denger lo ngataian dia babi.”

“Udah biasa ngambek. Dikasih sepong ntar juga jinak lagi,” timpal Rintarou.

“HEH MULUT LO!” sosok di seberang berteriak. “Lo udah ngapain aja sama Osamu, nyet!?” tanyanya, ngegas.

Rintarou balas tertawa, “santai aja kali, nggak usah ngegas gitu.”

“Gimana gue nggak ngegas! Lo jangan macam-macam sama Osamu. Sepang, sepong. Udah ngapain aja lo sama Osamu? Gue aduin bokap lo udah berzina sama Osamu! HIV baru tau rasa lo!” cerocos sosok itu.

Rintarou mendengus. “Siapa, sih, yang berzina. Gue sama Osamu ciuman aja belum pernah!” tukasnya.

“Nggak usah bohong lo!”

“Nggak percayaan amat, sih, abang gue ini!” tukas Rintarou.

“Muka lo mencurigakan soalnya,” balas si abang.

“Kayak muka lo meyakinkan aja, sih, Bang,” balas Rintarou. “Udah lo tenang aja. Gue belum pernah kalau yang begituan itu, percaya sama gue,” ucap Rintarou.

“Awas ya lo kalau bohong!”

“Iya, iya, abangku sayang!” tukas Rintarou malas. “Udah, deh, sebenarnya tujuan abang juga apa? Ngapain telfon?” tanya Rintarou akhirnya.

“Oh iya.” Jeda sejenak di seberang sana. Rintarou sampai mengernyit heran karena tidak mendengar suara apapun dari kakaknya lumayan lama. “Udah liat base kampus?” tanya sang kakak akhirnya.

“Hah? Base kampus? Ngapain? Ada berita apa sampai lo repot-repot telfon gue buat tanya hal gitu?” tanya Rintarou heran.

“Berarti belom liat ya lo?” tanya sang kakak lagi.

“Ya belom. Emang kenapa?” tanya Rintarou.

Helaan napas terdengar dari seberang. “Rin, gue cuma mau ngabarin aja, ya. Nggak bermaksud bikin lo overthinking juga.”

Rintarou semakin mengernyit mendengarkan ucapan kakaknya. “Kenapa, sih, Bang?” tanyanya.

“Rin, Semi Eita, mantan lo… dia kecelakaan.”

***

Rintarou bimbang. Apa yang disampaikan oleh kakaknya beberapa waktu yang lalu itu memang benar adanya. Rintarou buru-buru mengecek base kampusnya begitu ia memutuskan sambungan telfon dengan kakaknya. Benar saja, berita tentang kecelakaan yang melibatkan mantan kekasihnya itu telah ramai dibahas.

Semi Eita memanglah mantan kekasihnya dulu. Baru tujuh bulan yang lalu ia dan Eita berpisah. Hubungan mereka berdua setelah berpisah pun bisa dikatakan baik, mereka masih berteman. Meski pun keduanya tampak jelas menjaga jarak. Dan baru satu bulan yang lalu akhirnya Rintarou memutuskan untuk menerima pernyataan cinta dari Miya Osamu—yang dulu adalah teman SMP-nya dan bertemu lagi di kampus yang sama setelah tiga tahun tidak saling berkabar.

Katakanlah Rintarou itu jahat. Ia dan Eita sudah menjalin hubungan sejak mereka awal SMA, sampai akhirnya mereka memilih untuk putus tujuh bulan yang lalu, hampir enam tahun Rintarou dan Eita bersama. Siapa, sih, yang bisa move on secepat itu dari enam tahun lamanya berpacaran dan selalu bersama kemudian tiba-tiba berpisah begitu saja? Yang jelas Rintarou bukan salah satunya.

Buktinya, meskipun sudah hampir tujuh bulan terlewati pasca putus, Rintarou masih sering diam-diam memperhatikan Eita. Jahatnya lagi, karena rasa frustasinya tidak bisa move on, Rintarou sengaja menerima cinta Osamu sebagai pelariannya.

Jelas, apa yang Rintarou lakukan tidak bisa dibenarkan. Namun, Rintarou benar-benar ingin move on dari Eita. Ia berharap dengan dirinya menerima Osamu, Osamu dapat membantunya melupakan Eita.

Namun apa? Berita kecelakaan Eita yang tiba-tiba itu membuat hati Rintarou goyah juga. Mood Rintarou mendadak jelek begitu ia menutup telfon dari kakaknya, ia kembali menghampiri Osamu dan meminta Osamu untuk mengantarkannya pulang ke rumahnya. Rintarou bahkan tidak mengatakan apapun ketika Osamu bertanya kenapa Rintarou ingin pulang bahkan sebelum makanan yang mereka pesan habis.

Di sinilah Rintarou sekarang. Di dalam kamarnya, tidur di ranjang dan menatap kosong langit-langit kamarnya.

“Eita… lo baik-baik aja, kan, Ta?” bisik Rintarou yang entah kepada siapa.

***

Sementara itu disalah satu kamar rawat rumah sakit, sosok pemuda tampak terbaring tidak berdaya di atas ranjang pesakitan dengan kondisi yang bisa dibilang sangat tidak baik-baik saja. Jarum infus yang tertancap pada tangannya, hampir seluruh kepala terbalut perban juga jangan lupakan masker oksigen sebagai alat bantu penafasan.

Mata pemuda itu terpejam entah sudah berapa lama.

Tidak jauh dari ranjang pesakitan itu, beberapa pemuda lain tampak duduk dengan gelisah. Sesekali menatap ke arah ranjang pesakitan, berharap pemilik tubuh tidak berdaya itu segera sadar.

“Kok bisa, sih?” suara itu memecah keheningan di antara mereka.

“Apanya?” tanya suara yang lainnya.

“Ya itu. Kok bisa Semi kecelakaan?” tanya suara pertama.

“Ya gimana nggak kecelakaan kalau ngebut-ngebut dalam keadaan emosi gitu?” sosok lainnya ganti bertanya.

“Semi ngebut dalam keadaan emosi, iya. Dia kaget tiba-tiba ada bocah mau nyebrang jalan. Semi mencoba menghindar, sayangnya malah nabrak pohon.” Pemuda Bernama Kuroo Tetsurou itu menjelaskan.

“Bocilnya gimana sekarang?” tanya pemuda yang bernama Bokuto Koutarou.

“Gue lihat bocahnya baik-baik aja, paling cuma kaget aja. Tadi gue denger, sih, orang tua si bocah itu sempat tanya keadaan Semi. Mereka juga minta maaf karena gara-gara anak mereka, Semi jadi kecelakaan,” jawab pemuda lain, Sakusa Kiyoomi namanya.

Koutarou menghela napas Panjang. Menatap prihatin sosok sahabat yang masih belum sadar setelah beberapa jam lamanya.

“Dokter bilang apa?” tanya Koutarou kemudian.

“Dokter cuma bilang keadaan Semi nggak baik-baik aja. Kecelakaannya parah, apalagi bagian kepala yang paling parah. Dokter cuma saranin kita berdoa, sisanya pasrah. Terserah Semi masih mau bangun atau nyerah.” Tetsurou menjawab.

“Jangan bilang gitu, dong!” tukas Koutarou.

“Bro, bukan gue yang bilang gitu, tapi dokternya!” tukas Tetsurou.

“Dokter bukan Tuhan yang bisa memvonis kapan manusia mati!” sembur Koutarou.

Tetsurou mengernyit, “gue nggak ada bilang Semi bakal mati, ya, sat!” tukasnya.

“Diem lo berdua!” sentak Kiyoomi kesal. Dua sahabatnya ini, bukannya berdoa untuk kesembuhan sahabatnya yang lain, malah berdebat yang tidak perlu. “Mending lo berdua berdoa daripada bacot gitu!” tukasnya. Tetsurou dan Koutarou akhirnya diam.

“Gimana sama orang tuanya Semi?” tanya Koutarou kemudian.

“Gue udah hubungi. Paling cepat mereka bakal sampai dari luar negeri itu besok malam,” jawab Kiyoomi.

Ketiganya kemudian terdiam. Dalam diamnya mereka, tidak henti mereka rapalkan doa meminta Tuhan agar segera memberikan sadar kepada Eita.

“Eh.” Suara Tetsurou mengalihkan atensi dua pemuda lainnya yang kemudian menatap pemuda berambut gelap itu. “Suna udah tau belum, ya, kira-kira?”

“Harusnya, sih, udah. Lo pada tau sendiri berita Semi kecelakaan rame banget dibahas di base kampus,” ucap Kiyoomi.

“Iya, sih…” Tetsurou bergumam, ia meraih ponsel pintarnya dari dalam saku celana. “Tapi gue coba telfon Suna aja kali, ya.”

***

Eita tersadar setelah tiga hari yang lalu divonis koma oleh dokter yang menanganinya. Selama Eita koma itu pula, ada sosok yang setia menjenguk dan menemani Eita. Bukan termasuk tiga sahabat Eita maupun keluarganya. Namun Rintarou. Selama Eita koma, Rintarou rajin sekali menjenguk Eita dan menemani pemuda itu. Mencoba berbicara dengan Eita yang bahkan tidak sekalipun meresponnya. Rintarou sendiri tidak tahu kenapa. Tekad yang awalnya ingin melupakan Eita dan move on menguap begitu saja ketika melihat parahnya kondisi Eita. Rintarou merasa iba. Perasaannya tercubit sakit ketika melihat Eita dengan keadaan yang tidak berdaya.

Osamu bagaimana? Cemburu tentu saja. Siapa yang tidak cemburu ketika sang pacar lebih mementingkan sang mantan daripada Osamu sendiri. Tapi apa mau dikata, Osamu sendiri mengakui dirinya bodoh karena mau-mau saja menjadi pelarian Rintarou dari mantan kekasihnya. Iya, Osamu tahu Rintarou masih mencintai Eita tetapi Osamu tetap nekad menyatakan perasaannya. Yang Osamu tidak menyangka adalah Rintarou ternyata menerimanya. Yah, walaupun Osamu sendiri tahu, Rintarou belumlah tulus mencintainya.

“Samu, aku mau jenguk Semi, ya. Kamu pulang aja duluan.”

Osamu mengernyit, “lagi?” tanyanya. “Tapi pagi sebelum kelas aja kamu udah nengokin Semi, loh. Kamu nggak mau makan siang dulu sama aku gitu?” tanya Osamu. Sebenarnya tawaran itu sarat akan ketidaksetujuan Osamu akan Rintarou yang ingin menjenguk Eita kembali.

“Maaf. Kuroo baru aja kasih kabar kalau Semi udah sadar. Aku pengen jenguk dia,” balas Rintarou. Ekspresinya tampak kacau. Tidak terbaca, antara senang, takut, dan rasa sesal ketika matanya menatap manik mata Osamu.

Osamu menghembuskan napas pelan. dalam hati sebenarnya ia murka. “Oke. Kamu boleh jenguk Semi lagi. Tapi aku antar, ya,” ucap Osamu akhirnya.

“Eh? Nggak usah, aku sendiri aja. Kamu juga pasti capek, kan, udah kelas dari tadi jam tujuh pagi. Ini udah jam satu, kamu pasti belum sarapan sama makan siang juga.” Rintarou berusaha menolak.

Osamu menggeleng pelan. “Aku antar kamu dulu, baru habis itu aku makan. Aku nggak apa-apa, kok. Anak kos, mah, udah biasa!” tukas Osamu.

“Ih, tapi telat makan gitu jangan dibiasain! Ntar kamunya sakit gimana?” tanya Rintarou.

Osamu tersenyum kecut, “aku rela sakit, kalau bisa dapat perhatian lebih gitu dari kamu, Rin,” ucapnya.

Ucapan Osamu tadi membuat Rintarou bungkam. Rintarou bukannya tidak peka. Dia sangat paham ucapan Osamu tadi adalah bentuk sindiran yang Osamu tujukan kepadanya. Sindiran karena beberapa hari ini Rintarou tampak begitu peduli dan perhatian dengan mantan kekasihnya yang masih terbaring sakit tidak berdaya.

“Jangan ngomong gitu,” Rintarou berbisik pelan.

Osamu tidak merespon apapun. “Udah ayo! Aku antar aja. Habis ini aku janji bakal makan sampai puas!” tukas Osamu meraih pergelangan tangan Rintarou dan menarik Rintarou berjalan menuju parkiran kampus mereka. Rintarou tidak bisa menolak selain mengiyakan tawaran kekasihnya.

***

Suasana dalam salah satu kamar rawat rumah sakit itu tampak tegang. Eita yang baru saja terbangun dari komanya terlihat marah ketika ia melihat Rintarou masuk ke dalam kamar rawatnya bersama dengan seorang pemuda asing yang menggandeng tangan Rintarou.

Tatapan Eita nyalang menatap Osamu. Osamu tidak ingin kalah juga ikut balas menatap Eita dengan tatapan garangnya.

“Lepasin tangan lo dari tangan cowok gue!” Eita geram melihatnya, memaksakan bangun dari posisi tidurnya kemudian menyentak tangan Osamu yang masih betah menggandeng tangan Rintarou-nya.

“Apa-apaan, sih, lo!” seru Osamu tidak terima. “Rin itu sekarang cowok gue! Sadar diri lo itu cuma mantan!” tukas Osamu.

“Sam, udah…” Rintarou mencoba melerai.

Eita tertawa hambar. “Apa lo bilang? Lo? Pacarnya Rin? Jangan ngimpi! Rin sama gue udah enam tahun pacaran. Mana ada gue mantanan sama Rin!” balas Eita.

Osamu terkekeh. “Emang, ya. Habis kecelakaan, otak lo geser. Lo itu udah putus sama Rin tujuh bulan yang lalu!” tukasnya.

“Jangan asal ngomong lo!” tukas Eita tidak terima. Lantas ia alihkan pandangannya ke arah Rintarou. “Rin, dia bohong, kan? Masa dia bilang kita udah putus? Padahal kita masih pacaran. Emang nggak bener ini orang!” tuding Eita kepada Osamu.

Baik Koutarou maupun Tetsurou tampak tidak berani berkata-kata ketika melihat perdebatan antara Eita dan Osamu di depannya. Sampai akhirnya Kiyoomi yang buka suara.

“Suna, Miya, sini bentar! Kita harus bicara,” ucap Kiyoomi.

“Heh! Lo mau bawa ke mana pacar gue!” teriak Eita tampak tidak terima ketika Osamu menarik tangan Rintarou untuk berjalan mengikuti Kiyoomi.

Saat itulah Koutarou dan Tetsurou tersadar, Eita berusaha turuh dari ranjang pesakitannya.

“Woi, woi! Njir! Tenang, tenang, Sem! Sakusa cuma mau ngomong sebentar kok sama Suna,” ucap Koutarou mencoba menahan Eita.

“Nggak bisa gitu, dong! Anjir itu cowok emang harus gue bogem! Berani-beraninya dia pegang-pegang Rin!” tukas Eita kepalang emosi. Koutarou dan Tetsurou hanya bisa saling pandang satu sama lain sambil terus mencoba menenangkan Eita.

Tidak lama setelahnya, pintu ruang rawat kembali terbuka. Bedanya, kali ini hanya ada Rintarou yang berjalan memasuki ruangan itu, tanpa si cowok pengganggu—menurut Eita—dan Kiyoomi.

“Rin! Kamu nggak diapa-apain, kan, sama cowok itu?” tanya Eita begitu Rintarou berjalan mendekatinya.

Rintarou menggeleng kecil. “Aku nggak apa-apa,” balasnya. Rintarou menoleh menatap Tetsurou dan Koutarou. “Bisa tinggalin gue sama Eita sendiri? Gue pengen ngomong berdua,” ucap Rintarou.

Tanpa banyak bertanya, baik Koutarou maupun Tetsurou langsung berjalan keluar ruangan meninggalkan Rintarou dan Eita.

Rintarou menatap Eita dengan tatapan yang sulit diartikan. Rintarou baru saja mendengarkan fakta mencengangkan dari Kiyoomi. Beberapa jam yang lalu setelah Eita sadar, satu nama yang langsung disebut oleh Eita, yaitu dirinya. Eita mencari Rintarou bahkan sampai mengamuk ketika tidak mendapati Rintarou di sisinya. Baru tidak lama setelah pemeriksaan dokter, dokter menyatakan bahwa Eita mengalami amnesia. Sebenarnya tidak mengherankan apabila Eita mengalami amnesia pasca kecelakaan. Mengingat luka di kepala Eita yang amat parah akibat beradu dengan aspal jalanan.

Tapi, yang tidak disangka oleh Rintarou adalah; tidak semua ingatan Eita menghilang. Ingatan Eita yang menghilang hanyalah ingatan selama tujuh bulan belakangan ini. Ingatan di mana setelah mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Entah apa saja pemicu hilangnya ingatan tersebut, namun bagi Eita, menurut ingatannya… dirinya masihlah berstatus sebagai kekasih Rintarou. Maka dari itu, Eita begitu marah ketika melihat Rintarou yang datang memasuki kamar rawatnya bergandengan dengan pemuda lain.

“Hai,” sapa Rintarou, tangannya meraih telapak tangan Eita dan menggenggamnya erat. Eita tersenyum lebar, balas menggenggam tangan Rintarou tidak kalah erat.

“Kamu ke mana aja? Aku bangun kenapa kamu nggak ada?” tanya Eita.

Rintarou tersenyum kecil, “maaf, ya. Tadi aku ada kelas,” balasnya.

Eita mengangguk kecil, maklum. “Iya, nggak apa-apa… yang penting sekarang kamu udah di sini sama aku!” tukas Eita. “Itu tadi cowok siapa, sih? Berani-berani banget pegang-pegang kamu, Rin!” tukas Eita. “Kamu nggak selingkuh dari aku, kan?” tanya Eita kemudian.

Jujur Rintarou bingung harus menjawab bagaimana. Ia harus mengikuti ingatan Eita dan berpura-pura bahwa mereka masih bersama. Atau mengatakan yang sebenarnya kepada Eita bahwa mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa.

“Rin? Kok diem? Kamu nggak selingkuh, kan?” tanya Eita lagi.

Rintarou tersadar. Entah dorongan dari mana, Rintarou akhirnya menggeleng. “Aku mana mungkin selingkuh dari kamu, Eita. Dia cuma temen aku, kok,” balasnya.

Eita tampak lega mendengar jawaban Rintarou itu. “Bener, ya?” tanya Eita lagi. Rintarou mengangguk. “Kalau gitu sini deketan! Aku kangen, mau peluk!” tukas Eita perlahan menarik Rintarou lebih dekat ke arahnya. Hingga akhirnya Eita bisa dengan sempurna memeluk tubuh Rintarou yang dirindukannya. “Aku sayang banget sama kamu, Rin. Jangan tinggalin aku, ya.” Eita berkata.

Rintarou hanya bisa membalas pelukan Eita dengan Gerakan kaku, kepalanya ikut mengangguk patah-patah mengiyakan permintaan Eita.

“Aku juga sayang, Eita.” Rintarou berbisik.

Pelukan keduanya berlangsung cukup lama. Eita tersenyum miring, menatap penuh ejek sosok yang tampak mengintip dari pintu ruang rawatnya.

Tidak akan Eita biarkan siapapun memiliki Rintarou. Apapun akan Eita lakukan agar Rintarou tetap berada di sisinya, meski harus menggunakan cara yang licik sekalipun. Karena sudah jelas; Suna Rintarou hanya boleh menjadi miliknya.

FIN