bermain

narasi bagian dua dari Finger Painting, a rinmao short story


cw // mention of death , gun , robbery

Sesampainya di rumah mereka, Aya tidak henti-hentinya berceloteh tentang apa yang ingin ia lukis bersama Rintarou dan Mao. Gadis kecil itu juga begitu bersemangat, sejak keluar dari toko peralatan menggambar tadi, Aya terus memeluk satu kotak set cat untuk finger painting yang sudah dibelikan oleh Rintarou.

“Papa! Mama! Ayo cepet!” seru Aya tidak sabar.

“Aya, Sayang ... ganti baju dulu, ya. Nanti seragam Aya kotor loh!” tukas Mao, “yuk, ganti baju bareng mama!” ajak Mao.

Aya mengangguk semangat, meletakkan tas ransel dan kotak set cat tadi di atas meja ruang keluarga lantas berlari kecil menuju kamarnya.

“Aku nggak diajak ganti baju juga, Yang?” tanya Rintarou tersenyum lebar kepada istrinya.

Mao mendengus, mencubit pelan perut Rintarou hingga membuat Rintarou kesakitan. “Ganti baju sendiri sana!” tukasnya.

“Ihh, kok gitu? Aku, kan, juga ganti baju bareng kamu juga, Yang!” tukas Rintarou.

“Rin, nggak usah aneh-aneh! Aku tahu, ya, otak kamu pasti mikirnya ke mana-mana!” tukas Mao.

Rintarou terkekeh kecil, ia mendekati istrinya itu, memberikan kecupan singkat di pelipis istrinya kemudian sedikit mengacak-acak rambut panjang Mao.

“Aku tunggu di sini, ya! Sana cepet! Aya pasti udah nungguin!” tukas Rintarou.

Mao tersenyum, ia kemudian meninggalkan Rintarou, berjalan menyusul putrinya yang sudah lebih dulu berlari menuju kamarnya.

•••

Tidak lama kemudian, keluarga kecil itu sudah berkumpul kembali di ruang keluarga. Aya terlihat begitu semangat membuka setiap tutup wadah kecil berisi cat yang akan ia gunakan.

Rintarou ikut bersemangat, sedari tadi tidak henti-hentinya menekan tombol shutter ponselnya, mengabadikan setiap momen antara Aya dan Mao yang sibuk menyiapkan alat melukis mereka.

“Papa, ayo ikut melukis!” ajak Aya.

“Bentar, dong! Tunggu dulu jangan main dulu!” tukas Rintarou kemudian mendekati Aya dan duduk di sebelahnya. “Tadi katanya papa mau dikasih lihat lukisan Aya. Mana lukisan Aya?” tanya Rintarou.

“Ahh, Aya lupa! Aya ambil dulu, ya!” seru Aya kemudian beranjak dari duduknya. Ia berlari menuju kamarnya, membuka tas sekolahnya untuk mengambil kertas gambar di mana terdapat hasil lukisannya di sana. “Ini! Ini!” seru Aya memperlihatkan hasil lukisannya kepada Rintarou.

Rintarou terdiam melihat hasil lukisan putrinya. Lukisannya memang jauh dari kata sempurna, namun untuk ukuran seorang anak berusia enam tahun, lukisan yang dibuat oleh Aya itu sangatlah bermakna.

“Ini gambar papa, mama, Aya. Terus ini ada Miki, oma, opa, kakek sama nenek.” Aya menjelaskan.

“Ini rumah kita, ya?” tanya Rintarou menunjuk pada gambar rumah sederhana yang dilukis Aya. Aya mengangguk.

“Aya kangen rumah yang dulu, Pa. Kangen kakek, nenek, oma, opa juga. Kangen Miki juga,” jelas Aya.

Mao tersenyum samar, tangannya mengelus pelan rambut panjang Aya. “Papa sama mama juga kangen semuanya. Sama kayak Aya. Sekarang, oma opa kakek nenek, Miki juga udah bahagia di surga sana. Aya jangan lupa doain terus, ya!” jelas Mao.

Aya mengangguk, “Aya bisa ketemu semuanya lagi, kan, nanti?” tanya Aya.

“Pasti ketemu lagi, kok, Princess. Tapi bukan sekarang. Sekarang Princess bareng-bareng sama Papa Mama dulu, ya!” tukas Rintarou.

Aya mengangguk-angguk mengerti. “Aya mau sama papa mama!” tukasnya.

Baik Rintarou dan Mao tersenyum mendengar penuturan Aya, kedua lantas bersamaan mencium pipi Aya, Rintarou mencium pipi kiri, Mao di pipi kanan. Aya tertawa bahagia, sedikit geli ketika mendapatkan ciuman gemas dari kedua orang tuanya.

“Udah, yuk! Sekarang main! Kita melukis bareng-bareng!” ajak Rintarou.

Aya bersorak girang, ia kembali menaruh hasil lukisannya di sekolah di atas sofa kemudian duduk di karpet ruang keluarga yang sudah dialasi kertas putih lebar agar cat yang digunakan tidak mengotori karpetnya.

Baik Rintarou maupun Mao sangat senang ketika melihat Aya begitu bersemangat memilih-milih warna apa yang akan ia gunakan.

Melihat betapa bahagianya Aya sekarang, cukup untuk mengobati luka keduanya. Dalam lukisan yang dibuat Aya itu sangatlah menyimpan makna untuk Rintarou dan Mao. Kakek nenek adalah Aya ketika memanggil orang tua dari pihak Mao, sedangkan opa oma adalah ketika Aya memanggil orang tua dari pihak Rintarou. Sedangkan Miki adalah anjing berjenis golden retriever yang dulu pernah keluarga mereka pelihara.

Satu tahun yang lalu, baik Rintarou ataupun Mao tidak akan menyangka jika musibah akan menimpa keluarga mereka. Saat itu, disaat Rintarou, Mao bersama Aya menghabiskan waktu bersama, bersenang-senang di kebun binatang, penuh canda dan tawa ketiganya. Namun kenyataan pedih menimpa keluarga mereka begitu mereka kembali ke rumah. Ketika mereka kembali ke rumah, rumah mereka sudah dipenuhi oleh polisi dan warga sekitarnya. Aya langsung menangis ketika melihat tubuh kaku Miki sudah berlumuran darah di halaman rumah mereka.

Rintarou dan Mao begitu terkejut ketika mendengar penjelasan dari pihak polisi jika rumah mereka baru saja menjadi target perampokan bersenjata. Kedua orang tua mereka menjadi korban dari perampok itu karena mencoba melawan para perampok. Miki yang terus menerus menggonggong menjadi korban pertama, terlihat ketika tubuh tak bernyawa Miki tergeletak begitu saja di halaman rumah mereka. Sedangkan kedua orang tua Rintarou dan Mao ditemukan di dalam rumah di ruangan yang berbeda-beda. Sama seperti keadaan Miki, semuanya ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Rintarou dan Mao sangat terpukul jelas saja. Mereka harus kehilangan orang tua mereka secara mengenaskan seperti ini. Aya yang saat itu masih berusia kurang dari lima tahun kemudian mengalami demam tinggi selama beberapa hari dan harus dirawat di rumah sakit.

Sejak itu, Rintarou dan Mao memutuskan untuk pindah dari rumah lama mereka. Mereka tidak ingin memberikan kenangan yang buruk pada Aya karena kejadian yang menimpa keluarga mereka.

“Papa!! Papa kok diem aja, sih?” tanya Aya menggoyang-goyangkan tangan Rintarou.

“Eh, iya! Kenapa, Princess?” tanya Rintarou.

“Ayo ikut melukis!” ajak Aya.

“Iya, iya, ayo!! Eh, sini sini hadap sini dulu! Mau papa foto!” tukas Rintarou.

Aya tersenyum lebar menatap Rintarou yang siap menekan tombol shutter pada ponselnya. Ia tersenyum ketika melihat hasil jepretan kameranya, ia tidak ingin membuat senyuman Aya hilang. Ia ingin putrinya itu terus tersenyum.

“Mikirin apa?” tanya Mao pelan menatap suaminya.

“Bukan apa-apa,” jawan Rintarou menggeleng pelan.

Mao tidak bertanya lebih lanjut, ia tahu sebenarnya apa yang dipikirkan oleh suaminya itu. Mao hanya tersenyum, meremas pelan bahu Rintarou sebelum kembali bergabung ikut melukis bersama Aya.

Sungguh dalam hatinya, Rintarou ingin sekali melindungi senyum lebar dan tawa dari kedua malaikat yang ada di depannya.

tbc