bertemu

narasi bagian dua dari Penantian Rasa, a ushisuna short story


#ushisuna

Jika dibilang Rintarou tidak gugup, itu adalah salah besar. Sejak terciptanya janji yang dibuat antara dirinya dan Wakatoshi, Rintarou sama sekali tidak bisa tenang. Ia terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi jika ia dan Wakatoshi bertemu nanti. Bahkan di kelas paginya ini, Rintarou sama sekali tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi.

Waktu rasanya bergulir begitu cepat. Lima belas menit sebelum jam kelasnya selesai, dosen yang mengajar akhirnya mengakhiri kelas. Rintarou mendadak semakin gugup. Ajakan teman-temannya untuk sarapan di kafe kampus mereka bahkan Rintarou tolak.

Seperti yang dijanjikan, Rintarou segera berjalan menuju lobi fakultas mereka begitu kelasnya selesai. Sepuluh menit lebih awal dari jam yang dijanjikan, tapi Rintarou tidak mempermasalahkannya ... ia lebih memilih untuk menunggu daripada ia yang ditunggu.

Benar saja. Lobi fakultasnya terlihat lengang, hanya ada beberapa mahasiswa yang lalu-lalang berjalan melewatinya. Mungkin karena masih pagi, lobi fakultas biasanya akan mulai ramai jika hari sudah mulai siang.

“Suna.” Rasanya Rintarou ingin mengubur dirinya hidup-hidup saat itu juga. Suara berat yang selalu menghantui telinganya itu terdengar begitu nyata di dekatnya. Rintarou menoleh, mendapati Wakatoshi yang berdiri menjulang di belakangnya.

Rintarou menelan ludah susah payah. Wakatoshi saat ini terlihat begitu tampan di matanya. Setelan kemeja rapi dengan lengan kemeja yang telah digulung sampai siku. Ya Tuhan, Rintarou akui ia tidak akan pernah bosan melihat Wakatoshi saat ini.

“Maaf lama.”

“Eh, enggak kok. Aku juga baru aja.” Bohong. Nyatanya Rintarou sudah sepuluh menit menunggu sebelum akhirnya Wakatoshi muncul menyapanya.

Wakatoshi tersenyum tipis. Sangat tipis dan mustahil bagi orang biasa menyadarinya. Namun tidak bagi Rintarou, ia sadar betul pemuda di depannya itu tersenyum kepadanya.

“Ayo ke parkiran!” ajak Wakatoshi.

“Kita mau pergi?” tanya Rintarou. “Aku pikir kita ngobrol di sekitar kampus aja,” sambung Rintarou.

“Saya mau ngajak kamu kesuatu tempat. Kalau di kampus, nanti banyak yang menganggu,” ucap Wakatoshi.

“Ah, Kak Ushi famous pasti di kampus. Makanya ke mana-mana pasti ada yang kenal ya!” tukas Rintarou.

Wakatoshi tidak menjawab, ia lagi-lagi hanya memberikan senyum tipis kepada Rintarou.

Rintarou bukannya tidak sadar. Sepanjang mereka berjalan menuju tempat parkir kampus, ia bisa merasakan banyak tatapan mata yang tertuju kepadanya, atau mungkin kepada Wakatoshi yang berjalan di sampingnya. Namun Rintarou berusaha tidak peduli dengan sekitarnya. Ia tahu Wakatoshi mungkin benar terkenal di kampus mereka, maka dari itu banyak yang memperhatikan mereka berdua ketika berjalan berduaan.

“Kita mau ke mana?” tanya Rintarou begitu ia masuk ke dalam mobil milik Wakatoshi.

“Jangan lupa pakai sabuk pengamannya!” titah Wakatoshi.

“Iya, iya. Udah ini!” Rintarou membalas. Rintarou menghela napas pelan, merasa lebih baik ketika ia sudah masuk ke dalam mobil terhindar dari tatapan orang-orang.

Tanpa banyak berbicara, Wakatoshi mulai mengemudikan mobilnya. Perjalanan mereka cukup hening. Rintarou gugup jelas, dan juga tidak tahu topik apa yang harus ia bicarakan bersama dengan Wakatoshi dalam keadaan seperti ini.

“Kamu tidak masalah, kan, kalau saya ajak ke kafe?” tanya Wakatoshi tiba-tiba.

Rintarou sontak menoleh menatap Wakatoshi, “eh? Nggak, kok. Mau ke kafe mana emang?” tanya Rintarou.

“Ada. Kafe milik teman saya. Dia juga kuliah di kampus kita, tapi sudah mengembangkan bisnisnya sendiri membuka kafe bersama beberapa temannya,” jawab Wakatoshi.

Rintarou mengangguk-angguk, “hebat, ya, masih kuliah tapi udah punya usaha sendiri,” komentarnya.

Wakatoshi mengangguk, setuju dengan ucapan Rintarou. Tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Tidak sampai dua puluh menit, mobil mereka kemudian perlahan menepi ke sebuah halaman kafe. Rintarou melihat kafe itu, meskipun masih pagi, namun kafe itu terlihat ramai yang mengunjungi.

“Ayo turun!” ajak Wakatoshi. Rintarou mengangguk, ia segera turun dari mobil begitu Wakatoshi juga turun.

Kedua kelopak mata sipit Rintarou semakin menyipit ketika ia melihat sosok yang familiar baginya. Kaca transparan kafe itu membuat Rintarou bisa melihat dengan jelas kegiatan apa saja yang terjadi dalam kafe itu.

“Itu Kak Suga?” tanya Rintarou menoleh ke arah Wakatoshi.

“Kamu inget rupanya?” tanya Wakatoshi balik.

“Ya gimana nggak inget! Kak Suga, kan, dulunya sekretaris OSIS Kak Ushi! Terus ini kafe punya Kak Suga?” tanya Rintarou.

“Bisa iya, bisa tidak. Kafe ini milik teman saya, namanya Asahi Azumane. Suga itu teman Asahi juga, dia yang membantu Asahi menjalankan kafe ini,” jelas Wakatoshi.

Rintarou kembali mengangguk-angguk.

“Ayo masuk. Saya rasa kamu akan suka menu-menu yang disediakan di sini,” ucap Wakatoshi.

“Yakin banget aku bakal suka!” tukas Rintarou terkekeh.

“Saya yakin. Soalnya saya tahu.” Wakatoshi menjawab yang membuat Rintarou terdiam.

Mereka berdua akhirnya berjalan memasuki kafe itu. Seseorang yang Rintarou kenal bernama Sugawara Koushi langsung menyambut kedatangan mereka berdua. Setelah beberapa saat saling bertegur sapa dan menanyakan kabar, Koushi membawa Rintarou dan Wakatoshi ke meja yang masih kosong. Setelah memberikan buku menu kepada Rintarou, Koushi berbalik pergi. Lagi-lagi meninggalkan Rintarou berdua dengan Wakatoshi.

“Pesan itu saja?” tanya Wakatoshi ketika melihat pesanan Rintarou.

Rintarou mengangguk, “aku udah sarapan tadi. Masih kenyang,” balasnya. Wakatoshi tidak menanyakan lebih jauh. Ia memanggil Koushi kembali untuk memberikan daftar pesanan mereka. Setelah memastikan pesanan keduanya, Koushi kembali pergi.

“Jadi, Kak Ushi mau ngomong apa?” tanya Rintarou lebih dulu.

“Kamu itu tidak sabaran, ya?” tanya Wakatoshi tersenyum kecil.

“Eh, bukannya gitu. Tapi aku penasaran,” ucap Rintarou.

Wakatoshi mengangguk kecil. “Suna, jujur saja saya terkejut waktu chat kamu dan nomor kamu masih sama seperti yang dulu,” ucap Wakatoshi. “Saya kira kamu sudah ganti nomor atau nomornya sudah tidak aktif,” sambung Wakatoshi.

“Aku malas ganti nomor, Kak. Ribet juga. Jadi ya untung aja itu nomor masih setia bisa aku pake,” ucap Rintarou.

“Kamu tidak menyimpan kontak saya, ya?” Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Rintarou mendadak bisu. Jujur saja ia memang sengaja menghapus nomor Wakatoshi dulu. Niatnya, sih, ingin move on.

“Eh itu, HP aku pernah rusak. Jadi kontaknya hilang semua. Termasuk nomornya Kak Ushi. Maaf, kak,” ucap Rintarou.

“Tidak perlu minta maaf. Wajar kalau HP kamu rusak dan semua kontaknya hilang.” Wakatoshi menimpali. “Sebenarnya, Suna, saya ingin bicara serius sama kamu—”

“Aduh, Kak! Jangan bikin deg-degan, dong!” Rintarou menyela, ekspresi wajahnya begitu kentara jika Rintarou sedang gugup. Tidak seperti Wakatoshi yang justru terkekeh melihat reaksi Rintarou.

“Kamu lucu kalau panik begitu,” ucap Wakatoshi.

Demi Tuhan, rasanya Rintarou ingin berteriak sekencang-kencangnya mendengar Wakatoshi memujinya dengan kata lucu seperti itu. “Ih, Kak Ushi mah!” Rintarou merengut.

“Iya, iya, maaf. Saya serius sekarang.” Wakatoshi berucap, ekspresi berubah menjadi serius menatap Rintarou yang duduk di hadapannya. Rintarou semakin gugup, tatapan mata Wakatoshi yang lurus menatapnya membuatnya sangat gugup. “Suna, semalam saya sudah bilang, kan? Saya menunggu kamu masuk SMA HQ, ternyata kamu tidak mendaftar di situ.”

Rintarou mengangguk kecil, “Kak Ushi nunggu aku? Kenapa? Tadinya aku emang mau sekolah di situ, kok. Cuma karena ortu dimutasi ke luar kota, jadi terpaksa pindah,” jelas Rintarou.

“Iya, tidak apa-apa. Setidaknya saya senang sekarang bisa bertemu kamu lagi,” balas Wakatoshi. “Sebelumnya, Suna, saya ingin bertanya. Apa kamu masih suka dengan saya?”

Rintarou mati kutu. Wajahnya mendadak memerah. Ia panik ketika mendengar pertanyaan dari Wakatoshi itu.

“Hah? Eh? Aa—”

“Maaf, maaf, saya tidak bermaksud membuat kamu panik!” tukas Wakatoshi. “Apa kamu masih ingat dulu kamu memberikan kado kelulusan untuk saya? Kamu letakkan di loker saya? Sejujurnya saya melihat kamu yang meletakkan kado itu, tapi saya tidak berani bilang—”

Benar. Muka Rintarou semakin memerah saat ini. Apalagi ketika misi rahasianya memberikan kado kelulusan kepada Wakatoshi justru malah telah diketahui oleh oknum yang bersangkutan.

“—awalnya saya ragu kalau kamu memberi kado itu karena kamu suka dengan saya, karena saat itu saya pikir kamu sebelumnya bersikap biasa-biasa saja jadi saya pikir kamu tidak suka dengan saya ke arah yang seperti itu. Lalu setelah saya pikir-pikir lagi, saya meyakinkan diri jika suatu saat nanti kamu benar akan melanjutkan sekolah di SMA HQ, saya akan menyatakan perasaan saya pada kam—”

“TUNGGU, KAK! TUNGGU!” seru Rintarou panik, “bentar, jangan bikin aku bingung!” tukas Rintarou menatap Wakatoshi, “Kak Ushi suka sama aku? Maksudnya Kak Ushi dulu mau nembak aku?” tanya Rintarou ragu.

Wakatoshi tersenyum kecil, “iya. Saya suka sama kamu. Sejak bertemu kamu saat kamu menumpahkan soto ke seragam saya itu, saya sudah tertarik sama kamu. Kamu lucu waktu kamu panik begitu, dan semakin lucu saat saya bilang sotomu yang tumpan saya ganti. Saya sudah suka sama kamu sejak lama, tapi melihat sikap kamu yang biasa-biasa saja ke saya ... saya jadi ragu jika ingin mendekati kamu. Takutnya kamu menjadi risih dengan saya.”

Rintarou diam. Ia seperti baru saja mendengarkan sebuah pengakuan dosa dari seseorang. Ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Ushijima Wakatoshi, kakak kelasnya dulu, si ketua OSIS yang terkenal itu ternyata menyukainya. Rasa suka yang selama ini Rintarou kira bertepuk sebelah tangan, ternyata terbalaskan.

“Maaf membuat kamu kaget.” Rintarou tersentak ketika merasakan tangan Wakatoshi yang menggenggam tangannya di atas meja. Rintarou rasanya ingin menarik kembali tangannya, namun telapak tangan besar Wakatoshi terasa begitu hangat di ketika menggenggam tangannya.

“Eh...itu... Aku bingung harus ngomong apa, Kak. Jujur aja aku kaget,” ucap Rintarou menatap ragu mata Wakatoshi. “Aku dulu emang suka sama Kak Ushi. Soalnya Kak Ushi baik sama aku, sering bantuin aku juga dulu dan nemenin aku. Waktu liat Kak Ushi pertama kali juga aku udah tertarik sama Kak Ushi. Aku nggak berani bilang juga pasti Kak Ushi tahulah kenapa,” ucap Rintarou.

Wakatoshi mengangguk samar. “Iya, saya mengerti, kok. Jadi, kalau sekarang, apa kamu masih suka sama saya?” tanya Wakatoshi kemudian.

Rintarou menggigit bagian dalam pipinya. Bingung harus menjawab bagaimana. Ia menarik napas, kemudian menghembuskannya perlahan. “Sejujurnya, Kak, dulu aku pernah coba move on dari suka sama Kak Ushi. Aku pikir kita nggak bakal ketemu lagi. Aku pikir juga setelah bertahun-tahun nggak ketemu Kak Ushi aku udah move on. Nyatanya, waktu ketemu Kak Ushi kemarin ... aku kaget banget, nggak nyangka bakal ketemu lagi—” Rintarou menatap Wakatoshi, memperhatikan bagaimana untuk sepersekian detik mimik wajah pemuda di hadapannya itu tampak berbeda. “—kayaknya, aku emang belum move on dari Kak Ushi, deh!” tukas Rintarou akhirnya.

Wakatoshi tersenyum, kali ini senyumnya lebih lebar dari biasanya. Genggaman tangan di tangan Rintarou pun ikut mengerat.

“Bagus, dong! Jangan move on dari saya dulu!” tukas Wakatoshi.

“Ihh, apaan, sih, Kak!” tukas Rintarou.

“Jadi, kamu masih suka sama saya?” tanya Wakatoshi. Rintarou mengangguk kecil. “Jadi kalau misalnya saya bilang kamu mau tidak jadi pacar saya, kamu bakal terima?” tanya Wakatoshi lagi.

Samar-samar Rintarou mengangguk. Wakatoshi tersenyum, ia meraih tangan Rintarou kemudian menempelkan punggung tangan Rintarou di bibirnya, memberikan kecup singkat yang berhasil membuat Rintarou diam mematung karenanya.

“Saya sudah menunggu kamu sejak lama. Jadi, Suna, maukah kamu menjadi pacar saya?”

Wajah Rintarou kembali memerah. Ia hanya bisa diam ketika manik matanya bersitatap dengan manik mata Wakatoshi yang menunggu jawaban dari Rintarou.

“Suna?”

“Eh, iya, maaf.” Rintarou menundukkan kepalanya. Bingung.

“Tidak perlu meminta maaf. Jadi bagaimana? Kamu mau?” tanya Wakatoshi. Wakatoshi masih menunggu, Rintarou pun masih enggan untuk memberikan jawaban. “Suna, lihat saya!” tukas Wakatoshi. Tiba-tiba Rintarou merasakan telapak tangan yang menangkup kedua pipinya, membuat Rintarou mendongak. “Saya bukan tipe orang yang bisa romantis, jadi maaf kalau saya tidak bisa mengatakannya secara jelas. Tapi, rasa sayang saya ke kamu, rasa cinta saya ke kamu itu benar adanya. Saya cinta kamu, Suna. Sejak lama saya menunggu kamu.”

Kedua mata Rintarou berkaca-kaca. Sebut saja Rintarou berlebihan, tetapi Rintarou sangat percaya dengan apa yang Wakatoshi sampaikan.

“Jelek, ih!” tukas Rintarou, menepis pelan tangan Wakatoshi yang ada di pipinya.

“Kenapa jelek?” tanya Wakatoshi.

“Tega banget bikin aku baper pagi-pagi gini!” tukas Rintarou.

Wakatoshi tersenyum, “jadi bagaimana? Diterima tidak pernyataan cinta saya?” tanya Wakatoshi.

Rintarou mendengus sebal. “Iya. Aku juga sayang sama Kak Ushi. Mau jadi pacar Kak Ushi,” ucapnya.

Wakatoshi tersenyum mendengar jawaban dari Rintarou. Ia lantas bangkit dari tempat duduknya, ia berlutut di sebelah kursi Rintarou, meraih kedua tangan Rintarou dan menggenggamnya, lantas beberapa kali memberikannya kecupan kecil di punggung tangan kekasih barunya.

“Ihh, Kak, udah! Malu! Katanya nggak bisa romantis!” tukas Rintarou yang mulai panik beberapa orang menatap ke arah mereka.

“Untuk kamu, saya akan coba untuk menjadi pacar yang romantis,” jawab Wakatoshi.

“Ihh, udah biasa aja. Aku suka Kak Ushi apa adanya! Kak Ushi nggak perlu berubah jadi yang aneh-aneh!” tukas Rintarou.

Wakatoshi tersenyum menatap Rintarou. “Kamu tahu tidak? Saya itu sayang banget sama kamu.”

“Iya, tahu. Keliatan, kok.”

“Saya cinta sama kamu.”

“Aku juga cinta sama Kak Ushi.”

“OKE! OKE! HIDANGAN SPESIAL BUAT YANG BARU AJA JADIAN!” Rintarou terkejut ketika tiba-tiba Koushi mendekat ke meja mereka sambil membawa nampan berisi sebuah hidangan. “Cake spesial buat Suna dari Ushi!” tukas Koushi memberikan sebuah cake yang bertuliskan ‘love you’ di atasnya.

“Buat aku?” tanya Rintarou. Wakatoshi mengangguk.

“Spesial buat lo, Sun. Sebenernya Ushi kepedean banget pesen ini cake ini. Bilangnya ‘Suna bakal nerima gue jadi pacarnya, kok’ gitu,” ucap Koushi terkekeh. “Nah, karena beneran kalian berdua jadian, jadi ini buat Suna. Tenang aja, it’s on me. Anggap aja ucapan selamat buat kalian yang baru aja jadian. Silahkan dinikmati!” tukas Koushi kemudian pamit pergi meninggalkan mereka berdua.

“Kak Ushi orangnya kepedean juga, ya?” tanya Rintarou terkekeh.

“Kalau saya tidak pede, saya tidak bisa jadi pacar kamu,” balas Wakatoshi.

Keduanya tertawa. Pada akhirnya obrolan mengalir lancar begitu saja. Keduanya terlihat bahagia, sangat jelas terpancar dari wajah mereka.

Penantian lama rasa yang terpendam di antara keduanya akhirnya terbalas dengan bersatunya hati mereka berdua.

—fin