bicara berdua

narasi bagian delapan dari Dua Sisi, Suna Rintarou harem story


Rintarou baru saja ingin menghubungi Eita lagi lantaran pemuda itu lama sekali sampai di apartemen Rintarou. Namun hal itu Rintarou urungkan ketika tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari Eita yang mengatakan jika pemuda itu sudah sampai di apartemennya. Rintarou buru-buru keluar apartemen, mengunci pintu kemudian turun menuju lobi gedung apartemennya. Langkahnya melangkah cepat menuju sebuah mobil yang sudah Rintarou tahu milik Eita.

“Lama lo!” tukas Rintarou begitu masuk ke dalam mobil Eita.

Sorry, tadi antri isi bensin dulu,” jawab Eita. “Mau ke mana dulu, nih?” tanya Eita.

“Makan. Gue laper!” tukas Rintarou. Eita mengangguk paham kemudian kembali mengemudikan mobilnya ke tempat yang dituju.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka berdua untuk sampai di tempat yang Eita tuju. Sebuah pusat perbelanjaan yang ada di kota mereka saat ini. Meskipun sudah malam, namun nyatanya tidak mengurangi jumlah pengunjung yang datang ke pusat perbelanjaan itu.

“Gue mau spageti ya!” tukas Rintarou begitu mereka turun dari mobil.

“Nggak mau makan nasi aja? Lo habis sakit harus makan yang sehat-sehat,” ucap Eita.

“Gue pengen spageti!” tukas Rintarou lagi. “Gue bosen pas sakit makan bubur terus!”

“Ya udah ayo. Tempat makan kayak biasanya, kan?” tanya Eita. Rintarou mengangguk.

Keduanya kemudian berjalan berdampingan. Suasana di antara keduanya tampak canggung, tidak seperti biasanya. Rintarou yang biasanya ‘banyak omong’ jika bersama Eita, kini tampak diam. Eita sendiri juga tampaknya bingung ingin memulai percakapan dari mana.

“Sun, waktu lo sakit.”

“Hmm? Kenapa?” tanya Rintarou.

“Bang Kuroo yang jagain lo?” tanya Eita.

Rintarou mengangguk. “Iya. Kebetulan aja malemnya gue ketemu Kak Tetsu waktu makan di kafe. Kata dia waktu itu gue udah keliatan agak pucet, makanya paginya dia ngecek. Dan ngepas aja waktu ngecek, gue emang sakit. Jadi ya gitu.” Rintarou menjelaskan.

“Gue masih sedih, sih, pas lo sakit kemarin tapi lo nggak ngabarin gue.” Rintarou langsung menoleh menatap Eita yang kemudian salah tingkah. “Bukan maksud apa-apa. Tapi, kan, gue masih temen lo, jadi semisal lo ngabarin gue, gue bilang sama bunda gue buat ngecek lo gitu,” jelas Eita gelagapan.

“Gue nggak mau ngrepotin tante juga. Walaupun nyokap lo itu dokter, kalo tante sibuk sama kerjaan dia tapi tiba-tiba lo suruh meriksa gue, guenya yang nggak enak,” ucap Rintarou.

Eita terdiam sejenak, langkahnya memelan, membiarkan Rintarou berjalan lebih cepat di depannya.

“Sun!” Eita memanggil.

Rintarou menoleh ke samping, keningnya berkerut ketika tidak melihat Eita di sebelahnya. Justru pemuda itu ada di belakangnya.

“Gue minta maaf.” Eita mengucapkan kata itu lagi. Permintaan maaf Eita yang sejujurnya tidak ingin Rintarou dengarkan.

“Udahlah nggak usah dipikirin. Buruan aja ayo! Gue keburu laper!” tukas Rintarou berjalan mendahului Eita.

Eita sendiri hanya bisa pasrah. Tidak mengerti apakah Rintarou menerima permintaan maafnya atau menolak permintaan maafnya.

Keduanya lantas berhenti di sebuah restoran Italia di dalam pusat perbelanjaan itu. Salah satu restoran Italia yang menjadi favorit Rintarou jika ia sedang ingin makan masakan asal Italia. Setelah memesan pesanan, mereka kemudian berjalan menuju meja yang masih kosong.

“Lo balik ke rumah? Ketemu bokap lo nggak?” tanya Rintarou membuka percakapan.

Eita menggeleng. “Bokap nggak balik udah dua hari nggak tau ke mana. Alasannya palingan klasik, acara kantor tapi nyatanya ngelayap ke mana,” ucap Eita.

Rintarou hanya mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan Eita. “Sodara lo gimana?” tanya Rintarou lagi.

“Masih di rumah. Tapi gue jarang ketemu juga. Males mau ketemu,” jawab Eita lagi. “Lo sendiri kapan mau balik ke rumah?” Eita ganti bertanya.

Rintarou melengos, ia paling tidak suka jika harus membicarakan tentang masalah rumahnya, lebih tepatnya masalah pulang ke rumah orang tuanya.

“Kapan-kapan aja.” Suna membalas. “Adek gue juga bilang ortu lagi nggak di rumah. Buat apa gue balik juga kalo nggak ada yang bakal gue temuin di sana?”

“Adek lo.”

In case lo lupa. Adek gue tinggal di asrama,” ucap Rintarou.

“Oh iya. Lupa gue.”

Hening. Keduanya saling diam setelah itu. Rintarou sibuk memandangi interior restoran, sedangkan Eita yang sesekali curi-curi pandang ke arah Rintarou.

“Sun.”

“Apa?”

“Lo masih marah ya sama gue?”

“Marah karena apa?”

“Iya makanya itu gue nanya. Lo masih marahkah sama gue?”

“Gue biasa aja.”

“Gue beneran minta maaf, Sun. Gue lancang kemarin-kemarin waktu dichat itu. Gue tiba-tiba nggak suka aja waktu lo main gituan sama Terushima.”

Rintarou mengernyit, “main gituan apa? Pengambilan kata lo berasa ambigu banget. Gue sama Teru nggak ngapa-ngapain!” tukas Rintarou.

“Iya, gue tau. Cuma gue nggak suka aja waktu tau lo rela cosplay gitu demi Terushima. Gue tau gue lancang, tapi ya gue nggak suka aja liatnya.”

“Aneh lo!” tukas Rintarou. “Kita udah nggak ada apa-apa, Sem,” ucap Rintarou, “kita udah nggak ada hubungan apa-apa sejak lo milih buat menyerah sama hubungan kita.”

Eita terdiam. Menilik balik kisah mereka dulu, sepertinya ini memang salah Eita. Namun Eita menyesal melakukan itu. Jika boleh Eita berharap, ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Rintarou agar bisa kembali seperti dulu.

Pesanan datang tidak lama kemudian, keduanya lalu fokus pada makanan masing-masing. Tidak ada pembicaraan selama mereka makan malam itu. Sangat berbeda dari biasanya. Jelas sekali aura canggung menyelimuti keduanya.

“Habis ini mau ke mana?” tanya Eita.

“Main aja, yuk! Gue males kalo mau nonton,” usul Rintarou.

Eita mengangguk, “boleh. Kita tanding?” tawar Eita.

“Siapa takut!” tukas Rintarou.

Eita tersenyum samar, setidaknya malam ini ia akan bisa melihat tawa Rintarou ketika Rintarou mengalahkannya dalam sebuah permainan, atau bibir mengerucut Rintarou ketika pemuda itu kalah dari Eita. Malam ini, setidaknya Eita bisa mengenang kembali masa-masa dulu ketika Eita dan Rintarou masih bersama.

tbc