Biola

Natsuki countdown birthday

drabble by @l1_mey


H-6 — Biola

Aku menghembuskan napas lega ketika berada di depan salah satu rak buku dalam perpustakaan. Buku yang aku cari ternyata masih ada. Minggu lalu aku ingin meminjam buku itu, namun stok bukunya kosong dan petugas perpustakaan mengatakan aku bisa kembali lagi satu minggu kemudian. Aku kembali bernapas lega, aku sangat membutuhkan buku itu untuk referensi tugas presentasiku minggu depan.

Namun hal yang membuatku sedikit sebal setelah itu adalah ... buku itu ada dibagian rak paling atas. Aku sendiri tidak bisa menggapainya karena tubuhku tidak begitu tinggi. Aku sudah berjinjitpun tetap kesusahan untuk mengambil buku itu.

“He—”

“Ini.” Aku segera berbalik ketika seseorang tiba-tiba mengambil buku yang aku ingin pinjam. Awalnya aku ingin marah, tetapi urung ketika melihat siapa yang mengambil buku itu kemudian ia berikan kepadaku. “Kau butuh buku ini, kan?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk samar, “terima kasih,” ucapku.

“Sama-sama. Terima kasih juga soal cokelat itu. Kau benar, cokelat itu enak.”

“Lalu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku menatap Natsuki di depanku. Ya, pemuda yang telah menolongku mengambil buku di rak itu adalah Natsuki yang sudah satu minggu ini tidak pernah aku lihat di sekitar kampus. Bahkan sering aku melihat teman-teman Natsuki berkumpul namun tidak ada Natsuki di antara mereka.

“Ah, aku mencarimu. Aku bertanya pada teman-temanmu dan mereka bilang aku bisa menemukanmu di perpustakaan kampus,” jawab Natsuki.

“Ada perlu apa mencariku?” tanyaku.

“Ehmm ... itu ... ada yang ingin aku tunjukkan padamu. Kau ada waktu?” tanya Natsuki.

Aku mengernyit heran, kemudian mengangguk. “Aku akan meminjam buku ini dulu. Kau bisa menungguku sebentar.”

Natsuki mengangguk. Kami berdua lantas berjalan menuju bagian depan perpustakaan. Aku menuju meja petugas perpustakaan untuk meminjam buku, sedangkan Natsuki langsung keluar dari dalam perpustakaan dan menunggu di depan pintu masuk perpustakaan.

“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” tanyaku begitu aku berada di depan Natsuki.

“Bukan di sini. Ayo ikut aku!” ajak Natsuki.

Aku tidak banyak bertanya setelah itu. Aku berjalan bersebalahan dengan Natsuki, namun tidak ada percakapan di antara kami. Sampai akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas Natsuki, Natsuki mengajakku untuk masuk. Tidak lama kemudian kami memasuki salah satu ruangan di lorong gedung ini.

“Duduk saja di kursi yang kamu mau,” ucap Natsuki. Natsuki tidak melihatku, ia tampak sibuk sendiri dengan sesuatu. Dan ketika tangannya telah memegang sebuah alat musik, biola, Natsuki mendongak menatapku.

Aku hanya diam menunggu. Mungkinkah Natsuki akan memainkan sebuah lagu? Tidak lama kemudian suara nada dari permainan biola terdengar. Natsuki memejamkan mata, seakan sudah hapal dengan pasti mana nada yang akan ia mainkan. Aku hanya terpekur di tempat dudukku, nada yang Natsuki mainkan begitu dalam, intens dan membuatku merinding entah kenapa. Namun aku sama sekali tidak bisa berhenti mendengarkannya, aku terus menatap Natsuki yang sedang memainkan biola. Nada yang ia mainkan, seperti Natsuki sedang bercerita mengenai apa yang ia rasakan melalui permainan biolanya.

Aku mengerjapkan kelopak mataku ketika Natsuki selesai dengan permainan biolanya. Ia meletakkan alat musik itu kemudian duduk di kursi sebelahku.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Natsuki.

Aku bingung harus menanggapi seperti apa karena aku bukanlah orang yang expert dalam bidang bermain musik seperti itu. “Uhm ... kau sedang bercerita mengenai masalahmu dengan permainan tadi ya?” tanyaku.

Natsuki diam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. “Beberapa minggu yang lalu aku baru saja menyelesaikan lagu yang ingin aku tampilkan untuk penilaian tugas akhirku, tetapi tiba-tiba partitur lagu yang aku tulis hilang entah ke mana. Aku sudah mencarinya tetapi tidak menemukannya, satu minggu yang lalu tiba-tiba aku mendengar salah satu teman satu kelasku memainkan lagu yang sudah aku buat dan mendapatkan pujian bagus dari dosen-dosen bahkan teman-temanku. Ketika aku bertanya dari mana dia mendapatkan itu, dia tidak mengakui jika itu adalah partitur lagu yang aku buat. Aku tidak bisa melakukan apa-apa karena mereka tidak percaya padaku.”

“Huh?? Jadi temanmu itu mencuri lagumu?” tanyaku. “Kenapa tidak melaporkannya kepada dosen yang lainnya?”

“Tidak akan ada yang percaya. Aku sudah mencobanya,” jawab Natsuki.

“Jadi, di café itu, kau sedih karena ini?” tanyaku. Natsuki mengangguk.

“Tapi, terima kasih, ya. Karenamu yang memberikan cokelat itu kepadaku aku menjadi lebih baik dan langsung membuat lagu baru yang aku mainkan tadi. Setelah aku sedih karena merasa dikhianati oleh temanku sendiri, kau datang dan membuatku bisa bangkit semangat kembali.”

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahku saat ini. Jujur saja aku sangat-sangat malu ketika mendengar penuturan Natsuki yang seakan-akan aku ini sangat berjasa bagi dirinya karena membuatnya bisa semangat lagi.

“It-itu ... aku sama sekali tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memberimu sebuah cokelat,” ucapku.

“Tapi karena cokelat pemberianmu itu, aku bisa bangkit lagi dan tidak terus-menerus larut dalam kesedihanku,” ucap Natsuki, “terima kasih.”

Aku menggeleng pelan. “Keren!! Kau hebat bisa menciptakan lagu sebagus ini!” tukasku.

“Berkatmu juga aku bisa menciptakan lagu baru lagi,” ucap Natsuki.

“Sudah aku katakan, aku sama sekali tidak melakukan apa-apa. Kau bisa karena usahamu sendiri,” ucapku.

“Tetap saja. Terima kasih sudah menolongku waktu itu,” ucap Natsuki.

Aku terdiam lagi. Terpaku melihat Natsuki yang tersenyum manis kepadaku.

•••