diam-diam

narasi bagian tiga puluh dua dari Dua Sisi, a Suna harem story


Rintarou berjalan memasuki ruang makan keluarga begitu ia selesai membersihkan badan. Ketika ia memasuki ruang makan, berbagai menu masakan sudah tersedia di sana. Pun iya yakin bukan ibunya yang memasak semua masakan ini. Sang ibu terlalu sibuk untuk memasak sarapan karena sang ibu bukanlah seorang ibu rumah tangga kebanyakan.

Rintarou membuka tudung saji yang menutup berbagai masakan di atas meja. Beberapa lauk dan sayur sudah berkurang, itu artinya kedua orang tuanya sudah sarapan terlebih dahulu tanpa dirinya.

“Eh, Mbok, mama sama papa ada?” tanya Rintarou kepada si Mbok—asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman orang tuanya—yang kebetulan berjalan melewati ruang makan.

“Tuan sama Nyonya baru aja pergi, Den. Mbok kurang tau ke mananya,” balas si Mbok.

Rintarou mengangguk-angguk, “oh. Nggak ngasih tau kapan baliknya juga, Mbok?” tanya Rintarou.

“Bilangnya belum tau pasti, Den. Tadi nyonya cuma pesen sama Mbok buat ngingetin Aden makan gitu.”

“Pak Oki pergi bareng papa mama?” tanya Rintarou.

“Iya, Den.”

Rintarou menghembuskan napas lega. Setidaknya jika Pak Oki pergi bersama orang tuanya saat ini, ia tidak perlu terlalu khawatir selalu diawasi. Ia bisa sedikit bebas hari ini.

“Ya udah, Mbok, mau makan dulu!” tukas Rintarou.

Mbok ambilin, Den—“

“Nggak usah. Bisa sendiri kok. Mbok lanjutin kerja aja yang lain!” tolak Rintarou.

“Oh ya sudah kalau gitu. Panggil Mbok aja kalau butuh apa-apa, ya, Den!”

Rintarou baru mengambil piring kosong di atas meja dan mengisinya dengan nasi, lauk dan sayur setelah si Mbok pergi meninggalkannya. Rintarou bergumam pelan. Sangat merindukan masakan rumahan seperti ini. Sangat berbeda ketika ia masih tinggal di apartemen, ia harus memasak sendiri yang terkadang rasanya tidak pas atau memesan makanan cepat saji.

Baru berapa menit Rintarou menikmati sarapannya. Ia mendengar bel pintu rumahnya berbunyi. Tidak lama kemudian, ia mendengar suara cukup ribut dari arah pintu rumahnya. Berat hati Rintarou akhirnya meletakkan sendok dan garpu yang ia gunakan. Ia berjalan menuju pintu depan.

Betapa terkejutnya Rintarou ketika melihat sosok Tooru yang berusaha memasuki rumahnya namun ditahan oleh dua satpam yang bekerja mengamankan rumahnya.

“Pak, cuma sebentar. Mau ketemu Rintarou doang!” Rintarou mendengar suara Tooru.

“Maaf, Mas. Ndak bisa! Tuan sudah ngasih tau kami kalau ada Mas datang ke sini, suruh pulang aja!” tukas pak satpam pertama.

“Cuma ngecek keadaan Rintarou doang! Semalaman gue chat nggak bales-bales dia. Gue takut dia kenapa-napa!” tukas Tooru.

“Tetap ndak bisa, Mas. Lagian Den Rintarou juga baik-baik aja. Aden dari kemarin di rumah aja, kok, ndak ke mana-mana!” tukas pak satpam kedua.

“Gue belum puaslah kalo belum ketemu langsung!” tukas Tooru memaksa.

“Mas-nya mending pulang aja sekarang. Daripada saya seret keluar dari sini!” ancam pak satpam.

Rintarou berjalan maju, menghampiri tiga orang yang masih berdebat itu. “Oikawa, ngapain lo ke sini?”

Tooru segera mendongak. Tanpa menjawab pertanyaan Rintarou, Tooru mendorong minggir kedua satpam yang menghalanginya kemudian berjalan cepat menghampiri Rintarou.

“Lo nggak apa-apa? Gue khawatir banget lo chat gue tapi dihapus gitu. Gue kira lo kenapa-napa!” Rintarou masih terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Tooru kali ini sudah memeluk erat tubuhnya. “Gue kangen sama lo.” Tooru berbisik.

Ada rasa yang aneh di perut Rintarou ketika ia mendengar apa yang dikatakan Tooru tadi. Tooru merindukannya. Benar-benar memberikan reaksi aneh pada perut dan jantungnya.

“Gue nggak apa-apa.” Akhirnya Rintarou mendapatkan kembali setelah terdiam cukup lama. “Emang lo pikir ortu gue bakal ngapain gue?” tanya Rintarou.

“Nggak gitu. Gue khawatir aja sama lo!” tukas Tooru melepaskan pelukannya.

Rintarou menoleh ke arah dua satpam rumahnya yang masih menunggu. Ia memberikan kode kepada dua satpam itu untuk pergi, keduanya tampak ragu namun akhirnya berjalan pergi kembali menuju pos jaga mereka sendiri.

“Gue nggak kenapa-napa. Justru lo yang bikin gue kepikiran. Kemarin lo ke sini tapi diusir sama bokap gue!” tukas Rintarou.

Tooru terkekeh kecil, “baru hari pertama nyoba, kok. Berapa kali gue diusir, gue nggak bakal nyerah buat berusaha ketemu sama lo!” tukas Tooru.

“Lebay lo!” Rintarou mencibir.

“Gue serius!” tukas Tooru. “Lo udah baca chat gue, kan? Gue serius di situ. Gue nggak bohong. Suer!” tukas Tooru meyakinkan Rintarou. “Walaupun gue nggak tau juga lo bakal merespon gimana. Tapi gue jujur, gue sesayang itu sama lo. Sejak lama!”

Rintarou mengalihkan pandangannya. Ke mana saja, asal tidak menatap langsung wajah Tooru.

“Lo minta gue buktiin pake apa? Gue bakal lakuin!” tukas Tooru. Kedua telapak tangannya menangkup kedua pipi Rintarou, sedikit memaksa Rintarou agar menatap ke arahnya. Elusan pelan ibu jari Tooru di pipinya tanpa sadar membuat pipi Rintarou memerah. Pun ia tidak tahu harus menanggapi apa yang baru saja Tooru katakan.

Rintarou menyingkirkan kedua tangan Tooru perlahan, kemudian menatap Tooru tepat di matanya.

“Lo tunggu di luar aja. Sepuluh menit. Ntar gue nyusul.”

Tooru mengernyit. “Ortu lo?”

“Lagi pergi. Nggak tau ke mana.” Rintarou menjawab. “Sana! Gue bakal nyusul. Janji.”

Walaupun Tooru ragu dengan apa yang Rintarou katakan. Namun akhirnya Tooru bersedia. Ia perlahan berjalan meninggalkan rumah Rintarou dan menunggu Rintarou di mobilnya yang terparkir tidak jauh dari gerbang kediaman Suna.

Tooru sangsi, apakah Rintarou akan benar-benar menyusulnya atau hanya berusaha untuk mengusir Tooru tanpa menyakiti hatinya.

tbc