eighteen

#semisuna hq!!

6,2k words full naration

Author @l1_mey

cw // alcohol consumption , drunk , college au , m/m , ooc , sakuatsu mentioned


“I have loved you since we were 18.”

Suna Rintarou itu tidak suka acara seperti ini. Pesta-pesta, berkerumun atau berkumpul dengan banyak orang, terlebih berkumpul dengan orang-orang yang sama sekali tidak dekat dengannya. Rintarou tidak terlalu nyaman. Namun kali ini berbeda. Miya Atsumu, sahabatnya itu memaksa Rintarou untuk pergi bersamanya ke pesta perayaan suksesnya perform band-nya. Ah ya, Atsumu adalah salah satu anggota band indie kampus mereka yang cukup digemari oleh para mahasiswa. Hari ini Atsumu dan anggota band lainnya berhasil memuaskan seluruh penonton yang datang pada acara welcoming party untuk mahasiswa baru di kampus mereka. Rintarou sama sekali tidak mempunyai urusan dengan band Atsumu, namun pemuda itu terus saja memaksa Rintarou untuk ikut bergabung ke pesta perayaan mereka.

Rintarou jelas menolak, namun tentu saja Atsumu tidak menyerah begitu saja. Atsumu terus saja memaksa Rintarou hingga akhirnya Rintarou mengalah dan setuju untuk ikut.

Rintarou pikir pesta ini adalah pesta privat antara para anggota band saja, nyatanya ini adalah pesta cukup ramai karena bukan hanya anggota inti band, namun cukup banyak wajah familiar yang Rintarou lihat meski ia tidak terlalu dekat dengan mereka.

“Lo bilang pestanya privat ya!” tukas Rintarou menatap kesal sahabatnya. Atsumu nyengir, kemudian tertawa kecil.

“Klo gue bilang ini rame, lo pasti jelas nggak akan mau ikut,” balas Atsumu.

Rintarou mendengus, “udahlah, gue balik aja!” tukasnya.

“EHH, jangan dong!!” seru Atsumu menahan lengan Rintarou. “Ayolah, Rin. Sekali-kali aja lo tuh ikutan acara begini. Cari suasana yang baru gitu,” ucap Atsumu.

“Gue nggak suka, Tsum!” tukas Rintarou. “Gue nggak kenal mereka-mereka. Gue bakal kayak orang ilang klo di sini lama-lama,” sambung Rintarou.

“Gabung sama gue aja ayo!” ajak Atsumu. “Gue yang ngajak lo ke sini, gue yang tangguh jawab, deh!” tukas Atsumu.

Rintarou menghembuskan napas, masih menatap malas pada Atsumu. Tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari Rintarou, Atsumu lantas menarik Rintarou mengikuti dirinya. Rintarou sendiri hanya bisa iya-iya saja tangannya ditarik oleh Atsumu. Percuma juga jika ia menolak.

Sorry, lama!” tukas Atsumu begitu ia sampai disalah satu meja yang sudah dipenuhi orang.

“Lama lo. Dari mana aja, sih?” tanya salah satu di antara mereka. “Loh, Suna ikut? Tumbenan, Sun, lo mau ikut?” tanyanya kini mengarah kepada Rintarou.

“Ini anak maksa gue,” balas Rintarou.

“Sekali-kali elah ikutan ginian!” tukas Atsumu.

“Duduk sini, Sun!” tukas pemuda lain sedikit menggeser posisi duduknya. Rintarou mengangguk, kemudian duduk di sebelah pemuda itu. Sedangkan Atsumu langsung duduk di sisi yang lain, tepat di sebelah seorang pemuda berambut ikal. “Kan, mulai bulolnya,” ucap pemuda di sebelah Rintarou.

“Itu pacar Atsumu?” tanya Rintarou.

Pemuda di sebelahnya mengangguk. “Iya, lo tau, kan, Sakusa Kiyoomi? Anak jurusan hukum itu,” ucapnya. Rintarou mengangguk samar. “Baru jadian belum ada sebulan, sih. Tapi bulolnya kayak udah pacaran bertahun-tahun,” tambah pemuda itu.

“Lo sendiri gimana, Kur?” tanya Rintarou balik kepada pemuda di sebelahnya. Kuroo Tetsurou, mahasiswa fakultas MIPA yang mengambil jurusan kimia. “Nggak sama pacar lo?” tanya Rintarou.

Tetsurou menggeleng, “nggak mau dia gue ajak. Katanya mendingan nonton serial Netflix di kos daripada ikut ginian,” jawab Tetsurou.

Rintarou mengangguk-angguk. “Gue klo jadi cewek lo juga mending Netflix-kan sih daripada ikut ke sini,” timpal Rintarou.

Tetsurou tertawa, “nggak apalah, bener kata Atsumu ... sekali-kali lo ikutan kumpul bareng gini nggak ada salahnya,” ucap Tetsurou. “Lo minum nggak?” tanya Tetsurou.

“Ntar aja deh,” jawab Rintarou. Rintarou mengambil ponsel miliknya dari dalam saku jaket yang ia pakai. Berusaha menyibukkan diri dengan membuka-buka acak aplikasi yang ada di ponselnya. Sudah Rintarou katakan, ia tidak terlalu suka berkumpul bersama orang-orang yang tidak begitu dekat dengannya seperti ini.

Suasana bar malam itu semakin ramai. Entah karena kedatangan teman-teman Atsumu dan Tetsurou yang lainnya atau karena pelanggan lain yang datang. Tetsurou sempat mengatakan jika setengah bagian dari bar ini sudah dipesan olehnya dan teman-teman band-nya, jadi tidak heran jika pesta kali ini sedikit lebih ramai dari biasanya.

Semakin lama, pesta pun semakin tidak karuan. Ada yang sudah mabuk, bahkan yang sudah pingsan saking mabuknya pun ada. Beberapa sudah memilih pulang atau mengantar teman mereka yang mabuk. Di meja yang Rintarou tempati sekarang, yang tadinya hanya ada Tetsurou, Atsumu, Kiyoomi, dan dirinya ... kini sudah bertambah personil lain, Terushima Yuuji, Oikawa Toruu dan Iwaizumi Hajime.

“Eh, bosen ni. Mau main nggak?” ajak Tooru tiba-tiba.

“Main apaan?” tanya Atsumu.

Feeling gue kok nggak enak,” ucap Yuuji.

“Halah, main gampang kok! Main spill or drink aja ayo!” tukas Tooru.

“Ikut deh gue,” ucap Tetsurou. “Ayo lo pada ikutan semua!” tukas Tetsurou.

Rintarou yang awalnya masih menatap layar ponselnya langsung mendongak, “gue juga?” tanyanya.

“Ya iyalah, Rin! Lo juga ikutan!” tukas Atsumu.

“Hah? Nggak. Kalian aja sana main, gue nonton aja!” tolak Rintarou.

“Nggak seru lo!” cibir Tooru, “ikutan aja biar makin rame!” tukas Tooru, “gini deh, minumnya dikit-dikit aja biar nggak langsung tepar,” tambah Tooru.

“Setuju, sih. Biar bisa lama juga kita mainnya,” ucap Yuuji.

“Lo dari tadi juga belum minum, kan, Sun. Ikutan aja dah,” ucap Tetsurou. Rintarou mendengus. Justru karena itu, Rintarou sengaja menyibukkan diri dengan ponselnya supaya tidak tergiur untuk minum-minum. Rintarou bukan orang yang mudah mabuk hanya karena minum minuman beralkohol, tapi jika sudah minum ... Rintarou tidak bisa berhenti minum. Maka dari itu ia mencoba menghindarinya.

“Ayolah, Rin—” Atsumu kembali membujuknya. “ntar klo lo mabuk gue anterin deh, apa nginep di kontrakan gue sama Samu,” ucap Atsumu.

“Nggak, gu—”

Sorry, gue telat!” ucapan Rintarou terpotong. Rintarou menegang, suara itu sangat familiar di telinganya.

“Lama lo, Sem. Ke mana aja lo?” tanya Hajime.

“Heh gue tadi ikutan rapat evaluasi setelah acara! Nggak kayak kalian yang main kabur aja. Gara-gara kalian juga semua pada kabur jadi gue yang harus wakilin band buat ikut rapat.” Pemuda itu menjelaskan.

“Kebetulan kita juga lagi mau main, nih. Spill or drink, ikutan nggak lo?” tawar Tetsurou.

“Ikut dah!” jawabnya cepat.

“Nah, tuh, Rin. Semi aja langsung ikut, masa lo nggak!?” tukas Atsumu.

Rintarou ingin rasanya berteriak di depan wajah sahabatnya itu. Rintarou melirik pada pemuda yang baru saja datang itu, nampaknya ia juga sedikit terkejut karena baru menyadari eksistensi Rintarou di tempat itu.

Semi Eita. Mantan kekasih Rintarou ketika ia masih SMA. Sayangnya waktu itu, ketika Rintarou berpikir bahwa Eita benar-benar menyukainya, mencintainya ... ternyata itu hanya bohong semata. Eita berpacaran dengan Rintarou karena mendapatkan sebuah tantangan dari teman-temannya. Satu bulan hubungan mereka berjalan, Eita tiba-tiba memutuskan hubungan mereka dan mengatakan jika semua itu hanyalah taruhan semata.

Rintarou tentu saja hancur pada saat itu. Ia sudah terlanjur mencintai Eita, namun pemuda itu tidak memiliki rasa yang sama dengannya. Dengan berat hati Rintarou akhirnya harus merelakan hatinya hancur dan kehilangan pacar pertamanya. Rintarou memilih untuk fokus pada akademiknya setelah itu, hingga akhirnya ia bisa diterima di sebuah universitas ternama melalui jalur tes bersama.

Namun nyatanya semesta sedang bermain-main dengan Rintarou. Rintarou pikir ia akan lebih mudah melupakan Eita jika ia berkuliah jauh dari kota asalnya, nyatanya tanpa ia ketahui ... Eita juga mendaftar dan diterima di kampus yang sama dengan Rintarou.

Rintarou sangat terkejut ketika satu tahun yang lalu ia menonton acara welcoming party mahasiswa baru di kampusnya, dan melihat Eita yang tampil di atas panggung bersama dengan Atsumu, sahabatnya. Atsumu bahkan tidak bercerita jika ia berada di dalam satu band yang sama dengan Eita. Itulah kenapa, sejak saat itu setiap kali Atsumu mengajaknya berkumpul bersama teman band-nya, Rintarou selalu menolak. Ia tidak ingin bertemu dengan Semi Eita.

“Duduk sini, Sem,” ucap seseorang di sebelah Rintarou. Rintarou mendelik ketika Tooru yang awalnya duduk di sebelahnya malah bergeser menjauhinya hingga satu-satunya tempat duduk bagi Eita hanyalah tempat di sebelahnya. Eita pun dengan ragu kemudian duduk di sebelah Rintarou. Rintarou berjengit kecil, reflek menggeser duduknya menjadi lebih dekat ke arah Tetsurou.

“Jadi, gimana, Sun? Ikut, kan?” tanya Tetsurou. “Geser dikit elah, Sun!” tukas Tetsurou kemudian yang merasakan Rintarou semakin mendekat ke arahnya.

Rintarou merutuk dalam hati. Tidak ada yang mengetahui tentang masa kelam Rintarou dan Eita di antara mereka semua, bahkan Atsumu pun tidak tahu jika dulu Rintarou pernah mempunyai hubungan dengan Eita. Rintarou tidak ingin membuat orang-orang curiga, jadi ia menurut ... dengan berat hati ia sedikit menggeser posisi duduknya.

“Ya okelah. Gue ikut,” ucap Rintarou kemudian. Tampak semuanya bersorak senang, permainannya pasti akan lebih seru jika dimainkan oleh banyak orang.

Tooru selaku yang mempunyai ide kemudian meminta botol kosong kepada pelayan bar. Permainan kemudian dimulai. Botol diputar, pertanyaan diberikan, lalu memilih menjawabnya atau minum. Beberapa memilih untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, supaya permainan bisa bertahan lama katanya.

Namun ketika tiba giliran Rintarou. Rintarou tanpa ragu meraih gelas sloki kecil yang sudah terisi cairan beralkohol itu, kemudian menenggak cairan dalam sloki itu sampai habis.

Semesta memang sedang bermain-main dengan Rintarou, ujung botol itu lebih sering berhenti tepat menunjuk ke arahnya. Hingga berbagai pertanyaan-pertanyaan diajukan kepadanya. Dan tentu saja, Rintarou lebih memilih untuk minum daripada menjawab pertanyaan yang diberikan oleh temannya.

“Rin, udah!” akhirnya Atsumu buka suara. Ia menahan tangan Rintarou yang berusaha mengambil gelas sloki kecil di depannya. “Lo udah kayak gitu,” sambung Atsumu.

“Lo emang demen minum atau karena nggak mau jawab pertanyaannya, sih?” tanya Kiyoomi.

Kepala Rintarou rasanya sangat pusing, tetapi ia masih bisa mendengar pertanyaan Kiyoomi. “Dua-duanya,” jawab Rintarou.

“Udah, lo jangan minum dulu klo kena lagi. Jawab aja pertanyaannya. Lo udah hampir teler gitu,” ucap Hajime.

“Gue baru kali ini liat Suna hampir teler gitu!” Yuuji menimpali.

“Udah lo jawab aja napa, siapa ciuman pertama lo!” tukas Tetsurou.

Rintarou terdiam cukup lama. Ketika kepalanya pusing seperti ini, bisa-bisanya ia memikirkan kembali tentang siapa ciuman pertamanya. Kening Rintarou mengernyit tidak lama kemudian ketika mengingat jika Eita-lah ciuman pertamanya. Rintarou bergerak, ia mengambil paksa gelas sloki dari tangan Atsumu kemudian segera menenggak habis isinya.

“Ah, elah, Rin! Batu amat dibilangin!” seru Atsumu.

“Gila, ya. Gue jadi penasaran siapa ciuman pertama Suna sampe dia nggak mau nge-spill gini,” ucap Tooru.

Eita? Tentu saja Eita juga penasaran. Ia tidak bisa berkonsentrasi selama bermain karena eksistensi Rintarou yang duduk sangat dekat di sebelahnya. Ia benar-benar penasaran jawaban-jawaban yang disembunyikan oleh Rintarou. Tapi ia jelas tidak bisa melakukan apa-apa jika Rintarou saja sudah seperti memberikan kode kepadanya untuk tidak berbicara dengannya.

“Nah, pusing, kan, lo!” tukas Tetsurou yang melihat Rintarou memegang kepalanya.

“Lanjut apa berhenti, nih?” tanya Tooru kemudian.

“Lanjut ajalah! Tapi Suna nggak boleh minum lagi aja. Udah kayak gitu anaknya,” ucap Kiyoomi. Semuanya mengangguk dan botol di tengah mereka kembali diputar hingga berhenti tepat di depan Eita.

“Gue aja ya yang tanya!” tukas Atsumu, yang lainnya tampak setuju.

Spill or drink, Sem. Lo pernah ciuman sama cowok?” tanya Atsumu.

“Anjir pertanyaannya!” Yuuji tertawa.

“Gue penasaran asli!” tukas Atsumu yang juga ikut tertawa.

“Pernah.”

“Hah!? Seriusan? Sama siapa lo?” tanya Tooru heboh.

“Pacar gue dulu,” jawab Eita.

“Lo udah pernah pacaran sama cowok?” tanya Hajime.

“Siapa?” Tetsurou ikut bertanya.

“Kok jadi tanya banyak amat ke gue! Udahlah lanjut!” tukas Eita.

“Anjir, penasaran ini gue! Cepet spill siapa pacar cowok lo!” tukas Atsumu.

Belum sempat Eita menjawab, suara gedebuk keras dibarengi dengan makian Eita terdengar. Suasana menjadi tegang seketika ketika mereka sadar bahwa yang memukul punggung Eita sekeras itu adalah Rintarou.

Rintarou menatap nyalang Eita. Wajahnya memerah, entah karena mabuk atau amarah. “Lo bajingan, Ta!” tukas Rintarou. Setelah berkata seperti itu, Rintarou berdiri dari duduknya. Dengan langkah yang sempoyongan dan tangan memegang kepalanya, Rintarou berjalan pergi meninggalkan mereka.

“Heh anjir! Kok pada diem! Itu Suna kenapa!” seru Kiyoomi yang pertama kali sadar.

“Eh? Oh? Eh! RIN TU—”

“Biar gue aja!” tukas Eita menahan Atsumu yang akan beranjak menyusul Rintarou.

“Itu? Itu kenapa Rin kok mukul lo? Ngatain lo bajingan pula?” tanya Atsumu.

“Lo ada masalah sama Suna?” tanya Hajime.

“Nggak, nggak ada. Mabuk doang paling anaknya. Gue susul aja, ya, takut kenapa-kenapa tuh anak,” ucap Eita.

“Perlu bantuan nggak, Sem?” tanya Tetsurou.

“Nggak usah. Gue langsung anterin Suna balik aja, ya, nanti. Tolong SMS ke gue alamat Suna nanti, Tsum,” ucap Eita kepada Atsumu. Atsumu hanya bisa mengangguk kecil.

Eita segera mengambil kunci mobil dan ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan langkah lebar ia segera berlari kecil menyusul Rintarou yang sudah pergi meninggalkan mereka.

•••

Panggil saja Eita itu brengsek, tapi Eita tidak apa-apa. Eita memang mengatakan kepada Atsumu untuk mengirimkan alamat kos Rintarou, Atsumu juga sudah melakukannya. Atsumu langsung mengirimkan pesan berisi alamat Rintarou beberapa menit setelah Eita keluar mengejar Rintarou. Eita juga sudah membaca pesan dari Atsumu. Hanya saja, ini Eita, mantan kekasih Rintarou ketika mereka masih SMA.

Eita akhirnya memutuskan untuk membawa Rintarou ke apartemen yang disewanya sejak satu tahun yang lalu. Jarak antara bar dengan kos Rintarou ternyata lebih jauh dibandingkan jarak antara bar dengan apartemen Eita, maka dari itu Eita memilih untuk membawa Rintarou ke apartemennya saja.

Rintarou bagaimana? Tentu saja ia menolak. Bahkan ketika Eita berhasil mengejarnya, Eita harus rela terkena tonjokan dari Rintarou di pipinya karena menyentuh tangan Rintarou. Eita tidak menyerah, pipinya ngilu bekas tonjokan Rintarou, tapi ia terus memaksa mendekati Rintarou hingga akhirnya ia bisa meraih Rintarou masuk ke dalam pelukannya.

Kedua tangan Rintarou mengepal, memukul dada Eita berulang kali mencoba melepaskan diri. Namun gagal, Eita semakin erat memeluk Rintarou dan tidak membiarkan Rintarou pergi.

Pada akhirnya Rintarou menangis, ia memaki Eita dengan kata-kata kasar dan Eita membiarkannya. Tetap memeluk tubuh Rintarou hingga Rintarou akhirnya pingsan atau mungkin tertidur dalam pelukannya.

Eita masih merasa sangat bersalah dengan apa yang ia lakukan pada Rintarou beberapa tahun yang lalu ketika mereka masih SMA.

Diletakkannya tubuh Rintarou begitu Eita sampai di kamar apartemennya. Rintarou masih tidak sadarkan diri. Mungkin efek alkohol yang banyak diminumnya. Eita diam mengamati. Wajah Rintarou tidak banyak berubah. Berubah, sih, semakin tampan dan Eita suka.

Jemari tangan Eita perlahan menyisir rambut Rintarou, menyingkirkan poni rambut pemuda itu yang menutupi keningnya. Rambut Rintarou masih sama seperti yang dulu pernah Eita rasakan, terasa lembut di tangannya.

Eita menghembuskan napas pelan. Ia semakin merasa ia benar-benar orang brengsek yang sudah menghancurkan hati Rintarou dulu hanya karena taruhan tidak berguna. Dan Eita pun masih belum memaafkan dirinya sendiri karena itu.

Eita menjauhkan tangannya dari kening Rintarou, berniat bangkit meninggalkan Rintarou sebelum ia merasakan sebuah tangan yang menggenggam pergelangan tangannya.

“Ma-mau ke-mana?” suara serak terdengar di telinganya. Rintarou mencoba untuk mendudukkan tubuhnya.

“Nggak usah bangun dulu. Lo masih mabuk,” ucap Eita.

Rintarou menepis tangan Eita yang berniat menyentuh pundaknya. “Mau ke mana?” tanya Rintarou lagi.

“Nggak ke mana-mana. Gue mau ambil minum buat lo,” jawab Eita.

“Bohong!” seru Rintarou.

“Nggak bohong. Beneran!” tukas Eita.

Rintarou menggeleng, cengkeraman tangannya di pergelangan Eita semakin erat. “Bohong! Lo pasti bakal ninggalin gue lagi, kan! Lo bakal pergi!” tukas Rintarou.

Eita diam. Tidak tega ketika melihat ekspresi wajah sedih Rintarou ketika menatapnya. “Ri—Suna, lo lagi mabuk. Tidur aja lagi, ya!” tukas Eita pelan.

“Tuh, kan!!! Lo manggil gue Suna!” tukas Rintarou, “lo pasti mau pergi lagi, kan!?” tuding Rintarou.

Astaga, Eita bingung sekarang. “Dari dulu, kan, gue manggil lo Suna,” ucap Eita.

Rintarou terdiam. Tiba-tiba ia menangis. “Jahat! Eita, jahat! Jahat banget sama Rin! Katanya sayang sama Rin, tapi nyakitin Rin!”

Giliran Eita yang diam. Ini Rintarou memanggil namanya dengan nama depan karena keinginan Rintarou sendiri atau karena efek alkohol dan mabuk? Semasa pacaran dulu memang Eita sering memanggil Rintarou dengan nama pendeknya, ‘Rin’. Sama halnya dengan Rintarou yang memanggil Eita dengan panggilan ‘Eita’.

Eita maju selangkah, ia berjongkok di depan Rintarou. “Iya, maafin Eita, ya. Dulu Eita emang jahat udah nyakitin Rin,” ucap Eita yang sama sekali tidak membuat Rintarou menghentikan tangisnya. “Udah, jangan nangis. Eita di sini sekarang,” tambah Eita.

“E-Eita ja-jahat hiks! Ka-katanya sa-sayang tapi cu-cuma tar-taruhan!” tangis Rintarou semakin kencang.

Aduh! Sepertinya gara-gara mabuk, Rintarou jadi terlalu jujur seperti ini. Kalau Rintarou saat mabuk menjadi seperti ini, kenapa Rintarou malah memaksa minum banyak tadi?

“Aduh, Rin, jangan nangis. Ayo tidur aja, ya!” bujuk Eita.

“EITA JAHAT! EITA BRENGSEK!” teriak Rintarou.

“Iya, Eita emang jahat sama brengsek,” ucap Eita.

“EITA SETAN! NYEBELIN!” teriak Rintarou lagi.

“Iya, iya, pokoknya Eita yang jelek-jelek karena udah jahat sama Rin. Baik-baiknya semua ada di Rin,” ucap Eita, kini ia mengubah posisinya, tidak lagi berjongkok di depan Rintarou ... namun kini ikut duduk di sebelah Rintarou di atas tempat tidur, lalu menarik tubuh Rintarou ke dalam pelukannya.

Rintarou masih menangis sesenggukan di dalam pelukan Eita. Hati Eita rasanya ikut sakit melihatnya. Apakah Rintarou seperti ini karenanya? Karena Eita yang sudah tega menyakiti hati seseorang yang dikasihinya?

Eita merasakan pelukan erat pada punggungnya. Kedua tangan Rintarou yang melingkar di tubuh Eita, memeluk tubuh Eita erat. Wajah Rintarou ia sembunyikan di dada bidang Eita dan masih menangis di sana.

Eita hanya bisa diam, ia balas memeluk tubuh Rintarou dan mengelus pelan punggung Rintarou guna memenangkan.

“Gue sayang banget sama lo, Ta. Tapi kenapa lo jahat banget. Lo ninggalin gue pas gue sayang-sayangnya sama lo. Lo bilang ngajak gue pacaran cuma karena disuruh dan jadiin gue taruhannya? Kenapa lo jahat banget, Ta?” Eita masih diam. Ia semakin merasa bersalah ketika mengetahui kenyataan jika pada saat itu Rintarou benar-benar menyayanginya, dan teganya Eita yang menyakiti hati Rintarou.

“Maafin gue, Rin.” Eita berbisik.

“Gue salah apa? Gue sayang sama lo, Ta.” Eita mendengar Rintarou kembali bergumam.

“Gue yang salah, Rin. Lo nggak salah,” balas Eita.

“Lo brengsek, Ta.”

“Iya, gue emang brengsek.”

“Lo—lo—” Rintarou kembali terisak, “—gue masih sayang sama lo.”

Pelukan Eita semakin mengerat. Masih membiarkan Rintarou menangis dalam pelukannya.

“Gue bener-bener minta maaf, Rin.” Eita kembali berbisik. “Gue juga sayang sama lo, Rin.”

Tidak ada respon dari Rintarou setelah berapa lama. Eita menundukkan kepalanya dan melihat bahwa Rintarou telah memejamkan matanya. Dengkuran halus terdengar, Rintarou tertidur dalam pelukan Eita.

Tangan Eita terangkat, mengelus pelan pipi Rintarou, menghapus jejak air mata yang mulai mengering di pipi Rintarou.

“Maaf, Rin.” Eita berucap ketika mendaratkan kecupan singkat di kening Rintarou yang masih dicintainya.

•••

Rintarou perlahan membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi rasanya ia benar-benar sangat lelah. Ia mencoba bangkit dari tidurnya, namun pusing di kepalanya tiba-tiba menyerang. Rintarou mengerang, reflek memegang kepalanya.

Ck! Inilah alasannya kenapa ia harusnya tidak minum terlalu banyak. Ia akan merasa lebih lelah setelah minum-minum, lebih lelah dibandingkan ketika Rintarou tidur larut berhari-hari demi mengerjakan tugas kuliahnya.

“Oh, udah bangun.” Kepala Rintarou reflek mendongak, kelopak matanya melebar ketika melihat siapa yang memasuki ruangan itu. “Kenapa?” tanya Eita yang melihat Rintarou diam menatapnya dengan ekspresi wajah tidak terbaca.

“KOK KENAPA!” seru Rintarou setelahnya.

“Jangan teriak-teriak. Masih pagi ini,” ucap Eita.

“Ini di mana? Kok gue bisa ada di sini?” tanya Rintarou.

“Apartemen gue. Semalem lo mabuk berat, ngamuk-ngamuk pula. Jarak bar ke kos lo jauh, makanya gue bawa lo ke sini aja,” jelas Eita. “Santai aja. Gue nggak ngapa-ngapain lo kok,” sambung Eita.

Wajah Rintarou terlihat aneh, memerah antara malu atau ingin marah. “Ya emang lo bakal ngapain gue klo gue nggak sadar!?” seru Rintarou kesal, suaranya sedikit bergetar karena efek sedikit malu.

“Ya kali aja pikiran lo ke mana-mana,” balas Eita. “Gue udah siapin sarapan. Lo mandi aja dulu gih, lo bau soalnya. Handuk sama pakaiannya udah gue taroh di kamar mandi. Tenang aja, semuanya baru kok,” ucap Eita. “Habis itu sarapan, baru gue anter lo balik.”

Eita tidak menunggu persetujuan dari Rintarou, pemuda itu langsung berbalik meninggalkan Rintarou yang masih sedikit linglung, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya semalam.

“Jahat! Eita, jahat! Jahat banget sama Rin! Katanya sayang sama Rin, tapi nyakitin Rin!”

“Gue sayang banget sama lo, Ta. Tapi kenapa lo jahat banget.”

“Gue salah apa? Gue sayang sama lo, Ta.”

Wajah Rintarou langsung merah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Gila! Rintarou menjerit dalam hatinya. Bisa-bisanya ia mempermalukan dirinya sendiri seperti itu.

“Anjir, mau ditaroh mana muka gue di depan Eita—eh Semi!” bisik Rintarou pada dirinya sendiri.

“SUNA! LO MENDING CEPETAN SIAP-SIAP KLO GAMAU TELAT KELAS PAGI LO!”

Rintarou berjengit. Ia mengutuk Eita yang sepertinya tidak mendapat efek apa-apa setelah apa yang terjadi semalam. Apa itu artinya Eita sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa pada Rintarou?

Rintarou menggelengkan kepalanya, tertawa miris. Kisah mereka sudah berakhir beberapa tahun yang lalu, apa yang Rintarou harapkan dari kisah cinta yang tidak pernah dilandasi oleh rasa sayang?

•••

Eita menoleh ketika mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Rintarou sudah rapi dengan pakaian bersih yang sudah Eita siapkan sebelumnya. Ukuran tubuh mereka tidak jauh berbeda, jadi bisa-bisa saja Rintarou memakai baju Eita untuk sementara.

“Sini duduk. Gue udah bikin sarapan. Nggak seberapa, sih. Tapi mending lah buat ganjel perut,” ucap Eita.

Rintarou melangkah perlahan, matanya tidak luput dari sajian dua piring makan di atas meja yang berisi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi dan kerupuk.

“Tenang aja. Gue nggak masukin yang aneh-aneh kok ke dalamnya. Bebas racun,” ucap Eita lagi.

Rintarou mendengus, kemudian menarik salah satu kursi meja makan dan duduk di sana.

Eita bergabung bersama Rintarou tidak lama kemudian. Di tangannya ia membawa dua gelas susu rasa vanilla.

“Lo masih minum susu?” tanya Rintarou reflek.

“Hah? Kadang aja, sih. Nggak tiap hari juga, klo lagi pengen aja,” jawab Eita. “Kenapa? Lo nggak suka susu?” tanya Eita.

Rintarou menggeleng, “nggak. Taroh aja!” tujas Rintarou. Eita mengangguk, kemudian meletakkan satu gelas susu itu di dekat piring makan Rintarou.

“Jangan terlalu berharap sama rasanya. Gue bukan chef soalnya,” ucap Eita lagi.

“Lo kok cerewet, sih?” tanya Rintarou.

Eita terdiam. Jujur saja Eita tidak tahu kenapa hari ini ia menjadi lebih sering bicara, padahal ia juga tidak tahu apakah Rintarou ingat tentang kejadian tadi malam atau tidak.

“Oh, sorry. Makan gih, habis ini gue anterin balik.” Eita lantas mengambil sendoknya lebih dulu dan menyantap nasi goreng buatannya.

Keduanya hening, fokus pada sarapan mereka masing-masing. Hanya sesekali terdengar denting sendok yang beradu dengan permukaan piring.

“Pipi lo kenapa?” Eita mendongak, cukup terkejut ketika Rintarou yang lebih dulu buka suara.

Eita meraba pipi kirinya, sedikit berjengit ketika ia menyentuhnya. “Mau jawaban jujur apa bohong?” tanya Eita yang membuat Rintarou mendengus. “Jawaban jujur nih, ya. Semalam lo yang nonjok gue,” ucap Eita membuat Rintarou diam, “oh nggak apa-apa. Nggak usah merasa bersalah, gue pantes kok dapet tonjok dari lo,” sambung Eita ketika melihat ekspresi aneh di wajah Rintarou. “Lo klo lagi mabuk bar-bar juga, ya? Besok-besok jangan mabuk, deh. Kasian temen lo kayaknya.”

“Gue jadi pengen nonjok lo lagi rasanya,” ucap Rintarou.

“Jangan dong! Ntar ganteng gue ilang!” seru Eita terkekeh kecil. “Serius, gue nggak mau ditonjok lo lagi. Lo lagi setengah sadar aja sakit gini ampe ada bekas, gimana klo sadar,” sambung Eita.

Keduanya kembali terdiam, melanjutkan sarapan mereka. Sampai akhirnya sepiring nasi goreng telah habis dan segelas susu telah tandas, keduanya masih enggan untuk membuka suara.

“G-gue ... ngapain aja pas mabuk?” tanya Rintarou akhirnya.

Eita yang sedang mencuci piring di wastafel sempat menghentikan tangannya sebentar, sebelum melanjutkan membilas piring kemudian mematikan keran air dan berbalik menatap Rintarou.

“Lo beneran pengen tau?” tanya Eita.

Rintarou diam lagi, cukup lama, dan Eita yang masih setia menunggu jawaban dari Rintarou.

“Nggak usah. Nggak jadi!” tukas Rintarou akhirnya.

Eita mengangguk paham, “ayo gue anterin balik ke kos lo.”

Rintarou menurut saja Eita mengantarnya. Soalnya dia juga tidak tahu di mana daerah apartemen Eita ini dan sepertinya cukup jauh dari kosnya.

Selama perjalanan pun mereka memilih diam. Hanya terdengar suara halus mesin mobil yang mereka tumpangi dan suara klakson di sepanjang jalan. Eita sudah tahu di mana Rintarou tinggal, jadi tidak perlu lagi bertanya-tanya pada Rintarou di mana pemuda itu tinggal.

Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di depan pintu gerbang sebuah rumah yang cukup besar. Iya benar, kos-kosan Rintarou memang menjadi satu dengan rumah pemilik kosnya, jadi tidak heran jika memiliki gerbang dan rumah utama yang cukup besar sebelum orang-orang bisa melihat bangunan rumah sederhana yang lain di balik rumah besar itu. Rumah sederhana yang terpisah dari rumah besar itu adalah sebuah kos-kosan, berisi sekitar sepuluh kamar kos dan Rintarou adalah salah satu orang yang menempati kamar kos itu.

“Makasih,” ucap Rintarou begitu mobil berhenti. Ia berniat turun dari mobil ketika tiba-tiba Eita menahan tangannya dan membuat Rintarou mengurungkan niat untuk turun dari mobil. “Apa?” tanya Rintarou.

“Rin—” Rintarou merinding, perutnya rasanya diputar-putar begitu mendengar Eita memanggil namanya dengan nama panggilan kecilnya, “—apa bener lo masih suka sama gue?” Rintarou benar-benar panik dan bingung harus menjawab apa pertanyaan Eita yang tiba-tiba itu. “Maaf, gue emang bodoh banget dulu udah nyakitin lo. Gue emang brengsek banget. Semalem, gue seneng banget waktu tau lo masih sayang sama gue. Gue juga sayang sama lo, Rin.”

Rintarou langsung menarik tangannya dari genggaman tangan Eita.

“Gue nggak maksa lo atau bermaksud bebanin pikiran lo. Tapi klo lo siap, bisa nggak kita ngomongin ini baik-baik suatu hari nanti?” tanya Eita.

Rintarou tidak menjawab. Ia menatap Eita sebentar, kemudian langsung turun dari mobil tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Eita.

Eita sendiri hanya bisa diam. Ia menyenderkan keningnya di setir mobilnya. Eita memang bodoh, bisa-bisanya mengatakan hal semacam itu yang bisa membuat Rintarou semakin membencinya.

•••

Hari-hari setelahnya Rintarou berusaha terlalu keras untuk menghindari Eita. Rintarou dan Eita memang berbeda fakultas dan jurusan, tetapi meski begitu Rintarou tetap bersusah payah mengindari Eita karena: 1) Eita berada di band yang sama dengan Atsumu, 2) Atsumu adalah sahabatnya, 3) Eita terlihat berusaha mendekati Rintarou lagi, 4) di mana ada Atsumu, pasti ada anggota band lainnya, termasuk Eita, hal ini membuat Rintarou berusaha keras menghindar. Bahkan ia enggan untuk berbicara dengan Atsumu jika di sekitar Atsumu ada Eita.

Rintarou tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi apa yang Eita ucapkan saat terakhir kali mereka bersama waktu itu. Sampai beberapa minggu setelahnya pun Rintarou masih bingung harus bagaimana. Maka dari itu, menghindar adalah pilihannya.

Kebetulan yang cocok ketika dosen mata kuliahnya juga sedang rajin-rajinnya memberikan tugas kepada mahasiswa. Tugas kuliah menjadi alasan utama Rintarou menyibukkan dirinya.

Rintarou terkejut ketika tiba-tiba laptop yang semula di depannya sudah berpindah tangan. Ia mendongak dan mendapati sahabat kembarnya yang berdiri di depannya.

“Duduk lo!” perintah Atsumu, “gue sama Samu nggak bakal balikin laptop lo klo lo nggak jelasin sesuatu dulu ke gue sama Samu!” ancam Atsumu.

“Apaan, sih, lo berdua? Balikin laptop gue!” tukas Rintarou.

“Nggak! Jelasin dulu ke kita, lo kenapa akhir-akhir ini kayak menghindari gue banget!” tukas Atsumu.

“Ke gue juga.” Osamu—saudara kembar Atsumu—ikut menimpali.

“Gue nggak jauhin lo berdua,” jawab Rintarou.

“Nggak usah bohong, deh! Gue tau. Lo begini sejak waktu itu lo mabuk. Gue udah SMS Semi alamat kos lo, tapi paginya pas gue cek ke kos lo ternyata lo nggak ada. Lo dibawa ke mana sama Semi? Lo diapain sama dia? Lo ada masalah sama Semi?” tanya Atsumu bertubi-tubi.

“Gue nggak kenapa-kenapa sama tuh anak,” jawab Rintarou.

“Jangan bohong gue bilang!” tukas Atsumu. “Gue paham ya sekarang, lo mau ngomong sama gue tapi klo ada Semi, lo bakal pura-pura nggak kenal sama gue. Lo ngindarin Semi? Tapi kenapa lo ikutan ngindarin gue juga?” tanya Atsumu.

“Tsum, pelan-pelan ngomongnya elah!” ucap Osamu menepuk pelan pundak saudaranya.

“Diem ah! Gue udah habis sabar diperlakukan gitu sama lo, Rin! Klo lo ada masalah sama Semi, ya jangan gue dibawa-bawa padahal gue nggak tau apa-apa!” tukas Atsumu. Rintarou menghembuskan napas pelan. Sepertinya dia harus bercerita kepada kembar di depannya ini.

“Gue emang pernah ada masalah sama Semi. Itu udah lama juga.” Rintarou akhirnya bercerita.

“Masalah apa?” tanya Osamu.

“Bakal percaya nggak klo gue bilang, Semi itu mantan pacar gue waktu SMA dulu?” tanya Rintarou menatap kedua sahabatnya.

“HAH? SERIUSAN LO?” tanya Atsumu heboh.

“Kalem, bego! Ini perpus!” seru Osamu memukul pelan kepala Atsumu.

“Gue kaget, anjir!” tukas Atsumu. “Lo seriusan pernah pacaran sama Semi?” tanya Atsumu.

Osamu ikut mengangguk, “kok kita nggak tau?” tanyanya.

“Karena kita emang nggak pernah terang-terangan bilang. Toh itu juga cuma jalan sebulan,” jawab Rintarou. “Semi juga brengsek waktu itu, dia pacaran sama gue buat menang taruhan doang.”

“HAH, AN—”

“Berisik, bego!” tukas Osamu menutup mulut Atsumu dengan tangannya sebelum kembarannya itu kembali berteriak. “Maksudnya dia pacaran sama lo nggak serius?” tanya Osamu.

Rintarou mengangguk, “gue cuma bahan taruhan. Awalnya gue nggak tau, gue setuju aja klo misalnya kita backstreet. Ternyata setelah sebulan Semi baru ngaku klo ngajak pacaran karena taruhan doang. Makanya juga gue nggak cerita ke siapa-siapa.” Cerita Rintarou.

“Tunggu! Jadi, pas SMA dulu waktu lo lagi kayak galau-galau gitu ... itu lo habis putus sama Semi?” tanya Atsumu. Rintarou mengangguk.

“Semesta emang gokil amat, sih. Pas gue keterima di sini, Semi juga di sini,” ucap Rintarou.

“Trus lo gimana habis itu? Gue satu band sama dia jadi nggak enak sama lo,” ucap Atsumu.

“Gue udah biasa aja, sih.”

“Nah trus klo udah biasa aja, kenapa sekarang jadi kayak ngindarin Semi lagi? Apa jangan-jangan ada hubungannya sama malem itu, ya?” tanya Atsumu.

Rintarou menghela napas sejenak. “Gue dibawa balik ke apartemen dia waktu itu—nggak usah mikir macem-macem!” tukas Rintarou sebelum Atsumu berbicara, “kita nggak ngapa-ngapain. Gue yakin itu. Pas gue mabuk kayaknya gue juga nggak sengaja nonjok Semi. Pipi dia biru-biru pas paginya,” sambung Rintarou.

“Oh, tau, tau. Waktu itu kayaknya gue juga tanya pipi Semi kenapa biru gitu, dia bilangnya jatuh. Itu lo yang nonjok?” tanya Osamu. Rintarou mengangguk.

“Masalahnya tuh waktu gue mabuk, gue nggak tau ngomong apaan aja ke Semi. Gue cuma inget samar-samar dan gue malu sendiri klo inget itu,” cerita Rintarou, “pas baliknya Semi nganterin gue, dia tiba-tiba bilang klo dia masih suka sama gue dan pengen ngomongin ini lagi klo gue mau,” sambung Rintarou.

“Bukannya ngomongin baik-baik, lo malah menghindari gitu yee. Pinter bener, Tuan Muda.” Atsumu berucap sarkas.

“Lo belum siap ngomongin soal ini lagi sama Semi?” tanya Osamu.

“Gue bingung,” balas Rintarou.

“Mending lo omongan cepet-cepet, deh!” tukas Atsumu. “Sekarang gue tau kenapa Semi akhir-akhir ini sering nggak fokus waktu latihan. Ternyata lo biangnya,” ucap Atsumu.

“Hah?”

“Iyeee, tuh anak kayak nggak semangat banget waktu latihan, padahal biasanya dia yang paling semangat buat latihan band,” jelas Atsumu. “Gue nggak masalah klo misalnya dia patah hati trus main masih bagus, lah ini? Udah sering gagal fokus dia,” sambung Atsumu.

“Itu kejadian udah lama juga, kan? Lo masih nggak siap ngomong sama Semi emangnya? Kasian Semi juga kayak digantungin sama lo,” ucap Osamu.

Rintarou terdiam setelah mendengar ucapan Osamu. Apa yang Osamu katakan memang ada benarnya, Rintarou jadi seperti memberikan harapan palsu pada Eita jika tidak cepat memberikan kejelasan pada pemuda itu.

“Gue nggak maksa lo buat buru-buru ngomong sama Semi juga. Tapi beneran, lo kudu omongin itu berdua sama anaknya. Band kita bentar lagi juga bakal perform di restoran gede yang bakal buka itu, gue nggak mau aja, sih, perform kita nggak maksimal karena Semi yang masih galau,” jelas Atsumu.

Rintarou masih diam. Apakah ia sudah siap untuk membicarakan hal tentang mereka lagi berdua dengan Semi Eita?

•••

Rintarou akhirnya memantapkan hati. Satu minggu setelah perbincangannya dengan sahabat kembarnya, akhirnya ia setuju untuk menemui Eita.

Rintarou memutuskan untuk menemui Eita disalah satu taman kota. Ingin mencari suasana baru. Jika biasanya orang-orang bertemu di mall, kafe, restoran atau semacamnya ... Rintarou ingin yang sedikit berbeda, bertemu di taman terbuka.

Rintarou sampai di taman itu lebih dulu daripada Eita. Eita baru saja memberi kabar jika kelasnya selesai lebih lama dari biasanya, maka dari itu ia sedikit terlambat. Rintarou tidak keberatan menunggu, sekalian berusaha mempersiapkan hati agar ia bisa lebih tenang untuk berhadapan dengan Eita nanti.

Sorry, lama, ya?” suara Eita tiba-tiba begitu dekat di telinga Rintarou.

Bisa gila! Batin Rintarou berteriak. Seperti biasa, Eita selalu tampil modis dan semakin memperlihatkan betapa tampannya pemuda itu, termasuk di mata Rintarou.

“Nggak apa-apa,” balas Rintarou. Keduanya kemudian diam, masih enggan untuk memulai pembicaraan.

“Ri—”

“Se—”

“Lo aja dulu,” ucap Rintarou ketika tanpa disengaja mereka hampir berbicara bersamaan.

“Lo aja,” ucap Eita.

“Lo aja. Gue dengerin aja dulu,” balas Rintarou.

Eita diam lagi sebelum akhirnya duduk menghadap Rintarou yang ada di sebelahnya. “Gue minta maaf—”

“Lo udah minta maaf berkali-kali!” potong Rintarou.

Eita menggeleng. “Nggak. Gue bener-bener minta maaf sama lo. Gue dulu emang bener jahat banget sama lo. Udah mainin lo, deketin lo seenaknya, jadiin lo bahan taruhan, bikin lo sakit hati dan ninggalin lo gitu aja. Gue bener-bener minta maaf!” tukas Eita menunduk.

“Waktu itu gue emang masih remaja labil yang masih bingung sama perasaan gue sendiri. Gue mikir banget sejak kita putus waktu itu. Gue seneng ngabisin waktu sama lo, gue suka waktu lo manja-manja ke gue, gue suka perhatian kecil lo ke gue, gue seneng gue bahagia. Tapi karena gue masih mikir ‘ah ini cuma bercanda’, gue jadi nyakitin lo pada akhirnya.” Eita menatap mata Rintarou, mereka saling bertatapan cukup lama sampai akhirnya Eita dengan berani mengambil telapak tangan Rintarou dan menggenggamnya. Rintarou mencoba menarik tangannya, namun Eita lebih erat menggenggam tangan Rintarou.

“Rasa bersalah terus ada setelah kita putus dan lo yang nggak mau berhubungan lagi sama gue. Gue terus kepikiran sama lo, gue galau ... sampai akhirnya gue sadar. Sebulan waktu kita itu cukup bikin gue tanpa sadar suka sama lo. Tapi karena gue bego waktu itu, gue labil, gue milih buat denial dan ninggalin lo gitu aja dengan alasan paling bikin muak pula. Sejak kita putus, gue jadi lebih sering kepikiran soal lo, diem-diem ngeliatin lo, diem-diem kepo sama apapun yang lo lakuin setelah lo nggak sama gue lagi.”

“Tapi karena gue bego, Rin. Gue pengecut ... gue sama sekali nggak berani minta maaf ke lo. Gue milih diem sampai rasa ini bikin gue tersiksa sendiri. Gue bego, karena gue sayang sama lo tapi gue lepasin lo gitu aja.”

“Gue nggak mau bohong lagi, Rin. Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo sejak saat itu. Cuma lo yang ada di hati gue dan setiap hari gue cuma bisa berharap bisa perbaikin hubungan kita ini. Setidaknya, gue pengen lo maafin gue.”

Rintarou jelas tidak tahu apa yang harus ia katakan. Berbagai kata yang sebelumnya sudah ia rangkai apik dalam imajinya tiba-tiba menguap entah ke mana setelah mendengar apa yang Eita ucapkan kepadanya.

Eita masih sayang gue? Batinnya merongrong.

“Lo ... bener masih sayang sama gue?” tanya Rintarou akhirnya.

Eita mengangguk. “Gue masih sayang banget sama lo!” Tegas Eita. “Gue ngikut daftar di kampus kita bukan tanpa alasan. Karena lo. Gue nggak nyerah meskipun gue gagal dijalur undangan dan jalur tes bersama. Sampe akhirnya gue nggak nyangka bisa keterima setelah ikut tes mandiri. Kita emang beda fakultas sama jurusan, tapi gue selalu sempetin waktu buat liat lo.” Eita bercerita. “Udah kayak stalker, ya, guenya,” ucap Eita terkekeh.

“Jadi, iya. Gue masih sayang sama lo, Rin. Sejak kita SMA, gue udah sayang sama lo.” Eita menatap dalam mata Rintarou.

Rintarou menunduk, tidak berani menatap mata Eita lagi. Jantungnya berdetak tidak karuan, ia tidak bisa memungkiri jika ia benar senang jika Eita sayang padanya. Namun kekhawatiran jika Eita hanya main-main juga masih ada dalam perasaannya.

“Rin—” Rintarou terkejut ketika merasakan tangan Eita yang meraba pipinya. Rintarou mendongak, tangan Eita perlahan menjauh dari pipinya. “Sekarang gue pengen tanya, apa bener lo masih sayang sama gue?” tanya Eita.

Bibir Rintarou kelu, tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati, suara hatinya bahkan sudah berteriak-teriak menjawab bahwa iya Rintarou masih sayang Eita.

“ ... ya.”

“Apa?” tanya Eita.

“Iya.” Rintarou memejamkan matanya sebentar, kemudian membukanya lagi dan menatap Eita. “Gue masih sayang sama lo. Ini salah lo yang bikin gue sayang sama lo dan ninggalin gue waktu gue lagi sayang-sayangnya sama lo. Ketemu lo lagi di kampus ini bikin gue susah move on!”

Eita tertawa mendengar ucapan Rintarou. Tangannya semakin menggenggam erat tangan Rintarou, “gue bakal tanggung jawab,” ucapnya.

“Caranya?” tanya Rintarou.

“Gampang!” tukas Eita. “Rin, mau nggak jadi pacar Eita lagi?” tanya Eita.

Rintarou tidak bisa menyembunyikan merah di wajahnya. Ia menutup sebagian wajahnya dengan tangannya yang satunya. “Nggak romantis sama sekali,” ucap Rintarou.

“Oh, jadi mau yang romantis-romantis? Yaudah ayo, mau ke mana kita? Nembak di pantai? Nembak pake coklat sama bunga? Nembak pas dinner romantis? Apa nembak ala-ala alay dibantuin orang banyak pake tulisan ‘will you be mine?’” tanya Eita.

“Nggak! Malu-maluin aja lo nembak begituan!” tukas Rintarou.

“Lah, katanya nembak begini nggak romantis? Dikasih pilihan biar romantis nggak mau,” ucap Eita.

“Udahlah. Nggak!” tukas Rintarou.

“Tapi serius, Rin. Rin mau nggak jadi pacar Eita lagi? Eita tau Eita banyak salah sama Rin, Rin mau ngasih kesempatan lagi buat Eita memperbaiki hubungan kita nggak?” tanya Eita. Ia sangat berharap jika Rintarou akan menerimanya lagi. Kurang ajar dan tidak tahu diri memang. Tapi Eita benar-benar berharap.

“Eita—” senyum Eita langsung merekah ketika mendengar Rintarou memanggilnya dengan nama panggilannya. “—Rin juga masih sayang sama Eita. Rin udah maafin Eita. Rin juga mau jadi pacar Eita lagi—” senyum Eita semakin mengembang, sangat bahagia Rintarou mau menerimanya lagi, “—tapi, klo Eita nyakitin Rin lagi. Liat aja! Rin bakal bales nyakitin Eita lebih-lebih dari waktu Eita nyakitin Rin!”

“Nggak! Janji! Janji nggak bakal nyakitin Rin lagi. Suer!” seru Eita. Ia reflek meraih kedua tangan Rintarou kemudian mengecup punggung tangan Rintarou. Rintarou terkejut, namun Eita seperti tidak peduli. Ia terlalu bahagia Rintarou bersedia kembali padanya.

“Udah! Lepas! Malu banyak orang!” tukas Rintarou.

Eita nyengir, “jadi misalnya klo nggak ada orang, boleh dong minta yang lain?” tanya Eita.

“Mau minta apa emang?” tanya Rintarou.

“Minta sun boleh? Di sini?” Eita menunjuk bibirnya sendiri.

Rintarou kembali memerah, mengangguk kecil. “Boleh. Tapi jangan di sini,” jawabnya.

Eita langsung bersemangat, ia bangkit dari duduknya dan meraih pergelangan tangan Rintarou. “Ayo balik ke apart-ku! Di sana sepi!” tukas Eita menarik Rintarou begitu saja, memaksa Rintarou untuk mengikutinya.

Rintarou hanya bisa diam menurut ke mana Eita membawanya. Hatinya sedang bahagia, bisa kembali bersama orang terkasihnya.

Sama halnya dengan Eita. Dulu Eita memang bodoh sudah menyakiti Rintarou, seseorang yang ia sayangi tanpa ia sadari. Sejak SMA Eita sudah mencintai Rintarou-nya. Namun Eita terlalu bodoh untuk mengakuinya.

Semi Eita dan Suna Rintarou, keduanya telah mencintai sejak lama. Bermula dengan cara yang salah dan berpisah. Namun akhirnya kembali bersama, karena memang begitulah yang namanya cinta.

FIN