finger painting

narasi bagian satu dari Finger Painting, a rinmao short story


Suna Rintarou mengendarai mobilnya dengan kecepatan konstan menuju tempat tujuannya. Salah satu sekolah Taman Kanak-kanak di kota tempat tinggalnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, sudah biasanya menjadi tugas Rintarou untuk menjemput putri kecilnya itu dari tempat penitipan anak yang dikelola oleh Taman Kanak-kanak di mana ia menyekolahkan putrinya.

Mobil Rintarou memasuki halaman sekolah putrinya, pemandangan berbagai macam jenis permainan outdoor langsung menyapa indra penglihatan Rintarou. Kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan putrinya sesaat ia turun dari mobilnya.

“PAPAAAAA!” Rintarou menoleh cepat, tersenyum lebar ketika melihat putri kecilnya yang berlari tidak sabar ke arahnya. Rintarou membentangkan kedua tangannya, siap menerima tubuh putrinya yang biasanya langsung melompat ke gendongannya begitu putrinya itu dekat dengannya.

“HAP!” Rintarou berhasil menggendong putrinya, berputar-putar sebentar hingga membuat putrinya itu tertawa kegirangan. “Halo Princess. Bagaimana hari Princess papa di sekolah?” tanya Rintarou.

“Senanggg! Aya senang bangettt!!” seru Aya. Suna Ayaka—biasa dipanggil Aya oleh orang-orang di sekitarnya. Putri kecil kesayangan Rintarou yang saat ini berusia enam tahun.

“Senang? Apa yang bikin Princess papa ini senang, hmm?” tanya Rintarou lagi.

“Tadi Aya diajarin melukis sama bu guru!” seru Aya bersemangat.

“Melukis? Wah, senang banget, dong, bisa melukis,” ucap Rintarou, “Princess papa pasti bisa melukis, dong, ya!” tukas Rintarou.

“Bisa, dong!” seru Aya membanggakan dirinya. “Tapi, Papa ... tadi bu guru ngajarin melukisnya nggak pakai kuas,” ucap Aya.

Rintarou mengernyit, “nggak pake kuas? Trus pakai apa, dong?” tanyanya.

“PAKAI TANGANNNN!” seru Aya lagi memperlihatkan kedua tangannya, masih terlihat bekas-bekas sedikit cat lukis di tangan putrinya.

Finger painting, Yang, namanya.” Rintarou menoleh ketika mendengar suara lembut yang sangat familiar di telinganya. “Aku tadi kelar kerja agak cepet, jadi sekalian mampir ke sekolah Aya. Lupa nggak ngasih tau kamu,” ucap perempuan itu. Aihara Mao—yang kini berubah nama menjadi Suna Mao, perempuan cantik yang telah menjadi istri seorang Suna Rintarou hampir delapan tahun lamanya.

Finger painting?” tanya Rintarou.

“Iya. Sama-sama melukis kok. Cuma klo melukis biasa kan pakai alat bantu kuas, klo finger painting ya melukisnya pakai tangan langsung. Tuh tangan Aya masih ada bekas-bekas cat lukisnya,” jelas Mao.

“Mama, Mama, tadi udah lihat lukisan Aya, kan?” tanya Aya.

Mao tersenyum mendengar pertanyaan putrinya, “udah, Sayang ... bagus banget!” tukas Mao.

“Papa nggak dikasih lihat?” tanya Rintarou.

“Rahasia! Nanti lihat di rumah aja!” seru Aya tertawa kecil.

“Ihh, Princess, kok main rahasia-rahasiaan sama papa?” tanya Rintarou.

“Buat kejutannya papa nanti!” tukas Aya bersemangat.

Rintarou dan Mao tersenyum mendengar bagaimana bersemangatnya penuturan putri mereka itu.

“Ya udah, karena papa udah nggak sabar pengen lihat lukisan Princess, kita pulang sekarang, ya!” ajak Rintarou. Aya mengangguk-angguk senang. Ia meminta turun dari gendongan Rintarou dan langsung berlari membuka pintu mobil orang tuanya.

“Siap meluncur?” tanya Rintarou begitu dirinya sudah ada di belakang kemudi mobil dan Mao duduk di kursi sebelahnya.

“MELUNCURRRR!” seru Aya senang.

Rintarou mengangguk, menyalakan mesin mobil, menarik tuas hand rem, sembari kakinya menginjak kopling dan gas perlahan. Tidak lama kemudian, mobil keluarga kecil itu sudah meninggalkan sekolah putri mereka.

“Papa, Papa, Aya mau lagi!” seru Aya di tengah perjalanan pulang mereka.

“Mau apa, Princess?” tanya Rintarou melirik putrinya dari spion mobil.

“Aya mau melukis lagi! Melukis yang kayak tadi sama bu guru!” seru Aya.

“Ehh, tapi kita nggak punya alat-alatnya, Sayang,” ucap Mao menoleh ke belakang menatap putrinya.

“Tapi Aya pengen melukis lagi bareng papa sama mama,” ucap Aya sedikit memperlihatkan wajah sedihnya.

“Buat ngelukis gituan butuh apa aja, sih?” tanya Rintarou.

“Ya paling cat lukis aja. Yang aman buat anak dan nggak bikin alergi atau semacamnya,” jawab Mao.

“Yaudah ayo beli!” tukas Rintarou.

“ASIKKK!! BELI, BELI!!” seru Aya senang.

“Yang,” Mao mendelik memperingati Rintarou. Rintarou itu sangat sayang kepada putrinya, saking sayangnya kadang Mao sedikit takut jika Rintarou terlalu memanjakan putri mereka.

“Nggak apa-apa. Aya lagi seneng belajar gitu. Kali aja Aya emang berbakat buat melukis, kan, bisa sekalian latihan,” ucap Rintarou.

Mao menghela napas, hanya bisa pasrah saja. Kali ini Mao setuju-setuju saja, Aya memang sedang dalam masa senang-senangnya belajar hal-hal baru. Termasuk melukis dengan teknik finger painting ini.

Tujuan keluarga kecil Suna akhirnya tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mereka mampir terlebih dahulu ke toko peralatan menggambar untuk mencari apa saja yang diperlukan untuk melukis dengan teknik finger painting.

Lagi-lagi Aya terlihat begitu bersemangat ketika memilih warna-warna cat lukis yang disediakan di toko. Banyak sekali warna yang berbeda dan cantik, kata Aya. Ia ingin membelinya semua jika saja Rintarou tidak melarangnya dan meminta Aya untuk memilih finger painting set yang sudah berisi beberapa warna saja.

tbc