goyah

narasi bagian dua dari True Feelings, an iwaoi story


#iwaoi | 555 words

“Siapa?” Tooru menoleh ke sampingnya ketika mendengar pertanyaan itu. Di sampingnya, Hajime duduk di sofa panjang ruang tengah dengan selimut tebal membungkus tubuh pemuda kekar itu.

“Kurtet.” Tooru menjawab singkat.

“Ngapain?” tanya Hajime.

“Nggak ngapa-ngapain. Ngajak nongkrong doang kayak biasa,” jawab Tooru.

“Nggak ikut lo?” tanya Hajime.

“Terus ninggalin Iwa-chan sendiri dalam keadaan begini?” tanya Tooru malas, “mending gue sama Iwa-chan aja!”

“Gue bukan bocil. Nggak usah sok peduli lo!” tukas Hajime.

Tooru berdecak, sedikit sebal dengan ucapan teman terdekatnya itu, “nggak usah sok keras! Iwa-chan klo nggak ada gue hari ini, demam lo bisa makin parah. Perut lo juga bisa makin sakit karena nggak makan dari semalam!” tukas Tooru.

Hajime ikut berdecak, “lo itu juga punya kehidupan sendiri. Nggak usah dikit-dikit ngintilin gue. Lama-lama males juga diintilin lo mulu. Bahkan pas gue sakit juga masih lo intilin!”

Tooru merasa sakit hati? Jelas. Sedih? Apalagi. Marah? Inginnya begitu tapi Tooru yang tidak bisa marah begitu saja kepada Hajime.

“Iwa-chan mah!! Berterima kasih kek gue udah di sini nemenin Iwa-chan!” tukas Tooru akhirnya.

“Ya, makasih. Tapi gue nggak minta ditemenin sama lo juga padahal,” balas Hajime.

“Ini inisiatif gue karena gue peduli sama Iwa-chan!” tukas Tooru. Tidak ada jawaban dari Hajime setelahnya, dan itu membuat Tooru menghembuskan napasnya pelan. “Ngomong-ngomong Kurtet juga bilang,”

“Bilang apa?”

“Malam tahun baru katanya anak kelas tiga mau bikin party tahun baruan gitu, di rumah Kitashin,” jawab Tooru.

Dahi Hajime tampak berkerut setelah mendengar ucapan Tooru. “Party? Tahun baruan? Di rumah Kitashin?” tanyanya memastikan.

Tooru mengangguk, “heran, kan? Sama gue juga!” tukas Tooru. “Ini Kitashin loh. Murid teladan, berprestasi dan paling lurus-lurus aja di sekolah... tapi mau-mau aja ikut party ginian. Di rumahnya pula!” tukas Tooru.

“Dalam rangka apaan pake ngadain party segala?” tanya Hajime.

“Kata Kurtet, tahun baru tahun depan kita belum tentu bisa kumpul-kumpul gini lagi. Makanya pada inisiatif bikin party gini.” Tooru menjawab. “Jadi? Mau dateng nggak?” tanya Tooru.

“Lihat aja besok gimana,” balas Hajime pendek.

Tooru mengangguk kecil. Pandangannya kembali melirik pada layar ponselnya lagi yang baru saja menampilkan notifikasi baru adanya pesan masuk dari Rintarou.

Tooru tersenyum samar ketika membaca pesan dari adik tingkatnya itu. Tampaknya sedang berbahagia karena cintanya telah terbalaskan. Lagi-lagi Tooru tersenyum, namun kali ini senyum kecut yang bahkan tidak mencapai matanya.

Entah kenapa perasaannya goyah. Melihat bagaimana Rintarou akhirnya resmi mempunyai hubungan spesial dengan Eita sedikit membuat Tooru iri. Rintarou dan Tooru tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama menyukai seseorang yang bisa dikatakan dekat dengan mereka. Rintarou menyukai secara diam-diam, Tooru dengan gamblang menunjukkan rasa sukanya. Namun kenapa hasilnya bisa berbeda? Rintarou bersatu dengan pujaan hatinya, kenapa Tooru tidak bisa mendapatkan kesempatan itu juga? Atau belum?

Tooru mulai goyah. Akankah ia terus menyukai Hajime walaupun pemuda itu tidak memberikan jawaban yang jelas kepadanya? Bisakah Tooru terus mengejar hati Hajime seorang diri tanpa lelah?

“Kenapa lagi lo?” suara Hajime menarik Tooru kembali ke kenyataan. Kepalanya menoleh dan kembali mendapati Hajime yang tengah menatapnya.

“Nggak. Nggak apa-apa,” balas Tooru diiringi gelengan kepala. “Si Suna. Enak ya? Ternyata cowok yang selama ini dia suka, ternyata punya perasaan yang sama,” ucap Tooru tiba-tiba.

Hajime berdecih, “gue udah bisa liat mau Semi apa Suna sama-sama bucin. Dua-duanya aja yang nggak pekaan.” Hajime berkomentar. “Syukur sekarang mereka udah beneran jadi,” sambung Hajime setelahnya.

Tooru terdiam, menatap wajah Hajime.

“Kalau kita?”

“Ha?”

“Kalau kita? Punya kesempatan buat jadi satu nggak?”

tbc