house mate

narasi dari House Mate, a semisuna short story


cw // slight nsfw , kissing , mention of masturbations , vulgar words , m/m , this is just fanfiction

13k words of naration

House Mate

Satu bulan tidak terasa telah terlewati sejak pertama kali Rintarou akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama di rumah kontrakan sosok Semi Eita. Satu bulan sudah Rintarou merasakan beratnya hidup karena dirinya yang ‘dimiskinkan’ oleh kedua orang tuanya. Rintarou tahu apa yang dilakukan oleh orang tuanya itu adalah diakibatkan karena kesalahannya, tapi jujur saja ia sedikit kesal karena banyak fasilitas yang dulu diberikan oleh orang tuanya kini tidak bisa Rintarou miliki lagi.

Rintarou sangat-sangat berterima kasih kepada Eita karena sudah berbaik hati membantu Rintarou selama satu bulan ini mereka tinggal bersama. Eita sama sekali tidak meminta bayaran kepada Rintarou karena Rintarou sudah tinggal di kontrakannya. Eita hanya meminta Rintarou untuk sesekali membantu membersihkan kontrakan mereka. Biaya sewa, WiFi, bahkan belanja bulanan sudah ditanggung oleh Eita. Rintarou sudah mendapatkan semua bagian enaknya. Eita bahkan dengan murah hati bersedia mengantarkan ke mana pun Rintarou pergi, menjemput Rintarou ke kampus, pun Eita pernah mengantarkan Rintarou pergi ke tongkrongannya bersama teman-temannya.

Eita bagaimana sosok malaikat tidak bersayap yang akan siap sedia membantu Rintarou disaat Rintarou membutuhkan.

Satu bulan nampaknya menjadi waktu yang cukup bagi Rintarou untuk mengenal sosok Eita. Pemuda itu begitu baik kepada Rintarou — jelas sekali Rintarou paham — dan Rintarou sungguh berterima kasih. Satu bulan tinggal bersama juga nampaknya membuat Rintarou hapal beberapa kebiasaan Eita yang terkadang membuat Rintarou tidak habis pikir.

Eita itu cukup unik, menurut Rintarou, melihat dari beberapa kebiasaan yang Eita lakukan selama ini. Eita selalu tidur dalam keadaan setengah bugil, biasanya ia hanya mengenakan kolor pendek saat tidur. Hal itu cukup sering membuat Rintarou terkejut dipagi harinya karena harus melihat pemandangan Eita yang bangun tidur masih setengah sadar berjalan menuju dapur dalam keadaan setengah bugil memamerkan abs yang — kadang — membuat Rintarou tergoda untuk menyentuhnya.

Pada akhirnya Rintarou hanya bisa membuang muka ketika melihat Eita dalam keadaan setengah bugil itu dipagi hari. Rintarou dengan keadaan malu kemudian meneruskan memasak sarapan untuk mereka berdua.

Eita? Sebenarnya Eita sengaja. Tidur bertelanjang dada itu bukanlah kebiasaan Eita. Ia melakukan itu hanya sejak Rintarou tinggal bersamanya. Sengaja menggoda Rintarou dengan memperlihatkan perut ‘kotak-kotak’nya itu kepada Rintarou. Melihat reaksi Rintarou yang terkadang malu-malu membuat Eita gemas sendiri melihatnya.

Tentu saja Rintarou tidak mengetahui tentang keberadaan tersebut.

Eita itu maniak kopi. Setiap pagi, dibandingkan dengan sarapan, Eita lebih sering meminum kopi. Sangat berbeda dengan Rintarou yang harus sarapan dan anti dengan kopi. Pun demikian Rintarou tetap tidak protes ketika ia harus membuatkan secangkir kopi pagi untuk Eita. Dan perlahan, Eita yang biasanya tidak pernah sarapan, ia menjadi rutin sarapan karena Rintarou yang selalu cerewet mengatakan betapa pentingnya sarapan sebelum memulai berkegiatan.

Eita itu tampan — Rintarou sebagai lelaki pun mengakuinya. Eita terlihat semakin tampan di mata Rintarou ketika pemuda itu memainkan senar gitar hingga menghasilkan bunyi melodi yang menjadi candu untuk pendengaran Rintarou.

“Lo anak band ya?” tanya Rintarou pada suatu hari.

Eita mendongak menatap Rintarou. “Iya. Kapan-kapan nonton gue dong bareng temen gue manggung.”

Dan Rintarou bersumpah; sejak pertama kali melihat Eita bernyanyi di atas panggung dan memainkan gitar, Rintarou serasa seperti anak gadis yang baru saja jatuh cinta.

Eita sadar, perlahan tapi pasti, ia bisa membuat Rintarou jatuh kepadanya.

Eita seperti bodyguard Rintarou, teman-teman mereka yang sering mengatakan itu. Eita itu akan selalu siap sedia di mana pun dan kapan pun Rintarou membutuhkannya. Pun hanya Eita yang mau rela mengantarkan Rintarou ke mana pun Rintarou pergi. Eita juga tampak tidak akan tinggal diam saat Rintarou diganggu oleh orang lain.

Eita suka memakan permen berperisa strawberry. Rintarou tahu karena ia bisa melihat banyaknya sampah bungkus permen di rumah kontrakan Eita saat pertama kali ia menginjakkan kaki di kontrakan itu.

Sebuah fakta mengejutkan Rintarou dapatkan dari teman Eita. Dulunya Eita adalah perokok aktif pada saat masih usia SMA. Namun sejak awal masuk perkuliahan, tiba-tiba saja Eita berhenti merokok entah apa alasannya.

Rintarou kemudian membuat hipotesisnya sendiri, mungkinkah kebiasaan Eita memakan permen strawberry itu sebagai ganti karena Eita tidak pernah merokok lagi?

Eita tidak suka buah melon, menurutnya buah itu sama sekali tidak ada rasanya. Terasa hambar di lidah Eita. Pernah satu kali Rintarou mengajak Eita membeli sup buah dan Eita memberikan semua potongan melon dalam mangkuknya kepada Rintarou.

Banyak sekali hal tentang Eita yang Rintarou ketahui sejak ia mulai tinggal bersama Eita. Bahkan hal yang sedikit tabu pun Rintarou mengetahuinya. Contohnya seperti, Rintarou yang tidak sengaja pernah melihat Eita melakukan onani di kamarnya namun sepertinya pemuda itu lupa menutup pintu kamar dan lupa jika saat ini Rintarou juga tinggal di rumah kontrakan itu. Rintarou melihat dengan jelas bagaimana tangan Eita melalukan gerakan naik-turun memuaskan penis miliknya sendiri.

Suara desahan Eita yang terdengar keenakan masih terngiang di telinga Rintarou, bahkan setelah satu minggu kejadian itu berlalu. Rintarou bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa dipagi harinya, ia benar-benar merasa malu dan berdosa karena sudah memergoki Eita yang sedang memuaskan dirinya sendiri. Tapi berbeda dengan Eita yang tampak terlihat biasa-biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa.

Rintarou menjadi salah tingkah sendiri yang mengakibatkan dirinya tidak sengaja menjatuhkan gelas kaca hingga pecahan gelas itu melukai jarinya saat Rintarou berusaha membersihkannya.

“Muka lo kenapa aneh gitu?” tanya Eita sesaat selesai mengobati luka di jari Rintarou.

Rintarou menggeleng cepat. “Nggak apa-apa.”

“Yakin? Nggak sakit?” Eita menempelkan punggung tangannya pada kening Rintarou.

Rintarou terkejut, reflek menjauhkan kepalanya kemudian berdiri dengan kikuk.

“Gue udah nggak apa-apa. Gue mau siap-siap dulu.” Dan kemudian Rintarou berlari terbirit-birit menuju kamarnya.

Eita terkekeh. Masih usil. Eita sengaja membuka pintu kamarnya ketika ia memuaskan dirinya sendiri malam itu hanya agar Rintarou bisa mendengar jelas suara desahan Eita yang mendesahkan nama teman serumahnya.

Malam itu Rintarou terbangun dari tidur nyenyaknya. Jarum jam masih menunjukkan pukul dua pagi ketika Rintarou tiba-tiba merasakan kering di tenggorokan. Rintarou memutuskan untuk bangun dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya terhenti ketika ia melewati pintu kamar Eita.

Jantung Rintarou berdebar cepat. Samar-samar Rintarou kembali mendengar suara laknat yang sempat menghantuinya minggu lalu. Rintarou membungkam mulutnya sendiri. Tubuhnya mendadak kaku, susah untuk ia gerakkan. Rintarou diam berdiri tepat di depan pintu kamar Eita. Rasa haus yang sebelumnya ia rasa mendadak pergi begitu saja.

Cukup lama Rintarou berdiri mematung. Detik kemudian Rintarou langsung berbalik badan, terburu-buru masuk menuju kamarnya kemudian mengunci pintu kamar.

Tubuh Rintarou merosot jatuh ke lantai. Jantungnya masih berdebar tidak karuan. Rintarou tidak percaya ini. Entah kenapa rasanya Rintarou ingin menangis. Wajahnya terasa semakin panas. Rintarou jelas mendengar Eita mendesah memanggil namanya.

Sejak kejadian malam itu, Rintarou sebisa mungkin bersikap normal. Namun rasanya sangat sulit baginya. Pagi-pagi sekali Rintarou sudah bangun dari tidurnya. Rela berangkat ke kampus lebih pagi dari biasanya demi menghindari Eita. Selalu mencoba mencari alasan agar tidak berada di ruangan yang sama dengan Eita terlalu lama.

Eita bukan orang bodoh yang tidak menyadari perubahan sikap Rintarou akhir-akhir ini. Eita selalu terbangun dipagi hari dengan suasana rumah kontrakan yang sepi. Sarapan dan kopi sudah tersedia di atas meja namun ia tidak melihat keberadaan Rintarou dalam rumah itu. Sepulang dari kampus Rintarou langsung masuk ke dalam kamarnya dan enggan keluar kamar bahkan untuk makan malam. Sudah makan di luar, kata Rintarou setiap kali Eita mengajak Rintarou makan malam bersama.

Entah sudah berapa hari Eita menyadari bahwa Rintarou seperti benar-benar menghindarinya. Rintarou bahkan tidak pernah lagi menatap wajah Eita ketika mereka berbicara.

Eita berang. Tentu saja, siapa yang tidak berang ketika dijauhi oleh seseorang yang disukainya? Ia sudah berusaha membuat Rintarou menyukainya, namun sekarang justru pemuda itu berusaha menghindarinya.

Maka malam itu Eita menyusun rencana. Bermaksud meminta penjelasan kepada Rintarou kenapa pemuda itu menghindarinya.

Rintarou tiba di rumah sekitar pukul tujuh. Ini salahnya, jika saja Rintarou tidak sedang dalam misi menghindari Eita, ia bisa meminta Eita untuk mengantar dan menjemputnya seperti biasa, sehingga ia tidak akan terlalu larut malam sampai di rumah setelah berkegiatan.

Rintarou berjalan memasuki rumah kontrakan mereka tanpa adanya rasa curiga. Membuka pintu rumah kemudian menutupnya kembali, tidak lupa melepaskan sepatu yang ia kenakan kemudian meletakkan sepatunya di rak sepatu dekat pintu.

Namun begitu berbalik badan, Rintarou benar-benar terkejut karena mendapati Eita sudah ada di belakangnya.

“Hah! Ngagetin aja lo!” tukas Rintarou mengelus dadanya pelan.

“Lo ngapain di situ? Ini juga kenapa lampu belum dinyalain?” tanya Rintarou lagi.

Sama sekali tidak ada jawaban dari mulut Eita.

“Sem? Lo kenapa diem aja? Jawab kek!” tukas Rintarou.

Rintarou berdecak kecil. Ia hampir saja berjalan melewati Eita ketika tiba-tiba Eita meraih kedua bahu Rintarou dan membanting tubuh Rintarou pada pintu.

Rintarou memekik terkejut. Bahu dan punggungnya pun juga terasa sakit karena impact bertubrukan dengan pintu.

“Apa-apaan sih lo, Sem!?” pekik Rintarou marah.

Rintarou berdesis pelan ketika merasakan cengkeraman tangan Eita pada bahunya. Rintarou terkejut ketika tiba-tiba wajah Eita mendekat pada wajahnya.

“Se-Sem?” Rintarou terbata.

“Lo jauhin gue.”

Rintarou diam, mencoba mencerna apa yang diucapkan oleh Eita.

“Lo jauhin gue?” tanya Eita kali ini.

Rintarou menggeleng cepat, “jauhin gimana? Gue nggak jauhin lo!” tukasnya.

“Nggak usah pura-pura!” tukas Eita semakin menekan cengkeraman tangannya pada bahu Rintarou.

“Aaa-aah Sem, sakit!” rengek Rintarou.

“Jawab gue! Lo jauhin gue?” tanya Eita lagi. “Iyakan!?”

Rintarou tidak berani menjawab. Sorot mata tajam Eita yang ditujukan kepadanya membuat nyali Rintarou ciut. Ia takut jika ia salah menjawab, Eita akan semakin marah.

“Punya mulut buat apa? Ayo ngomong!” tukas Eita.

Rintarou kembali menggeleng cepat.

“Lo tuh bener-bener ya!” desis Eita menatap Rintarou yang sudah berkaca-kaca di depannya.

Eita memajukan wajahnya. Menabrakkan bibirnya pada bibir Rintarou. Rintarou yang tidak menyangka Eita akan melakukan hal itu hanya bisa diam mematung karena terkejut. Tidak lama kemudian Rintarou bisa merasakan sesuatu yang basah di bibirnya, Eita mulai melumat bibirnya, beberapa kali memaksa Rintarou untuk membuka mulutnya namun Rintarou menolak.

Eita tidak menyukai penolakan, maka dari itu ia sengaja menggigit bibir bawah Rintarou hingga Rintarou memekik terkejut dan reflek membuka mulutnya.

Kesempatan tidak datang dua kali, dengan cepat Eita langsung memasukkan lidahnya ke dalam mulut Rintarou. Mempertemukan daging tak bertulang itu dalam mulut Rintarou. Beberapa kali Rintarou mencoba melepaskan ciuman Eita, namun tentu saja Eita tidak membiarkannya.

Hingga desahan samar-samar terdengar dari mulut Rintarou, Eita tersenyum bangga. Suara desahan Rintarou bagai suara paling indah yang ingin sekali ia dengar.

Eita melepaskan ciuman mereka begitu merasakan ia juga butuh oksigen untuk bernapas. Eita menatap wajah Rintarou, tampak kacau hanya karena sebuah ciuman. Bibir yang terlihat membengkak juga lelehan air liur dari sudut bibir Rintarou serta ekspresi wajah yang menggoda. Cantik. Sangat cantik. Eita lantunkan banyak pujian dalam hatinya.

“Gue tanya sekali lagi.” Eita bersuara. “Lo jauhin gue?” tanya Eita lagi.

Rintarou sudah tidak mempunyai nyali untuk berbohong, maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk kecil.

“Kenapa?” tanya Eita.

Rintarou tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, bingung harus menjawab apa. Ia tidak mungkin mengatakan dengan jujur bahwa alasan Rintarou menghindari Eita karena Rintarou memergoki Eita melalukan onani dan mendesahkan nama Rintarou.

“Jawab atau gue cium lo lagi!” Eita kembali memajukan wajahnya, berniat kembali melumat bibir Rintarou. Namun Rintarou lebih cepat menolehkan wajahnya ke samping hingga Eita hanya bisa mencium pipinya.

“Gue ma-malu.” Suara Rintarou terdengar lirih.

Eita mengernyit bingung, “malu kenapa?” tanyanya. Eita meraih dagu Rintarou, membuat Rintarou juga menatapnya. “Kenapa malu?” tanya Eita sekali lagi.

Rintarou rasanya ingin menangis. Kenapa Eita begitu memaksanya menjawab pertanyaan itu?

“Gu-gue li-liat lo.”

“Liat gue kenapa?”

Rintarou mengigit bibir bawahnya. Haruskah ia berkata jujur?

“Li-liat lo la-lagi itu.”

Eita mengernyit tidak mengerti, “itu? Ngapain?” tanya Eita masih terus bertanya.

“Y-ya, itu! Gue ngeliat lo lagi gitu terus...”

Eita menunggu.

“Lo de-desah.” Suara Rintarou semakin hilang.

Eita terdiam cukup lama. Sampai akhirnya ia tersenyum lebar — lebih tepatnya menyeringai — menatap Rintarou. Ah, ternyata ini penyebabnya.

Eita mendekatkan wajahnya pada telinga Rintarou, kemudian meniupnya pelan. Hal tersebut benar membuat Rintarou terkejut, rasa merinding langsung terasa ketika merasakan sensasi geli saat Eita sengaja meniup telinganya.

“Gue sengaja.”

Jantung Rintarou rasanya berhenti untuk sesaat. Apa maksudnya dengan Eita yang sengaja itu?

“Gue lagi bayangin punya gue dijepit sama lubang lo.” Eita berbisik tepat di telinga Rintarou.

Rintarou memekik terkejut ketika tiba-tiba tangan Eita dengan kurang ajarnya meremas gemas pantatnya.

“Gue udah lama suka sama lo. Lo pikir buat apa gue rela nawarin kontrakan kalau bukan karena itu lo yang nyari? Dan lo pikir gampang buat gue nahan-nahan gini? Serumah sama lo tapi nggak bisa make lo?”

Rintarou bisa merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Mendengar apa yang diucapkan oleh Eita membuat tubuh Rintarou entah kenapa ikut terasa panas.

Rintarou merasakan sesuatu yang berat menimpa bahunya. Eita menjatuhkan kepalanya di bahu Rintarou.

“Gue udah nggak tahan, Sun.” Eita berucap, hampir mendesah.

Rintarou yang tidak mengerti apa maksud Eita hanya bisa terdiam.

“Lo suka sama gue nggak?” tanya Eita yang kini kembali menatap wajah Rintarou.

Bingung harus menjawab apa. Jika boleh jujur, Rintarou menyukai Eita, sejak mereka mulai tinggal bersama. Rintarou menyukai bagaimana Eita memperlakukannya, menyukai bagaimana perhatian Eita kepadanya, menyukai bagaimana Eita terlihat tidak suka apabila Rintarou dekat dengan teman lelakinya. Rintarou menyukai segala hal tentang Eita.

Anggukan kecil dari Rintarou bagai lampu hijau untuk Eita. Eita tersenyum lebar menatap Rintarou yang tampak malu-malu.

“SEM!! MAU APA LO!” teriak Rintarou terkejut ketika tiba-tiba Eita membopong tubuhnya layaknya membopong seorang putri.

“Bawa lo ke kamar.”

Rintarou terkejut. “Ma-mau apa?” tanyanya gugup.

Ngewelah. Apa lagi?”

Rintarou bersumpah, ia sudah berusaha sekuat tenaga menghindari Eita namun hasilnya nihil. Pada akhirnya Rintarou hanya bisa pasrah ketika Eita kembali membawanya ke kamar pemuda itu dan melalukan hal tidak senonoh pada tubuhnya.

Aneh bagi Rintarou. Ia sama sekali tidak merasa keberatan. Rintarou justru berkali-kali mendesahkan nama Eita di bawah kungkungan pemuda itu.

Dua pemuda itu memang gila. Gila karena cinta di antara keduanya.

—FIN