kabar tak terduga

narasi bagian tiga puluh delapan dari Dua Sisi, a Suna Rintarou harem story


Satu minggu sudah terlewati begitu saja sejak Rintarou mengetahui bahwa hubungan ayahnya dan Tooru mulai membaik. Keduanya cukup sering bertemu untuk membahas masalah kerja sama perusahaan mereka, itu yang Tooru katakan kepada Rintarou.

Rintarou awalnya keheranan. Bagaimana tidak? Sebelumnya ayahnya sangat menentang sekali keberadaan Tooru sejak pemuda itu melamarnya beberapa waktu yang lalu. Namun sekarang ayahnya terlihat biasa saja setiap kali mengetahui Rintarou sedang bersama Tooru. Mungkinkah itu hanya profesionalisme ayahnya yang bekerja sama dengan perusahaan milik orang tua Tooru?

Satu minggu berlalu juga, hubungan antara Rintarou dan teman-temannya yang lain semakin membaik pula. Meskipun terkadang Rintarou masih merasa kesal ketika beberapa temannya itu terus bertanya kepadanya kapan ia akan kembali menjadi sosok Nana.

Siang ini Rintarou tidak bisa ke mana-mana. Seusai jadwal kuliahnya tadi, Osamu langsung menyeret Rintarou untuk ikut bersamanya. Ternyata Osamu memang sudah berjanji akan membawa Rintarou nongkrong bersama beberapa teman lainnya.

Tidak bisa dibohongi, Rintarou merindukan masa-masa ini. Ketika ia masih bisa bersikap biasa saja ketika ikut berkumpul bersama teman-temannya tanpa ditatapi layaknya ia adalah mangsa di antara para predator.

Berbagai obrolan tidak penting menjadi bahan obrolan mereka. Termasuk pertanyaan apakah benar Rintarou menjalin hubungan spesial dengan sosok Oikawa Tooru yang belakangan ini banyak menyita waktu Rintarou bersama temannya. Rintarou menjawabnya santai, bahwa memang benar sekarang ia berpacaran dengan Tooru.

Rintarou bisa melihat ekspresi kecewa di wajah teman-temannya. Namun tidak terlalu dipikirkannya. Rintarou tahu teman-temannya itu kecewa bukan karena cinta mereka tidak terbalas oleh Rintarou, namun kecewa karena kesempatan untuk melihat Nana akan semakin menjauh.

“Mending pacaran sama gue beneran!” tukas Atsumu tiba-tiba.

“Dih, masih aja lo!” Osamu melempar wajah kembarannya dengan kulit kacang yang ada di depannya.

“Anjir lo!” Atsumu memaki, menatap kesal sosok yang memiliki wajah serupa dengannya itu.

“Gue yang ganteng ini aja ngajak balikan nggak diterima. Apalagi lo?” Eita menatap remeh kepada Atsumu.

“Mending lo diem aja! Lo tuh nggak diajak!” tukas Atsumu.

“Tapi serius, Sun! Lo jadian sama Oik kenapa? Sebagus apa dia ampe lo mau aja jadian sama dia?” tanya Tetsurou penasaran.

Rintarou diam berpikir, ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa setuju saja berhubungan dengan Tooru. Cinta memang datang tiba-tiba dan tanpa bisa dicegah, bukan?

Namun jelas sekali, Rintarou tidak akan mengatakan kepada teman-temannga jika salah satu alasan ia menerima Tooru karena Tooru yang sangat berani melamarnya di depan kedua orang tuanya.

“Ya gitu dah,” jawab Rintarou pendek.

“Tapi semisal nih si Oikawa ini nggak dateng ke sini. Di antara kita semua, lo mau pacaran sama siapa?” tanya Kiyoomi penasaran.

Rintarou mengernyit, “pede amat gue mau pacaran sama lo pada?” tanya Rintarou.

“Kan semisal!” Atsumu ngegas.

Rintarou menatap satu persatu temannya yang ada di situ. Eita, Tetsurou, Kiyoomi, Osamu, Atsumu, dan Wakatoshi.

“Kak Ushi kali ya.”

Jawaban Rintarou jelas membuat Wakatoshi yang sedang minum langsung tersedak. Ia menatap Rintarou dengan tatapan terkejut. Berbeda dengan respon beberapa teman lainnya yang langsung menertawakan Wakatoshi yang tiba-tiba salah tingkah.

“Suna, jangan main-main. Saya bisa ge-er.” Wakatoshi berkata begitu bisa mengendalikan dirinya.

Rintarou hanya terkekeh kecil melihat sosok Wakatoshi yang biasanya terlihat serius menjadi salah tingkah seperti itu.

“Lo nggak milih gue gitu? Gue udah berharap padahal!” tukas Atsumu.

“Makanya nggak usah kebanyakan berharap!” komentar Kiyoomi.

Rintarou tersenyum kecut. Sejak awal, ia memang tidak ada niatan untuk memilih Atsumu. Sejujurnya ia sedikit risih dengan polah Atsumu yang masih sering berusaha mendekatinya.

Ponsel dalam saku celananya tiba-tiba bergetar. Rintarou buru-buru mengambil ponselnya. Takut-takut jika ternyata Tooru yang menghubunginya dan sudah menunggunya.

Papa

Makan malam di rumah hari ini. Ada yg ingin papa bicarakan!

Rintarou mengernyit heran. Apa yang tiba-tiba ayahnya ingin bicarakan? Dan lagi, ayahnya mengajaknya makan malam bersama di rumah. Sejujurnya itu membuat Rintarou sedikit curiga. Kesibukan ayahnya sedari dulu membuat keluarga mereka jarang sekali bisa berkumpul makan bersama. Dan jika ayahnya mengatakan untuk makan malam bersama, mungkinkah ada sesuatu yang penting yang ingin ayahnya bicarakan dengannya?

“Kenapa, Sun?” tanya Eita ketika melihat Rintarou terdiam setelah membaca pesan yang diterimanya.

“Eh? Nggak!” Rintarou menggeleng.

“Pacar lo udah jemput?” tanya Kiyoomi.

Rintarou kembali menggeleng, “bukan.” Rintarou lantas kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia mengeluarkan uang kemudian menaruhnya di atas meja. “Nih, bayar makanannya pake uang gue aja!” tukasnya.

“Lah? Kenapa? Santai aja kita bayar sendiri-sendiri aja!” tukas Tetsurou.

“Nggak apa-apa. Anggap aja traktiran karena gue jarang nongkrong bareng lo pada,” ucap Rintarou.

“Lah lo sendiri mau ke mana?” tanya Osamu yang melihat Rintarou bangkit dari duduknya.

“Gue ada urusan di rumah. Gue mau balik,” jawab Rintarou.

“Bersama orang tua kamu?” tanya Wakatoshi.

Rintarou mengangguk, “udah, ya, gue duluan kalo gitu!” tukas Rintarou kemudian berjalan pergi meninggalkan teman-temannya.

***

Rintarou dibuat tidak mengerti ketika ia sampai di apartemennya, tiba-tiba Tooru ikut masuk ke dalam apartemennya dan mengajak Rintarou untuk mencari setelan jas yang hampir serupa. Rintarou semakin tidak mengerti bahwa ternyata ayahnya tidak hanya meminta dirinya pulang ke rumahnya, namun ia juga mengirimkan pesan yang serupa kepada Tooru.

Maka karena itulah Tooru mengajak Rintarou untuk mencari setelan jas yang serupa dengannya. Mereka layaknya pasangan jika mengenakan jas itu dalam waktu yang sama.

Malamnya, Rintarou benar-benar pulang ke rumahnya. Bedanya, kali ini ada Tooru yang juga ikut pulang bersamanya. Ibunya menyambut kedatangan keduanya dengan senyum yang lebar seperti biasanya. Tidak terlihat rasa canggung atau semacamnya.

Tidak lama kemudian, Rintarou kembali dikejutkan dengan sosok gadis cantik yang sudah lama tidak dilihatnya. Sosok Maisa, adiknya yang sudah beberapa tahun ini hidup di sekolah berasrama dan jarang sekali pulang ke rumah.

“Lo kapan balik?” tanya Rintarou berjalan mendekati adiknya. Ia memeluk tubuh adiknya itu, menyalurkan rasa rindunya pada saudara satunya itu.

“Pagi tadi. Papa yang jemput ke asrama,” jawab Maisa.

“Kenapa tiba-tiba jemput Maisa segala?” tanya Rintarou menatap wajah ibunya.

“Ada yang mau papa bicarakan dengan kalian. Makanya papa sengaja jemput Maisa juga,” jawab sang ibu.

“Sama Oik juga?” tanya Rintarou.

Wanita paruh baya itu mengangguk, “sama kalian semua.”

Rintarou menatap Tooru yang hanya menggelengkan kepalanya. Pertanda jika Tooru juga tidak tahu kenapa ia juga diikutsertakan dalam acara makan malam keluarga Suna.

Sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Sosok kepala keluarga Suna itu berjalan mendekati mereka, memberikan komando untuk mengikutinya menuju ruang makan keluarga. Di atas meja makan nampak jelas berbagai jenis makanan yang sudah tersedia, mulai dari makanan pembuka, makanan utama dan makanan penutup semuanya ada. Entah Rintarou tidak tahu seserius apa ayahnya menyiapkan semua ini.

Makan malam berjalan dengan lancar. Tidak banyak pembicaraan yang dibahas ketika makan malam berlangsung. Mungkin hanya sesekali sang ibu menawarkan makanan ke piring Maisa atau Rintarou, sesekali juga menyuruh Tooru untuk mengambil menu apa yang ia mau tanpa malu.

Sampai akhirnya semuanya selesai makan malam, sosok kepala keluarga Suna itu berdehem cukup keras. Hingga mampu menyita perhatian dari semua orang. “ Ada yang ingin aku bicarakan!” tukasnya. Rintarou mengangguk kecil, begitu juga dengan Tooru.

Tatapan tajam ayah Suna ke arah Tooru mampu membuat Tooru yang tadinya cukup rileks menjadi tegang. Ia menegakkan posisi duduknya, mengangguk kecil ke arah ayah Suna.

“Kau, Oikawa Tooru—”

“Ya, om!” tukas Tooru cepat. Ayah Suna menatap Tooru penuh selidik. “Kau yakin dengan apa yang kau mau beberapa minggu yang lalu?” tanyanya.

Baik Tooru dan Rintarou mengernyit mendengar pertanyaan itu. Tidak tahu apa maksudnya. Melihat ekspresi kebingungan Tooru, ayah Suna berdecak tidak puas.

“Kau—kau yakin ingin menikahi anakku!?” tanyanya.

“HAH? SIAPA YANG MAU NIKAH SAMA KAKAK INI!” itu suara Maisa. Terkejut ketika mendengar pertanyaan ayahnya.

“Maisa, tenang dulu!” tukas sang ibu mengelus pelan pundak putrinya.

“Tapi, Ma, dia siapa? Aku nggak mau nikah sama dia!” tukas Maisa.

Tooru mengernyit mendengar pernyataan adik Rintarou itu.

“Bukan denganmu. Tapi dengan kakakmu itu!” tukas sang ayah akhirnya.

Ekspresi Maisa makin terkejut, “HAH!?” ia menoleh ke arah kakaknya, kemudian ke arah pemuda yang bernama Tooru itu. “Sama kakak?” tanya Maisa kembali memastikan. “Bentar, bentar! Ini apaan, sih? Kok aku nggak paham! Aku ketinggalan apa?” tanya Maisa nyaris histeris. Bagaimana tidak? Sudah lama ia tidak berkumpul dengan keluarganya, sekalinya berkumpul... ia mendapat informasi yang tiba-tiba kakak laki-lakinya akan menikah. Terlebih kakaknya akan menikah dengan seorang dengan jenis kelamin yang sama.

Tooru berdiri dari duduknya, kemudian membungkukkan badan pada ayah Suna. “Saya serius, Om! Saya ingin menikahi Rintarou!” tukasnya.

“Lo apa-apaan, sih!” tukas Rintarou ikut berdiri, berusaha menyuruh Tooru untuk berhenti membungkuk di depan ayahnya.

Dalam hatinya Rintarou sangat was-was. Dua mingguan ini hubungan Tooru dengan ayahnya sudah cukup baik, ia takut jika Tooru melakukan hal yang aneh lagi, hubungan mereka bisa kacau kembali.

Pria paruh baya itu berdehem, “duduk!” perintahnya. Tooru buru-buru mengangkat badan kemudian kembali duduk di kursinya, begitu pula dengan Rintarou. “Lakukan yang ingin kalian lakukan!” tukasnya lagi.

Rintarou jelas terkejut dengan ucapan ayahnya itu. “Maksud papa apa?” tanyanya. Namun ayahnya itu sama sekali tidak memberikan jawaban apapun dan justru memalingkan wajahnya.

“Rin, sayang...” Rintarou mengalihkan pandangannya ke arah ibunya yang memanggil namanya dengan suara penuh kelembutan. “Papa dan mama sudah memikirkan ini. Kalau memang kamu bisa bahagia bersama Nak Tooru, papa dan mama tidak bisa melarangnya. Keluarga Oikawa telah membicarakan hal ini bersama mama dan papa, jika kalian berdua memang sudah yakin dengan pilihan kalian, lakukan saja yang menurut kalian terbaik. Papa dan mama akan terus mendukung kalian berdua.” Rintarou terdiam, dalam hatinya ia sangat bingung dengan penjelasan ibunya. Beberapa minggu yang lalu orang tuanya begitu menentang lamaran Tooru, kenapa malam ini berubah menjadi mendukungnya?

“Maksudnya gimana?” tanya Rintarou pelan.

Sang ibu tersenyum menatap Rintarou, “papa dan mama memberikan restu untuk kalian berdua. Kami hanya ingin kalian bahagia,” ucapnya.

“Mama...” Maisa tampak ingin mengatakan sesuatu.

“Tapi—” suara ayah Suna kembali terdengar, “jika kau berani-beraninya menyakiti anakku. Aku tidak akan diam saja!” ancamnya.

Senyum Tooru semakin lebar, di bawah meja, tangannya menggenggam erat tangan Rintarou. “Saya janji tidak akan menyakiti Rintarou, Om!” tukasnya.

“Tunggu dulu, tap—”

“Apa lagi? Kamu bilang sendiri bahwa kamu mau menikah dengannya. Sekarang berubah pikiran lagi?” tanya ayahnya. Rintarou terdiam, teringat ucapannya saat ia bertengkar dengan sang ayah dan mengatakan bahwa ia bersedia menikah dengan Tooru.

“Silahkan kalian menikah di manapun kalian mau. Tapi jangan di negara ini. Negara ini tidak akan menerima pasangan seperti kalian!” tukas ayah Suna lagi.

Rintarou menatap wajah ayahnya itu, entah kenapa rasanya sedikit menyakitkan ketika mendengar perkataan ayahnya itu. “Papa ngusir aku?” tanya Rintarou kemudian.

“Rin, bukan seperti itu!” sang ibu menengahi. “Kamu tau sendiri bagaimana negara ini melihat hubungan seperti kalian ini. Papa dan mama tidak ingin melihat kalian dihujat jika kalian terus di sini!” sang ibu menatap Tooru, “mana dari itu... Nak Tooru, seperti yang sudah kau janjikan dulu, bawalah Rintarou ke negara yang kau janjikan itu. Menikahlah di sana dan berbahagialah di sana.”

“Hah? Jadi kakak harus keluar negeri gitu? Nggak tinggal di sini lagi?” tanya Maisa.

“Papa sudah putuskan, yang akan menjadi penerus perusahaan papa adalah kamu, Maisa!” tukas sang ayah.

“HAH? ITU KAN HARUSNYA KAK RIN!” tukas Maisa.

“Kakakmu tidak akan tinggal di sini lagi begitu ia memutuskan untuk menikah dengan Nak Tooru, Maisa,” ucap sang ibu.

Pikiran Rintarou mendadak kosong. Ia bisa mendengar suara perdebatan antara ibunya dan adiknya. Suara Tooru yang berusaha menengahi dan suara lainnya yang tidak begitu terdengar jelas di telinganya. Kepalanya mendadak pusing. Perasaannya kacau. Ia bingung, ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi informasi mendadak yang diterimanya.

Rintarou berusaha berdiri dari duduknya. Namun belum sempat ia berdiri tegak, tubuhnya tiba-tiba limbung dan ia kehilangan kesadarannya.

tbc