night call

narasi bagian empat dari Catatan Akhir Sekolah, a semisuna story


Lima menit lebih pesan yang Rintarou kirimkan pada Eita tidak kunjung mendapat jawaban. Dalam hatinya Rintarou merasa was-was, ke mana perginya Eita sampai membutuhkan waktu yang lama untuk membalas pesannya.

Tanpa sadar Rintarou kerap melirik ke arah ponselnya yang ia letakkan di sebelahnya. Rintarou sedang mengerjakan tugas matematikanya, sudah selesai sebenarnya, hanya saja ia malas untuk beranjak dari meja belajarnya.

Rintarou terlonjak kaget. Bukan notifikasi pesan baru yang ia dapatkan, justru tiba-tiba ponselnya bergetar dan memunculkan kontak Eita di layarnya. Rintarou menatap tajam layar ponselnya, bukannya membalas pesannya ... pemuda itu malah menelfonnya.

“Apa lo?”

“Ya Tuhan galak amat!” Eita membalas dari seberang telfon.

“Ya lo bukannya bales chat gue malah telfon!” tukas Rintarou.

Rintarou bisa mendengar kekehan suara Eita di ujung sambungan telfon. “Sorry, gue excited banget lo chat gue duluan. Reflek mencet telfon,” balas Eita.

“Mau apa lo telfon? Klo nggak penting gue matiin!”

“Yah! Jangan!” seru Eita. “Gue bingung mau bales apa, makanya langsung telfon,” sambung Eita.

“Lah aneh!” cibir Rintarou.

Kekehan kembali terdengar dari Eita, Rintarou hanya diam mendengarkan sampai Eita berhenti terkekeh dan kembali bertanya kepadanya.

“Lo nge-chat ada apa? Tumben nge-chat duluan.”

“Nggak boleh?” tanya Rintarou

“Bukannya gitu! Penasaran aja,” balas Eita.

Rintarou terdiam. Tiba-tiba ia merasa sangat malu untuk menanyakan perihal tentang tadi siang kepada Eita.

“Suna?”

“Itu ... gue mau tanya,”

“Ya? Soal apa?”

“Yang tadi siang,”

“Tadi siang? Soal apa? Desainnya?” tanya Eita. Rintarou kembali diam, rasa malu benar-benar membuat pipinya tanpa sadar mungkin sudah memerah.

“Bukan!”

“Trus soal apa? Oh—”

“DIEM!”

“Loh gue belum ngomong apa-apa padahal,” balas Eita. Diamnya Rintarou membuat Eita kembali tertawa, Rintarou merengut. Meski Eita tidak melihatnya, tapi Eita bisa membayangkan bagaimana wajah badmood Rintarou saat ini. “Santai aja,” ucap Eita akhirnya.

“Apaan coba main santai-santai aja!” tukas Rintarou.

“Soal nyoklat sama kentang goreng lo, kan?” tanya Eita terkekeh. “Udah gue bayarin kok,” sambungnya.

“Berarti gue ngutang sama lo. Besok gue ganti!” tukas Rintarou.

“Eh, nggak usah nggak apa-apa,” balas Eita.

“Nggak! Besok gue ganti! Gue nggak mau punya utang!” tukas Rintarou ngotot.

“Nggak seberapa juga, kok. Nggak diganti nggak apa-apa,” ucap Eita.

“Pokoknya besok gue ganti! Klo lo nggak mau, gue nggak mau kenal lo lagi!” ancam Rintarou.

“Ya Tuhan kayak anak kecil aja lo main ancem-anceman segala.” Eita berkomentar.

“Napa? Nggak suka lo?” tanya Rintarou.

“Nggak. Gemes aja,” balas Eita.

“EITA MONYET!” Rintarou langsung memutuskan hubungan telfon keduanya secara sepihak. Wajahnya sudah memerah menahan marah dan malu. Kedua tangan menangkup wajahnya sendiri.

Bisa-bisanya Rintarou masih baper pada pemuda menyebalkan itu?

Di sisi lain, Eita terkekeh, tersenyum lebar menatap layar ponselnya. Rintarou memang kadang menatapnya dengan tatapan seakan-akan Eita adalah makhluk absurd yang patut Rintarou jauhi. Tapi sebenarnya, di mata Eita ... Rintarou masih sama seperti Rintarou yang pernah dekat dengannya dulu.

“Andai aja gue nggak nyia-nyiain lo dulu, Rin.”

tbc