night date

narasi bagian enam belas dari Missing Cat, a semisuna story


Rintarou menatap layar ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda adanya notifikasi baru. Sejak pesan terakhirnya mengenai kapan Eita akan menjadikan Rintarou kekasihnya, pemuda itu tiba-tiba menghilang dan tidak membalas pesan Rintarou lagi.

Rintarou kembali galau. Apakah salah baginya bertanya mengenai hal itu kepada Eita? Menghabiskan waktu bersama bersama Eita membuat Rintarou lama-lama nyaman dan suka jika Eita berada di sekitarnya. Rintarou berpikir mungkin inilah saat yang tepat baginya untuk membuka hati dan melupakan Osamu. Rintarou mulai menyukai Eita, Rintarou akui itu. Keduanya juga sama-sama tahu jika mempunyai perasaan yang sama, namun Rintarou tidak yakin apakah Eita setuju mereka membangun komitmen yang sama sebagai sepasang kekasih? Mereka baru beberapa bulan dekat. Namun kembali lagi, meskipun mereka mempunyai perasaan yang sama, apa Eita bersedia menjadi kekasihnya?

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas lebih, hampir pukul satu dini hari. Namun Rintarou sama sekali tidak bisa tertidur. Wajahnya tiba-tiba memanas, reaksi apa yang akan Eita berikan kepadanya besok ketika mereka bertemu? Atau jangan-jangan justru Eita tidak ingin menemuinya karena pertanyaan Rintarou yang terkesan meminta kejelasan seperti itu.

Rintarou terlonjak kaget dari ranjangnya ketika merasakan getaran panjang dari ponselnya. Ia meraih ponselnya, jantungnya berdetak cepat ketika melihat siapa yang meneleponnya tengah malam seperti ini.

“Halo?”

“Lo keluar, deh!”

“Hah?”

“Gue di depan rumah lo.”

Sekali lagi Rintarou terlonjak kaget. Ia langsung bangkit dari ranjangnya dan berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya.

“Nggak usah boong lo klo di depan rumah gue!” tukas Rintarou.

“Enggak. Serius. Buka gerbangnya, deh!”

Rintarou menelan ludahnya susah payah. Perlahan ia membuka kunci pintu rumahnya dan berjalan menuju gerbang rumahnya. Rintarou menatap tidak percaya pada Eita yang kini bersandar santai pada mobil kakaknya.

“Lo ngapain?” tanya Rintarou, mematikan sambungan telepon mereka berdua.

“Reflek,” balas Eita.

“Reflek apaan, sih? Nggak jelas lo!” tukas Rintarou.

“Reflek tadi gue langsung ambil kunci mobil abang gue trus ke sini,” balas Eita.

“Reflek lo jelek.” Komentar Rintarou. Eita terkekeh.

“Sun, jalan, yuk!” ajak Eita.

“Heh, yang bener aja lo! Ini udah jam satu malem!” tukas Rintarou.

“Anggap aja night drive gitu,” balas Eita. “Ayo! Gue udah terlanjur sampe sini, nih,” ucap Eita.

“Yang nyuruh lo ke sini siapa coba, gue tanya.”

“Yah, jadi nggak mau, nih, jalan sama gue?” tanya Eita. Pura-pura merasa kecewa.

“Besok sekolah, Sem,” ucap Rintarou.

“Bentar aja, yuk!” ajak Eita lagi. Rintarou terdiam cukup lama, masih menimbang-nimbang untuk menerima ajakan Eita atau tidak. “Gimana? Mau?” tanya Eita lagi.

“....”

“Hah? Apaan? Nggak denger!” tukas Eita.

“Ya ... mau,” suara Rintarou terdengar lirih.

“Yang jelas ngomongnya, Sun. Nggak denger, nih,” balas Eita.

Rintarou mendelik kesal, “iya. Mau! Nyebelin! Tunggu sini gue ambil jaket dulu!” tukas Rintarou yang kemudian berjalan kembali memasuki rumahnya. Sedangkan Eita tampak tersenyum lebar Rintarou menerima ajakannya. “Udah?” tanya Eita begitu melihat Rintarou menutup pintu gerbang rumahnya.

“Klo gue dimarahin papa sama mama, lo harus tanggung jawab!” ancam Rintarou.

“Iya, iya. Tanggung jawab sampe nikah dan membangun rumah tangga gue juga mau.”

“Heh mulutnya alus bener!” tukas Rintarou.

“Yaudah, yuk!” ajak Eita. Keduanya lantas memasuki mobil Eita dan mulai mengendarai mobil menjauh dari rumah Rintarou.

•••

Jalanan kota cukup sepi pada jam-jam seperti ini. Bagaimana tidak sepi, saat ini sudah pukul satu pagi lebih. Jalanan begitu lenggang dan banyak toko atau tempat makan di pinggir jalan sudah tutup lapak.

Eita tidak memiliki tujuan pasti ke mana ia akan mengendarai mobilnya. Selama perjalanan pun keduanya hening, hanya ditemani oleh suara lagu yang mengalun dari channel radio yang random Eita pilih.

“Sun, mau sate?” tanya Eita tiba-tiba.

“Hah? Sate?”

“Iya. Gue tau tempat sate yang masih jualan jam-jam segini. Mau?” tanya Eita lagi.

“Boleh, deh. Tap—”

“Iya, ntar minta banyakin kecapnya aja nggak usah pake bumbu kacang sama cabe,” ucap Eita memotong ucapan Rintarou.

Rintarou terkekeh ketika mendengar ucapan Eita. Ia tersenyum manis menatap Eita, “thanks, ya,” ucapnya.

“Iya. Gue udah hapal selera lo,” balas Eita.

Keduanya kembali diam, sesekali berbicara tentang hal-hal random. Sampai akhirnya mobil yang Eita kendarai mulai menepi di pinggir jalan tidak jauh dari sebuah warung kaki lima yang terlihat cukup ramai.

“Gila, ya. Pagi-pagi begini ada juga yang jajan di sini,” komentar Rintarou.

“Namanya orang laper, sih, nggak kenal waktu mau kapan. Orang tengah malam laper ya banyak, makanya ni warung sate masih buka sampe jam limaan nanti,” jelas Eita.

“Lo sering ke sini, ya?” tanya Rintarou.

Eita mengangguk, “lumayan, sih. Klo tiba-tiba abang gue laper pasti larinya ke sini,” balas Eita. “Klo gue mending bikin Indomie di rumah, tapi abang gue mageran jadi mending keluar sekalian jalan-jalan. Nyebelinnya ... suka ngajakin gue biar ada temen nyetirnya.” Eita bercerita.

“Seru, ya, kayaknya punya sodara,” balas Rintarou.

Eita mengangkat bahunya, “ada enaknya, ada enggaknya,” balasnya singkat. “Duduk dulu. Gue pesenin buat lo!” suruh Eita.

Butuh beberapa menit bagi Eita untuk memesan dua porsi sate untuknya dan Rintarou. Tidak lupa Eita juga berpesan kepada tukang satenya untuk memberikan lebih banyak kecap, tanpa bumbu kacang dan cabai khusus untuk Rintarou.

•••

Kurang lebih setengah jam Eita dan Rintarou habiskan waktu untuk makan di warung sate pilihan Eita. Rintarou harus mengakui, jika sate yang dijual di warung itu memang enak. Tidak heran jika banyak pembeli yang datang di warung itu.

“Sekarang mau ke mana?” tanya Rintarou begitu mobil mereka kembali melaju melewati jalan raya.

“Lo mau ke mana?” tanya Eita balik, sedikit melirik jam digital yang ada di mobil sudah menunjukkan pukul dua pagi.

“Ngadem dulu,”

“Nggak dingin?” tanya Eita.

“Gue, kan, pake jaket,” balas Rintarou.

“Oke, deh. Ngadem di alun-alun kota aja, ya,” ucap Eita. Rintarou mengangguk.

“Lo mau susu apa kopi?” tanya Rintarou.

“Nggak ada pilihan teh gitu apa?” tanya Eita.

Rintarou terkekeh, memukul pelan bahu Eita. “Udah, ih, pilih aja!” tukas Rintarou.

“Ya udah. Kopi, deh,” balas Eita. Rintarou mengangguk, “mampir minimarket bentar ya nanti,” ucap Rintarou.

Eita mengangguk singkat sebagai jawaban.

•••

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi keduanya untuk sampai di alun-alun kota. Semilir angin yang dingin menusuk kulit tidak menghentikan langkah Eita dan Rintarou yang sedari tadi berjalan hampir mengelilingi lapangan alun-alun. Sampai akhirnya Eita mengajak keduanya berhenti dan duduk di salah satu bangku panjang yang ada di pinggir lapangan alun-alun.

“Nih!” tukas Rintarou memberikan sebuah minuman kalengan rasa kopi kepada Eita. Eita menerima pemberian Rintarou, kemudian segera membuka minuman kalengnya dan meminumnya.

“Heh! Curang lo!” seru Eita tiba-tiba.

Rintarou menoleh menatap Eita, “curang apa?” tanyanya.

“Kok lo beli teh botol, gue dibeliin kopi!” tukas Eita.

“Lah, kan, lo sendiri yang milih kopi,” balas Rintarou.

“Ya lo juga nawarinnya susu apa kopi doang,” ucap Eita.

Rintarou tertawa, “salah sendiri nggak mau ikut masuk minimarket tadi,” ucapnya, “kenapa? Mau teh gue? Nih ambil klo mau bekas gue,” ucap Rintarou.

“Ya udah sini!”

Rintarou membelalakkan matanya ketika Eita berniat merebut teh botol miliknya, reflek ia langsung menjauhkan teh botolnya dari jangkauan Eita.

“Kok malah diumpetin!” tukas Eita.

“Ya lo kenapa mau-mau aja ngambil bekas gue! Geli, ih!” tukas Rintarou.

“Ya siapa juga yang nggak mau. Lumayan bisa indirect kiss, kali aja besok-besok bisa kiss beneran,” balas Eita.

Rintarou kesal, ia memukul bahu Eita cukup keras, setidaknya mampu membuat Eita sedikit meringis. “Gila!” tukas Rintarou.

“Gila karena lo.”

“Diem!” seru Rintarou. Jika saja keadaan saat ini itu terang, Eita pasti sudah bisa melihat dengan jelas seperti apa merahnya wajah Rintarou karena ucapan Eita itu.

Keduanya kemudian tenggelam dalam hening. Eita masih sesekali menengguk cairan kopi dari minuman kalengnya, sedangkan Rintarou hanya diam. Tangan Rintarou sedari tadi tidak bisa diam, terus-menerus memainkan tutup teh botol yang ada di tangannya.

“Sun,”

“HAH? YA!?”

“Kok kaget?” tanya Eita tertawa.

Rintarou merengut, “ya lo juga. Lagi diem tiba-tiba manggil!” tukas Rintarou.

Eita tertawa lagi, entah sudah berapa kali ia tertawa dalam beberapa jam terakhir ini karena tingkah Rintarou yang menurutnya sungguh lucu. Jelas sekali jika Rintarou itu sedang gugup berada di dekatnya.

“Santai aja, dong. Nggak usah kaku gitu,” ucap Eita. Rintarou berteriak dalam hatinya, bagaimana bisa santai kalau apa yang Eita lakukan itu bisa membuat Rintarou gugup luar biasa. “Mau ngomongin soal itu nggak?” tanya Eita.

“Soal apa?” tanya Rintarou balik.

“Yang tadi malam,” balas Eita.

Rintarou diam. Ia tahu ia yang nekat mengirimkan pesan seperti itu kepada Eita, tapi kenapa sekarang justru dirinya yang sangat malu untuk membahas masalah itu bersama Eita.

“Sun, pertanyaan lo itu serius nggak? Nggak apa-apa klo misalnya gue nembak lo deket-deket ini?” tanya Eita.

Rintarou masih diam, belum ingin menjawab pertanyaan Eita, Eita pun juga dengan sabar menunggu jawaban yang akan Rintarou berikan padanya. Eita melihat Rintarou menghembuskan napas pelan, kemudian melirik kecil kepada Eita.

“Nggak tau sebenarnya. Tapi gue udah yakin suka sama lo. Soal perasaan gue ke Osamu, gue yakin aja, sih, klo misalnya gue udah jadi sama lo, gue bisa lupain Osamu,” jelas Rintarou. “Gue nggak mau buru-buru sebenernya, gue nggak mau lo mikir klo lo cuma pelarian gue aja.” Rintarou diam lagi, Eita masih diam, sejujurnya sedikit terkejut mendengar pengakuan Rintarou yang mengatakan bahwa Rintarou yakin sudah menyukainya. “Trus perlakuan lo selama beberapa bulan ini juga ... siapa yang nggak baper klo lo perlakuin seperti itu coba??? Sebel gue dibaperin tapi nggak dikasih kejelasan status!” tukas Rintarou sedikit merengut.

Eita terkekeh, tangannya reflek mencubit pipi Rintarou gemas hingga membuat Rintarou lama-lama merasa kesakitan.

“Gemes banget, sih,” ucap Eita.

“Sakit, ihh!” seru Rintarou menepis tangan Eita di pipinya.

“Gue sebenernya juga pengen cepet-cepet nembak lo kali. Pengen kita cepet pacaran. Sorry klo kesannya malah jadi baperin lo doang. Tapi itu juga tujuan gue, sih, bikin lo baper trus jadi suka sama gue,” jelas Eita terkekeh. “Gue berhasil, ya?” tanya Eita.

Rintarou mendengus, “sekarang tanggung jawab! Udah bikin gue baper!”

“Gue pasti tanggung jawab, kok, tenang aja,” balas Eita. “Tadi malem gue kalut banget pas lo tanya kapan mau nembak, soalnya gue udah ada rencana mau nembak lo, belum sampai hari H, eh lo udah tanya. Ternyata lo nungguin gue nembak lo,” jelas Eita. “Tapi gue nggak bisa romantis, Sun, klo soal ginian. Gue rencananya mau tanya temen-temen gue atau temen lo gimana nembak lo biar bisa romantis gitu, tapi belom jadi,” sambung Eita.

“Gue nggak minta lo buat nembak gue pake acara romantis-romantisan segala juga. Malu, gue juga bukan cewek kali yang suka hal-hal romantis gitu,” balas Rintarou.

“Oh ya udah, gue bilang sekarang aja nih, ya.”

“Hah!?”

Rintarou membelalakkan matanya lebar-lebar ketika tiba-tiba Eita berjongkok di depannya. “Suna, gue beneran suka sama lo. Sejak gue liat lo waktu Shiro ilang dulu, gue tertarik sama lo. Rasanya beda waktu pertama kali gue ketemu lo, gue nggak bisa jelasin gimana rasanya ... tau-tau sejak gue ketemu lo, gue jadi sering mikirin lo. Pas gue tau kita satu sekolah, gue seneng banget. Gue bisa gampang deket sama lo, dan waktu lo juga menyambut baik gue jadi temen lo ... gue tambah seneng. Gue kepedean lo juga bakal suka sama gue nantinya. Gue nggak bisa romantis soal ginian, tapi, Sun ... gue suka sama lo, gue serius sama lo, mau nggak lo jadi pacar gue?” tanya Eita akhirnya.

Rasanya bibir Rintarou kelu, ia tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Terlalu speechless mendengar penuturan Eita. Belum lagi ibu jari Eita yang mengelus pelan punggung tangannya membuat Rintarou semakin tidak bisa berkutik saking gugupnya.

“Sun?”

Anggukan kecil akhirnya terlihat. Rintarou mengangguk pelan, ia masih tidak bisa mengeluarkan suaranya untuk menjawab pertanyaan Eita.

“Mau, nih, jadi pacar gue?” tanya Eita lagi. Rintarou lagi-lagi mengangguk, “jawab, dong, jangan ngangguk-angguk aja!” tukas Eita terkekeh.

“I...ya ... mau.” Suara Rintarou terdengar lirih, namun Eita bisa mendengar suara Rintarou dengan jelas.

Eita tersenyum lebar. Kedua tangannya kini menggenggam tangan Rintarou, menarik kedua tangan Rintarou mendekat pada bibirnya kemudian memberikan beberapa kecupan kecil di punggung tangan Rintarou. Rintarou kembali terkejut.

Katanya nggak bisa romantis, tapi pake cium-cium tangan gitu!? Batin Rintarou berteriak. Jantungnya pun ikut berdetak lebih cepat karena perlakuan manis Eita.

“Suna?”

Rintarou mendongak sedikit, mengalihkan pandangannya dari tangannya untuk menatap wajah Eita. Sekali lagi kedua mata Rintarou melebar sempurna ketika tiba-tiba ia sudah merasakan benda kenyal mendarat di bibirnya. Eita tiba-tiba menciumnya. Eita sempat menjilat bibir Rintarou dengan lidahnya sebelum akhirnya menjauhkan dirinya.

Wajah Rintarou langsung memerah. “LO—”

“Gemes banget, sih, langsung merah gitu wajahnya!” tukas Eita terkekeh.

Rintarou kesal, ia langsung mendorong tubuh Eita menjauh darinya kemudian berjalan cepat meninggalkan Eita.

“Eh, eh, mau ke mana? Kok gue ditinggal?” seru Eita.

“Bodo! Gue males sama lo!” balas Rintarou.

Eita tertawa, segera menyusul Rintarou. “Pelan-pelan, dong, jalannya. Kenapa, sih, buru-buru gitu?” tanya Eita kembali menggoda Rintarou.

“Pulang!” seru Rintarou.

“Iya, iya, ayo pulang,” ucap Eita. Ia meraih pergelangan tangan Rintarou, berhasil membuat Rintarou memperlambat langkahnya. “Sorry, kaget, ya?” tanya Eita. Kini mereka sudah berjalan bersebelahan dengan tangan Eita yang kini sempurna menggenggam tangan Rintarou.

“Nyebelin banget, sih!” bisik Rintarou sebal.

“Habis lo gemesin, sih, mukanya tadi. Gue, kan, jadi nggak tahan pengen bikin lo makin merah,” jawab Eita.

Eita berteriak keras ketika tiba-tiba pipinya mendapatkan cubitan keras dari Rintarou. “Lain kali kasih aba-aba atau apa gitu, kek! Gue, kan, kaget banget tiba-tiba lo cium!” tukas Rintarou.

Eita meringis pelan, namun tidak bisa tidak terkekeh ketika melihat wajah Rintarou yang masih merah. “Iya, iya, sorry,” balas Eita. “Sun, gue boleh manggil lo, Rin, nggak?” tanya Eita.

“Boleh aja. Siapa yang nglarang emang?” tanya Rintarou.

“Ya enggak. Kemarin-kemarin, kan, belom gitu deket, jadi nggak berani gue manggil Rin duluan,” jelas Eita.

“Klo lo manggil gue Rin, berarti gue boleh manggil lo Eita, kan?” tanya Rintarou balik.

Eita mengangguk, “boleh. Mau panggil Eita boleh, sayang juga boleh,” jawab Eita yang mendapat dengusan sebal dari Rintarou.

“Gue ngantuk.” Rintarou berucap tiba-tiba.

“Gue anterin pulang, deh, yuk! Sorry, ya, malah ngakak lo keluar malem-malem gini,” ucap Eita.

Rintarou menggeleng kecil, ia sedikit merapatkan tubuhnya pada tubuh Eita. Eita deg-degan tentu saja, dari jarak sedekat ini ia semakin bisa mencium wangi Rintarou di dekatnya.

“Kita pacaran, kan, ini berarti?” tanya Eita.

“Ya, kan, tadi udah gue jawab. Gue mau jadi pacar lo,” balas Rintarou.

Eita terkekeh gemas, ia melepas genggaman tangannya pada tangan Rintarou, beralih memeluk bahu Rintarou dan menariknya semakin mendekat pada tubuhnya. Kecupan singkat di pelipis kanannya kembali Rintarou rasakan.

“Apaan, sih!” dengus Rintarou. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak mencoba menghindar dari Eita.

“Gemes banget pacar Eita!” tukas Eita.

“Ayo, ih, pulang! Udah ngantuk!” ajak Rintarou.

Pagi buta itu keduanya pulang dengan perasaan yang luar biasa. Tidak hanya sekedar teman biasa, di antara mereka ada cinta. Cinta yang menyatukan hati Rintarou dan Eita.

tbc