Origami

Natsuki birthday countdown

drabble by @l1_mey


D-4 — Origami

Aku membuka pintu rumah Natsuki—sahabatku sejak beberapa tahun yang lalu—begitu aku sampai di depan pintu rumahnya. Aku sudah menghubungi Natsuki jika aku akan mampir sepulang aku dari magang. Beberapa tahun mengenal Natsuki, aku menjadi terbiasa keluar-masuk rumah keluarga Shinomiya layaknya rumah ini adalah rumahku sendiri. Akupun juga telah mengenal kedua orang tua Natsuki, jadi aku tidak terlalu canggung lagi jika berada di rumah Natsuki.

Saat ini aku masih mengejar pendidikanku di universitas. Aku ingin menjadi seorang guru Taman Kanak-kanak jika aku lulus dari kuliah nantinya. Namun pada prakteknya, ternyata menjadi seorang guru untuk anak-anak tidaklah mudah. Dan sekarang ini aku sedang melakukan program magangku disalah satu Taman Kanak-kanak yang tidak terlalu jauh dari universitasku.

“Natsukiiiiii~” aku merengek begitu melihat Natsuki yang sedang sibuk di dapur. Pemuda itu menoleh, senyumnya lebar ketika ia melihatku.

“Kenapa wajahmu itu? Kenapa lesu seperti itu?” tanyanya. Aku sendiri sekarang sudah duduk di kursi meja makan dengan pipi yang aku tempelkan pada meja makan.

“Ajari aku sesuatu!” rengekku lagi. Memang terdengar menyebalkan. Namun itulah aku jika bersama Natsuki. Hanya saat bersama Natsuki sajalah yang bisa membuatku tetap menjadi diri sendiri dan bersikap manja atau kekanakan seperti ini. Walaupun terkadang sedih memikirkan bahwa aku dan Natsuki tidak memiliki hubungan yang khusus selain hanya berteman dekat. Terkadang sedih membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti Natsuki mempunyai kekasih sendiri dan tidak bisa selalu menemaniku lagi.

“Aku baru saja membuat cookies. Mau mencobanya?” tawar Natsuki.

Aku mengangguk antusias. “MAUUU! Dan jangan lupa susu!” pintaku.

Natsuki tersenyum, “iya, aku tahu. Tunggu sebentar, ya.”

Aku ikut tersenyum mendengarnya. Natsuki bukanlah seseorang yang pandai memasak atau mengolah makanan saat aku pertama mengenalnya. Namun entah dorongan dari mana, Natsuki sering melatih kemampuan memasaknya, dimulai dari makanannya yang tidak layak untuk dimakan hingga sekarang makanan apapun yang dibuat oleh Natsuki menjadi salah satu olahan favoritku.

“Jadi, ada apa?” tanya Natsuki, ia sudah meletakkan sebuah piring berisi cookies dan segelas susu hangat yang aku minta tadi. Senyumku merekah, langsung mengambil cookies itu dan memasukkannya ke dalam mulutku, disusul dengan air susu yang perlahan aku tenggak.

“Ajari aku membuat bentuk burung dari kertas lipat!” tukasku.

Natsuki mengernyit, “origami?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Hari ini aku mengajar anak-anak mengenai jenis-jenis burung, dan aku bercerita jika kita bisa membuat bentuk burung dari kertas lipat. Tapi ketika salah satu anak memintaku mengajarinya, aku tidak bisa.” Bibirku mencebik sedih, karena sejujurnya aku memang tidak bisa membuat bentuk burung dari kertas lipat, terlalu rumit dan aku sedikit malas mempelajarinya. “Jadi ... ajari aku, ya!” pintaku pada Natsuki.

“Ehmm, baiklah. Tapi aku tidak menjamin akan bisa mengajarimu dengan sempurna, ya,” ucap Natsuki.

Aku mengangguk, “yang penting aku bisa melakukannya! Aku tidak ingin malu lagi di depan murid-muridku,” ucapku. “Kau punya kertas lipatnya?” tanya Natsuki.

Aku mengangguk, langsung mengeluarkan satu pak kertas lipat yang memang sengaja aku bawa. Natsuki mengajariku dengan telaten, langkah demi langkah. Jika aku melakukan kesalahan, Natsuki akan langsung membenarkannya. Aku mengangguk-angguk paham, mencoba mengingat setiap langkah melipat kertas yang sudah Natsuki ajarkan kepadaku.

Aku tersenyum samar ketika melihat Natsuki yang tampaknya justru semakin fokus dengan kertas lipat di tangannya. Aku mengambil kertas lipat baru, melipatnya dengan lancar karena memang aku sangat hapal bagaimana cara membuat bentuk ini menggunakan kertas lipat.

Beberapa menit kemudian, apa yang aku buat akhirnya selesai. Natsuki masih berkutat dengan kertas lipat yang dia pegang.

“Natsuki.” Aku memanggil.

“Hmm?” hanya deheman singkat yang Natsuki berikan, bahkan ia sama sekali tidak menoleh kepadaku.

“Milikku sudah jadi.” Aku berucap kemudian.

“Wah, mana? Bagus kau sudah hap—” ucapan Natsuki terhenti ketika Natsuki melihat bentuk apa yang aku buat menggunakan kertas lipat.

“Sepertinya aku hanya hebat ketika membuat bentuk yang seperti ini,” ucapku tersenyum memperlihatkan hasil origami-ku yang berbentuk love hati kepada Natsuki.

“Kenapa bentuknya seperti itu?” tanya Natsuki. “Aku, kan, mengajarimu membuat bentuk burung, bukan hati,” sambungnya.

“Sengaja. Ini untukmu,” ucapku memberikan origami berbentuk hati itu kepada Natsuki.

“Curang!” tukas Natsuki. Aku tertawa, sangat puas ketika melihat wajah Natsuki yang perlahan-lahan mulai memerah.

•••