papa

narasi bagian empat dari Missing You, a semisuna short story


Eita yang kini berubah menjadi seekor kucing hanya bisa berjalan luntang-lantung di jalanan dengan keempat kakinya. Ia bingung harus pergi ke mana. Kembali ke rumahnya dalam keadaan Eita yang seperti sekarang tentu tidak mungkin. Orang tuanya memang tidak membenci kucing seperti dirinya, namun di rumahnya ada Jeki ... dan Jeki nampaknya tidak suka dengan kucing—sama seperti dirinya.

Kepala Eita mendongak ketika mencium bebauan wangi dan terasa enak masuk ke indra penciumannya. Eita mengeong kecil, semua indranya terasa lebih sensitif setelah ia berubah menjadi seekor kucing.

Eita melangkah kecil menuju sumber bau itu. Langkahnya terhenti beberapa saat ketika ia sadar ia baru saja melangkah memasuki halaman rumah keluarga Suna. Eita mendengus, rumah keluarga Suna memang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahnya. Namun ia sama sekali belum pernah masuk ke rumah keluarga Suna. Itu karena ia dan Suna Rintarou—putra tunggal keluarga Suna—tidak begitu akrab atau bisa dibilang mereka adalah musuh.

Eita lebih suka anjing, Rintarou lebih suka kucing. Eita tidak suka kucing, begitu juga Rintarou yang tidak menyukai anjing. Mereka berdua memang sekolah di sekolah yang sama, satu kelas pula. Namun mereka berdua mirip sekali anjing dan kucing yang akan bertengkar jika bertemu.

Namun sial! Eita tidak tahu apa salahnya hingga ia bisa berubah menjadi kucing seperti ini. Hewan yang ia tidak suka. Sialnya lagi! Bau enak ini benar-benar membuat Eita lapar.

Eita melompat naik kesalah satu jendela rumah Rintarou yang tidak tertutup. Rumah Rintarou terlihat sepi. Tentu saja sepi, di rumah yang cukup besar itu hanya ditinggali oleh Rintarou dan ayahnya saja. Pembantu dan sopir pribadi ada, namun mereka hanya bekerja dari pagi hingga sore di rumah Rintarou.

Eita berjalan pelan memasuki rumah itu. Matanya menelisik ke setiap penjuru ruangan. Saat menjadi manusia, Eita belum pernah secara langsung memasuki rumah Rintarou, jadi ini adalah kali pertamanya memasuki rumah Rintarou ... meskipun ia dalam keadaan menjadi kucing seperti saat ini.

Telinga kucing Eita sedikit bergerak. Ia berjalan menuju sumber suara. Langkahnya berhenti di depan sebuah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Kamar Rintarou. Eita duduk di dekat pintu, mendengar suara isakan dari dalam kamar Rintarou dan suara lain yang mencoba menenangkan Rintarou.

“Rin, udah, ya, jangan nangis terus. Makan dulu, yuk, bareng Papa.”

Eita melihat Rintarou menggelengkan kepalanya. Di tangannya, Rintarou memegang sebuah mangkuk yang Eita yakini dari situlah bau wangi yang membuatnya lapar.

“Rin, makan dulu, yuk!” ajak pria yang lebih tua lagi.

“Ma-mau ma-kan sa-sama Bu-bu.” Rintarou berusaha berbicara walaupun tersendat-sendat karena menangis.

“Rin, sayang, Bubu udah nggak bisa makan. Bubu udah tenang bareng mama. Sekarang Rin aja yang makan, nanti kalau Rin nggak makan, kasian mama sama Bubu bisa sedih liat Rin nangis terus.”

Suara isakan Rintarou kembali terdengar, kali ini hingga membuat pria yang Eita yakini adalah ayah dari Rintarou itu ikut duduk di sebelah Rintarou. Mangkuk yang Rintarou bawa disingkirkannya, kemudian menarik tubuh Rintarou dalam pelukannya.

“Pa-pa... ke-kenapa Bubu ju-juga pergi??? Ke-kenapa Bubu ninggalin Rin?” tanya Rintarou terisak.

“Udah, Rin, udah. Rintarou sedih, papa juga sedih Bubu udah nggak ada. Rintarou sayang Bubu, begitu juga papa. Tapi, Tuhan lebih sayang sama Bubu. Tuhan pengen Bubu nemenin mama di surga, jadi Tuhan kirim Bubu buat nemenin mama. Sekarang, lebih baik kita doakan mama sama Bubu doa yang baik-baik aja, ya.” Suna Keishii, masih berusaha menenangkan putra satu-satunya yang sedari tadi menangis karena ditinggal Bubu kesayangannya.

“Pa-pa...”

“Ya, sayang?”

“Papa nggak bakal ninggalin Rin juga, kan?” tanya Rintarou pelan.

Hati Keishii mencelos mendengar pertanyaan putranya. “Nggak, dong! Papa nggak bakal ninggalin Rin sendiri. Mana mungkin Papa ninggalin Rin. Rin itu harta Papa yang paling berharga, sampai kapanpun Papa nggak akan pernah ninggalin Rin sendiri!” tukas Keishii.

Rintarou semakin mengeratkan pelukannya pada sang ayah. Kembali menangis, melampiaskan rasa sedihnya dalam dekapan sang ayah.

Eita masih terdiam. Entah sejak kapan, telinga kucingnya yang semula tegak, kini sedikit menurun setelah mendengar percakapan antara dua insan itu.

Rintarou terlihat begitu terpukul dengan kepergian kucingnya. Eita jadi membayangkan, jika suatu hari Jeki juga pergi meninggalkannya untuk selamanya, apakah Eita akan merasa sangat sedih seperti Rintarou saat ini?

tbc