pertemuan

narasi bagian satu dari Catatan Akhir Sekolah, a semisuna story


Rintarou sedikit terengah-engah setelah berlari kecil menuju tempat rapat siswa yang berada di lantai dua gedung sekolahnya. Sial baginya ketika ia lapar dan berniat membeli batagor yang biasa berjualan di depan SMP yang tidak jauh dari SMA-nya, justru saat itu sedang banyak mengantri pembeli lainnya. Rintarou dengan sabar menunggu gilirannya dilayani oleh penjual batagor sampai akhirnya pesan dari Aihara Mao—teman satu kelasnya—yang mengatakan soal jika terlambat bisa kena marah Kita Shinsuke dan Ushijima Wakatoshi (mantan ketua dan wakil OSIS periode sebelumnya) yang memang terkenal dengan ketegasan mereka. Jadilah Rintarou mencoba mendesak penjual batagor untuk melayaninya lebih dulu, bermodal membagikan nomor ponsel teman-temannya yang terkenal populer kepada siswi lain yang juga sedang mengantri ... akhirnya dua bungkus batagor berhasil Rintarou dapatkan.

Rintarou berjalan pelan menaiki tangga. Suara ramai di lantai dua gedung sekolahnya terdengar di telinga Rintarou.

“Anjir! Gue kira gue beneran telat. Ternyata masih pada di luar!” tukas Rintarou berjalan mendekati Mao yang sedang berbincang dengan siswi lain, Shimizu Kiyoko siswi 12 IPS 2 dan Shirofuku Yukie siswi 12 IPA 1.

“Wih, asik!” seru Mao ketika menerima sebungkus batagor dari Rintarou.

“Kok gue nggak!?” protes Yukie.

“Beli sendiri lo!” tukas Rintarou, “mana bayar!” tagih Rintarou kepada Mao.

“Iya, iya, nih!” tukas Mao mengulurkan selembar uang lima ribu rupiah kepada Rintarou.

“Kok belum mulai, sih?” tanya Rintarou lagi.

“Nunggu Kita sama Ushijima. Tadi kayaknya ketemu Pak Ukai dulu,” balas Shimizu.

“Makan dulu aja! Gue laper!” tukas Mao. Tanpa disuruh pun Rintarou jelas akan memakan lebih dulu batagor yang sudah dibelinya. Rintarou diam menikmati batagornya, sesekali ia menyimak ketika tiga siswi di dekatnya itu bergosip mengenai siswa atau siswi lain di sekolah mereka.

Rintarou baru saja menghabiskan batagor dan es teh—pemberian Mao—ketika tiba-tiba seseorang menepuk pelan bahunya. Rintarou menoleh, matanya semakin menyipit ketika melihat siapa yang menepuk bahunya.

“Mau apa lo!?” tanya Rintarou ketus.

“Habis rapat, lo ada waktu nggak?”

“Nggak.” Rintarou menjawab cepat. Rintarou berbalik badan, membuang bekas plastik batagor dan es tehnya ke tempat sampah sebelum berjalan masuk ke dalam ruang rapat.

“Di tolak lo sama Suna?” tanya Mao kepada seseorang yang mengajak Rintarou berbicara tadi.

“Susah, ya?” tanya pemuda itu.

“Jangan nyerah, dong!! Semangat! Kali aja ntar Suna berubah pikiran mau ngomong sama lo,” balas Mao.

Semi Eita, pemuda itu menghembuskan napas pelan mendengar ucapan Mao. Bukan satu kali dua kali saja Eita berusaha mengajak Rintarou berbicara, sudah berkali-kali. Namun hasilnya masih sama, Rintarou menolak mentah-mentah untuk berbicara dengannya.

“Udah mau mulai rapatnya. Ntar kelar rapat lo pepet lagi aja coba,” ucap Mao menepuk pelan bahu Eita. Eita mengangguk kecil, walaupun ia yakin akan kembali mendapatkan penolakan ... setidaknya ia akan terus berusaha untuk membuat Rintarou bersedia berbicara empat mata dengannya.

tbc