rasa yang sama

narasi bagian tiga dari Invisible, a semisuna story


Sore itu suasana dalam gedung olahraga tampak ramai dengan beberapa siswa yang masih mengikuti kegiatan ekstrakurikuler voli di sekolah, tidak lupa Rintarou dan Atsumu yang juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler voli tersebut.

Beberapa siswa yang sedang beristirahat tiba-tiba dikejutkan dengan Rintarou yang bertingkah aneh. Tingkahnya seperti anak kecil yang ingin mengajak kakaknya bermain.

Beberapa di antara mereka langsung paham, Rintarou kembali kerasukan. Kali ini yang merasuki Rintarou adalah sosok anak kecil yang ingin mengajak mereka bermain. Rintarou benar-benar menjadi bertingkah seperti anak kecil, apabila salah satu dari mereka menolak untuk bermain bola dengannya, Rintarou akan tiba-tiba menangis dengan suara cempreng khas anak kecilnya.

***

Hal pertama yang Rintarou lihat ketika membuka mata adalah langit-langit bangunan yang berwarna putih, sedikit berbauan obat yang kemudian Rintarou yakini ia berada di sebuah ruangan di rumah sakit atau mungkin UKS.

“Udah bangun?” suara di samping Rintarou sedikit mengejutkan dirinya. Ia menoleh ke samping kanan, dan mendapati Eita duduk di kursi sebelah ranjang tempat ia berbaring. “Nama lo siapa?” tanya Eita kemudian.

Rintarou mendengus kecil, “Suna. Suna Rintarou.”

“Oh, bagus deh udah sadar. Kirain bakal jawab nama lo Caca lagi,” ucap Eita.

Rintarou mengernyit, “emang Caca siapa?” tanyanya.

“Bocah yang ngrasukin lo tadi,” balas Eita. Mendengar jawaban Eita membuat Rintarou tiba-tiba terdiam.

“Kesurupan lagi ya gue?” tanya Rintarou.

Eita mengangguk kecil, “capek?” tanyanya lagi.

Rintarou mengangguk, kemudian memejamkan mata. Memang benar adanya, tubuhnya rasanya sangat lelah luar biasa, rasanya seperti Rintarou baru saja melakukan kegiatan berat seharian ini.

“Iyalah capek,” Rintarou merasakan sapuan pelan di keningnya, jemari yang menyingkirkan anak rambutnya di keningnya, “lo kerasukan bocah. Lo tau sendiri bocah itu gimana? Itu bocah ngajakin semua orang main, kalo ada yang nolak dia bakal nangis kejer sampe trantrum gitu. Jelas lo capek, sih. Kita yang ngeladenin lo juga capek tadi,” cerita Eita.

Rintarou kembali membuka matanya, ia menoleh ke arah Eita. “Kok gue bisa kerasukan lagi, ya? Padahal udah sebulan ini gue aman-aman aja,” ucap Rintarou.

Eita hanya menggeleng kecil, “coba lo inget-inget lagi kenapa lo bisa kerasukan lagi!” tukas Eita. Jemari Eita yang mengelus pelan kening Rintarou sedikit membuat Rintarou merasa sedikit nyaman. Eita pun tampaknya tidak merasa sungkan ketika melakukan hal tersebut kepada Rintarou. “Kalung lo mana?” tanya Eita akhirnya.

Rintarou sontak terdiam, tangannya segera meraba leher dan dadanya, kemudian mendengus ketika tidak merasakan kalung pemberian Eita tidak berada di tempatnya.

“Anjir, gue lupa! Kayaknya tadi gue copot waktu ganti sebelum latihan voli, habis itu gue lupa pasang lagi!” tukas Rintarou kemudian.

Rintarou mengaduh kecil ketika merasakan sentilan di keningnya. Eita sengaja menyentil kening Rintarou dengan dua jarinya.

“Ceroboh banget. Kan udah gue bilang jangan dilepas!” tukas Eita.

Rintarou mendengus, “ya namanya lupa mau gimana!” balasnya.

“Sini bangun!” perintah Eita. Rintarou menurut, perlahan ia bangkit dari posisi tidurnya menjadi terduduk di atas tempat tidurnya.

“Kita masih di UKS sekolah ya?” tanya Rintarou.

Eita mengangguk. “Nih kalung lo!” tukas Eita memakaikan kembali sebuah kalung ke leher Rintarou.

“Makasih,” balas Rintarou.

“Udah baikan belum?” tanya Eita. Rintarou mengangguk. “Ya udah ayo siap-siap balik!” ajak Eita.

“Ini yang di sini cuma kita doang?” tanya Rintarou.

“Nggak juga, sih. Tuh penunggu UKS juga ada. Dari tadi ngeliatin lo mulu,” jawab Eita.

“Sem! Lo jangan bercanda!” tukas Rintarou mulai ketakutan.

Eita terkekeh, “serius gue.”

“Nggak lucu!” tukas Rintarou.

“Serius. Tapi nggak apa-apa. Dia nggak bakal ngapa-ngapain selama lo sama gue,” balas Eita.

Rintarou memicing menatap Eita. “Lo Semi beneran, kan? Bukan setan!” tuding Rintarou.

Eita sontak tertawa, “ya beneran!” tukas Eita, “nih pegang tangan gue kalo nggak percaya. Anget, kan?” tanya Eita.

Rintarou yang kini sudah menggenggam tangan Eita kemudian mengangguk. Tanpa sadar ia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Eita.

“Ya udah ayo pulang!” ajak Rintarou.

“Sabar, sabar. Nggak sabaran banget,” ucap Eita terkekeh.

“Sem, serius ih! Ini udah mulai sore. Hawanya udah mulai nggak enak!” tukas Rintarou.

Eita hanya diam mengikuti langkah Rintarou yang sedikit menariknya berjalan keluar dari ruang UKS sekolah. Suasana sore itu sudah semakin sore, hampir menjelang Maghrib malah, dan hal itu semakin membuat Rintarou was-was.

“Kita nunggu bokap gue jemput, ya.” Eita membuka suara setelah mereka berdua sampai di gerbang sekolah mereka. “Ntar gue anterin sekalian,” ucapnya kemudian. Rintarou hanya mengangguk kecil.

“Sun.”

“Apa?”

“Sekarang gue udah tau.”

“Udah tau apaan?” tanya Rintarou.

“Sekarang gue udah tau kenapa sejak kenal sama lo kenapa gue jadi sering mikirin lo. Apalagi sejak lo sering kerasukan. Perasaan gue bukan cuma sekedar kasian liat lo yang sering kerasukan, bukan sekedar gue yang pengen bantuin lo sebagai temen gue.”

Rintarou terdiam mendengar ucapan Eita, entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dan perutnya terasa mulas. Rintarou tiba-tiba merasakan gugup yang teramat sangat.

“Oh? Kenapa, tuh?” tanya Rintarou akhirnya menemukan kembali suaranya.

Eita tidak langsung menjawab, justru ia mengambil tangan Rintarou yang lain dan kini kedua tangan Rintarou digenggam erat oleh Eita. “Karena gue sayang sama lo. Bukan sekedar sayang sebagai temen, tapi lebih dari itu.” Eita menjawab mantap. Rintarou masih terdiam.

“Gue suka sama lo, Sun. Gue berniat ngasih kalung gue ke lo karena gue nggak mau lo diganggu sama ‘mereka’. Tapi untung aja bokap gue ngerti terus nyari kalung yang baru dan bisa gue kasih ke lo.” Eita kembali bersuara.

“Emang kedengarannya cliché sama cringe, tapi gue pengen ngelindungi lo dari makhluk-makhluk yang kayak gitu. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Maka dari itu, Sun, gue pengen lo terus di dekat gue, biar gue bisa ngelindungi lo.”

Rintarou diam seribu bahasa, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun disatu sisi, ia begitu bahagia bahwa ia akhirnya mengetahui ternyata perasaannya kepada Eita bukanlah perasaan cinta yang tidak terbalas. Faktanya bahwa Eita juga memiliki perasaan yang sama seperti Rintarou.

“Lo diem aja dari tadi, kesambet lagi lo?” tanya Eita tiba-tiba.

Rintarou mendadak kesal, ia melepaskan genggaman tangan Eita kemudian mencubit gemas lengan Eita.

“Aduh! Aduh! Sakit, Sun!” tukas Eita.

“Lo nggak ada romantis-romantisnya jadi orang!” tukas Rintarou.

“Ya habisnya lo diem aja! Gue kira lo kesambet lagi!” tukas Eita. “Jadi gimana?” tanya Eita kemudian.

“Gimana apanya, Sem?” tanya Rintarou balik.

“Gue udah jujur sama perasaan gue. Gue suka sama lo. Kalo lo gimana? Suka sama gue nggak?” tanya Eita.

“Suka, sih,” balas Rintarou dengan suara yang pelan.

“Kok kayak nggak yakin gitu?” tanya Eita.

“Ih bukan gitu! Gue cuma bingung harus nanggepinnya gimana. Lo tiba-tiba amat bilang suka sama gue. Mana gue ada persiapan buat dengerinnya!” tukas Rintarou.

“Emang lo butuh persiapan gitu, ya?” tanya Eita.

“Ya iyalah! Siapa yang nggak kaget tiba-tiba denger ada yang confess ke lo!” tukas Rintarou.

Eita terkekeh mendengar ucapan Rintarou. “Ya udah, gue mau tanya nih sekarang. Lo kira-kira mau nggak jadi pacar gue?” tanya Eita.

Rintarou kembali terdiam, sebelum akhirnya mengangguk kecil sebagai jawaban.

Eita tersenyum lebar, tangganya meraih tubuh Rintarou dan memeluknya. “Thanks, gue grogi banget semisal lo nolak confess gue.” Eita berbisik sebelum melepaskan pelukannya pada Rintarou.

“Jujur aja, gue nggak nyangka lo juga suka sama gue,” balas Rintarou.

“Asli, Sun, sebenarnya gue pengen nyium lo sekarang. Tapi malu banyak yang liat,” ucap Eita.

“Hah? Siapa yang liat? Nggak ada orang kok!” tukas Rintarou.

“Tuh, di kolam sana ada genderuwo melototin kita dari tadi.”

“Ih lo mah jangan nakut-nakutin!” seru Rintarou kesal. Ia segera merapatkan kembali tubuhnya ke tubuh Eita. Eita hanya terkekeh, kemudian kembali memeluk Rintarou.

Tidak lama setelah itu, mereka berdua bisa melihat mobil ayah Eita yang menepi tidak jauh dari mereka.

“Gue janji, besok bakal confess di tempat dan diwaktu yang proper dari ini. Jadi, siap-siap aja, ya!” Eita tersenyum menatap Rintarou.

Rintarou hanya bisa diam, berusaha menyembunyikan semburat merah yang mulai merambati kedua pipinya.

“Ayo pulang!”

—FIN