satu meja

narasi bagian tiga dari Catatan Akhir Sekolah, a semisuna story


Hampir satu jam Rintarou duduk di salah satu meja kafe sederhana yang tidak jauh dari sekolahnya. “Nyoklat” namanya, kafe anak muda yang menyediakan berbagai macam minuman berbahan dasar coklat dan minuman lainnya. Selain minuman juga ada snack atau paket makan, seperti nasi goreng, mi goreng atau nasi ayam.

Awalnya Rintarou ingin mengajak teman-temannya itu, namun mereka ternyata memiliki urusannya masing-masing ... jadilah Rintarou hanya duduk seorang diri. Di depannya segelas besar minuman coklat dingin bertabur parutan keju dan choco chips sudah setengah habis, sekotak kecil kentang goreng pun sudah hampir habis, sedang Rintarou sendiri masih tampak sibuk dengan ponsel di tangannya.

“Suna!”

Rintarou berjengit terkejut, ia mendongak, mendapati sosok Semi Eita yang berdiri di sebelah mejanya.

“Mau apa lo?” tanya Rintarou sedikit ketus. Sebenarnya Rintarou tidak membenci Eita, namun terkadang melihat Eita begitu bisa cukup untuk menaikkan emosi Rintarou jika ia mengingat apa yang pernah pemuda itu lakukan padanya dulu.

“Gue boleh duduk di sini nggak? Nggak ada meja kosong, nih. Gue mau bikin desain bentar,” ucap Eita.

Rintarou mengedarkan pandangannya ke penjuru kafe, dan memang benar siang itu keadaan kafe sedang ramai pengunjung. Satu meja bisa dipakai lebih dari dua orang, sedangkan Rintarou hanya sendirian.

“Yaudah duduk aja,” ucap Rintarou kemudian.

Eita tersenyum lebar, “thanks—”

“Nggak usah ngajak ngomong gue!” tukas Rintarou kemudian.

Eita meringis, mengangguk pelan. Ia kemudian duduk di hadapan Rintarou, mengeluarkan laptopnya tanpa suara dan menyibukkan diri dengan laptop di depannya.

Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Hingga setengah jam kemudian telah terlewati Rintarou masih diam sibuk dengan ponselnya. Eita melirik Rintarou sesekali namun tampak enggan untuk berbicara.

“Bisa nggak? Nggak usah lirik-lirik gitu!” akhirnya Rintarou buka suara. Ia sedikit risih merasakan Eita yang kerap kali meliriknya.

Eita tertawa gugup. Ia mengacak pelan rambutnya sebelum akhirnya memberanikan diri menatap Rintarou, “boleh minta saran nggak?” tanya Eita.

Rintarou mengernyit, “apaan?”

Eita tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya, sembari membawa laptopnya ia kemudian duduk tepat di sebelah Rintarou.

“Ngapain lo pindah!” seru Rintarou sebal.

“Ini. Gue mau minta saran soal desainnya. Biar enak juga ntar lo liatnya!” tukas Eita gelagapan, “gue nggak ada maksud apa-apa. Serius!” tukasnya lagi.

Rintarou mendengus, namun akhirnya diam. Ia membiarkan Eita duduk di sebelahnya.

“Menurut lo bagusan yang desain ini apa ini?” tanya Eita memperlihatkan dua desain berbeda kepada Rintarou.

“Ini lo semua yang ngerjain apa gimana? Temen sedivisi lo mana?” tanya Rintarou sebelum menjawab pertanyaan Eita.

“Ada kok, dua apa tiga orang gitu. Tapi nggak bisa ngerjain bareng, jadi gue dulu aja yang ngerjain mumpung luang juga,” jawab Eita. “Jadi yang mana menurut lo?” tanya Eita lagi.

Rintarou terdiam cukup lama menatap dua desain yang Eita perlihatkan padanya. Keningnya berkerut, tatapannya berpindah dari gambar di sebelah kanan ke gambar sebelah kiri.

Tanpa sadar Eita tersenyum, merasa lucu melihat Rintarou dengan wajah mengernyit kebingungan seperti itu.

“Kok malah bengong, sih, lo!” tukas Rintarou menatap Eita sebal.

Eita gelagapan, “sorry, sorry, gimana tadi?” tanya Eita.

Rintarou mendengus, sekali lagi menjelaskan pendapatnya tentang dua desain yang Eita perlihatkan. Namun lagi-lagi, Eita hanya diam menatap wajah Rintarou yang sedang serius berbicara di sebelahnya.

“Ihh, lo nyebelin banget gue ngoceh sampe berbusa lo diem doang nggak dengerin!” suara protes Rintarou kembali dilayangkan.

Sorry, lo lucu klo lagi serius soalnya.”

“Udah. Gue pulang!”

“Eh, eh! Suna! Suna! Iya, iya, sorry! Jangan ngambek!”

tbc