suaranya

narasi bagian lima belas dari Missing Cat, a semisuna story


Rintarou mendengus ketika tidak kunjung mendapatkan pesan balasan dari Eita. Sebelumnya Rintarou mengirimkan pesan kepada Eita jika Rintarou akan sedikit lama keluar kelas karena harus piket kelas terlebih dahulu. Namun sejak Rintarou mengirimkan pesan hingga ia selesai piket, tidak ada balasan pesan dari Eita ... bahkan membaca pesan Rintarou pun tidak Eita lakukan.

Langkah Rintarou sedikit ia hentakkan karena sebal. Entah kenapa ia merasa sebal tidak mendapatkan pesan balik dari Eita. Rintarou melangkahkan kakinya menuju gedung jurusan IPA, ia langsung pada tujuannya ... ruang kelas Eita.

Sorry, Semi-nya ada nggak?” tanya Rintarou kepada beberapa siswa yang masih di dalam kelas Eita.

“Oh, Semi klo jam-jam segini biasanya mampir ke ruang musik dulu,” jawab salah satu siswa.

“Oh, oke makasih,” balas Rintarou kemudian berbalik, berjalan meninggalkan ruang kelas Eita.

Rintarou lantas berjalan menuju gedung sekolah yang lain. Ia tahu persis di mana letak ruang musik walaupun ia jarang—bahkan tidak pernah—menginjakkan kaki di ruangan itu.

Ruang pintu musik sekilas tampak tertutup, Rintarou juga tidak bisa mendengar suara apa-apa dari dalam ruang musik. Tidak mengherankan, karena ruang musik adalah ruang kedap suara sehingga tidak bisa terdengar dengan jelas dari luar.

Rintarou berjalan mendekat, ia sedikit beruntung ketika melihat pintu ruang musik ternyata tidak sepenuhnya tertutup. Pintu itu terbuka sedikit, sehingga Rintarou masih bisa melihat isi dalam ruang musik itu.

Jantung Rintarou tiba-tiba berderak cepat ketika melihat dengan jelas Eita yang sedang duduk di sebuah kursi dengan gitar akustik di pangkuannya. Samar-samar Rintarou juga bisa mendengar suara Eita. Eita sedang bernyanyi dan suaranya indah sekali.

Rintarou seperti tersihir, ia hanya bisa diam mendengarkan alunan petikan gitar dan suara merdu Eita yang selaras dengan petikan gitar di pangkuannya.

“Sun, lo ngapain?”

Rintarou terlonjak kaget. Ia mendongak, tidak menyangka jika ia ketahuan mengintip Eita di ruang musik.

“Kok diem?” tanya Eita lagi.

“Nggak apa-apa,” balas Rintarou. “Lo kenapa bisa ada di sini?” tanya Eita.

“Ya lo juga gue chat nggak bales,” jawab Rintarou.

Eita langsung merogoh saku celananya, ia memeriksa ponselnya. Dan benar saja jika ada pesan dari Rintarou yang belum ia baca.

Sorry, gue nggak tau lo chat,” ucap Eita. “Mau balik sekarang?” tanya Eita.

“Bentar!” tukas Rintarou ketika Eita kembali masuk ke dalam ruang musik dan segera membereskan barang-barangnya, termasuk gitar yang tadi ia mainkan.

“Kenapa?” tanya Eita bingung.

“Nyanyiin buat gue, dong!” pinta Rintarou, “suara lo bagus.”

Eita terdiam, syok lebih tepatnya. Ia memalingkan wajahnya, tidak bisa menahan senyumnya.

“Kenapa, sih?” tanya Rintarou yang melihat keanehan pada tingkah Eita.

“Nggak. Gue malu,” balas Eita.

“Malu kenapa?” tanya Rintarou.

“Lo bilang suara gue bagus,” jawab Eita.

“Ya, kan, emang bagus! Lo nggak sadar suara lo bagus?” tanya Rintarou.

Eita menggeleng pelan, “bukan itu masalahnya,” ucap Eita.

“Terus apa?”

“Gue malu suara gue dipuji bagus sama lo, gebetan gue.”

Kini bukan hanya wajah Eita yang memerah malu, namun juga Rintarou. Rasa canggung di antara mereka tiba-tiba naik, Rintarou gelagapan, ia segera berjalan menuju gitar akustik yang diletakkan kemudian memberikannya kepada Eita.

“Cepet nyanyi dulu!” tukas Rintarou memerintah Eita. Tidak lupa dengan raut wajah malu-malu yang terlihat jelas di wajahnya.

Eita terkekeh, ia menerima gitar pemberian Rintarou yang kemudian mulai bernyanyi. Lagi-lagi, bukan Eita namanya jika tidak menggoda Rintarou, ia menyanyikan penggalan-penggalan lagu cinta yang justru semakin membuat Rintarou malu mendengarnya.

Ah, suara merdu Eita menambah daftar hal yang Rintarou sukai dalam hidupnya.

tbc