surprise dinner

narasi bagian tiga puluh satu dari Dua Sisi, a Suna Harem story


cw // long naration

Waktu tampaknya berjalan begitu cepat bagi Rintarou. Sore tadi ia masih sibuk dengan persiapan apa saja yang harus ia siapkan sebelum bertemu Tooru yang mengajaknya makan malam. Apalagi ia harus benar-benar melatih mentalnya, karena ia benar-benar tidak bisa menebak apa yang akan terjadi malam ini.

Bisa saja berita baik untuknya, namun bisa saja itu adalah berita buruk untuknya.

Rintarou berkali-kali menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tidak pernah memakai setelan formal semacam ini. Sebenarnya pernah, hanya saja itu sudah lama sekali. Dan sejak ia menyamar menjadi sosok Nana, ia lebih sering mengenakan pakaian yang menurutnya lucu dan seksi, bukan seformal ini.

Rintarou merasa sedikit aneh. Namun ia cukup puas dengan setelan yang ia pakai. Ia tampak menawan dan tampan.

Bunyi bel di pintu apartemennya membuat Rintarou sedikit terlonjak kaget. Ia buru-buru mengambil ponsel dan dompetnya, kemudian berjalan cepat menuju pintu. Ketika pintu terbuka, sosok Tooru yang terlihat sangat tampan malam ini sudah menunggu.

Tooru tersenyum lebar ketika melihat Rintarou. “Tuh, kan! Gue yakin lo bakal cakep banget!” tukasnya.

Rintarou berusaha menutupi rasa malunya karena pujian yang Tooru lontarkan. Ia mencubit pelan perut Tooru guna membuat Tooru diam.

“Udah, ah! Buru! Mau ngajak gue ke mana lo?” tanya Rintarou mengalihkan pembicaraan.

Tooru tersenyum lagi. “Ntar pasti juga lo tau, kok,” balasnya. “Ya udah ayo jalan!” ajak Tooru.

Rintarou mengangguk. Segera saja ia mengunci pintu apartemennya dan berjalan bersisihan bersama Tooru menuju lift. Keduanya berdiri bersebelahan ketika pintu lift tertutup. Tooru menekan tombol angka paling kecil, tidak lama kemudian lift mulai perlahan bergerak turun.

Tooru menoleh menatap Rintarou. Tanpa sengaja ia melihat sedikit bekas kemerahan di leher Rintarou. Tanpa sadar wajahnya berubah ekspresi, namun cepat-cepat ia menetralkan amarah dan berusaha menjadi sosok Tooru seperti biasa di depan Rintarou.

“Lo nggak bakal ngajak gue aneh-aneh, kan, habis itu?” tanya Rintarou tiba-tiba.

Tooru menggeleng, “emang gue bakal ngajak aneh-aneh apa coba?” tanya Tooru balik.

“Ya kali aja,” balas Rintarou.

“Nggak, kok. Lo tenang aja. Nggak perlu khawatir,” ucap Tooru.

Mereka berdua sampai di basement gedung apartemen mereka, segera saja berjalan menuju mobil milik Tooru. Rintarou sedikit terkejut ketika ia berniat membuka pintu mobil namun sudah lebih didahului oleh Tooru yang membukakan pintu mobil untuknya.

“Gue bisa buka sendiri padahal,” ucap Rintarou.

Tooru terkekeh, “anggap aja ini service gue malam ini,” ucap Tooru.

Rintarou bergumam terima kasih sebelum masuk ke dalam mobil. Tooru menutup pintu mobil penumpang begitu Rintarou sudah menyamankan diri di kursi penumpang. Ia berjalan memutar, membuka pintu bagian sopir.

“Siap?” tanya Tooru sebelum menyalakan mesin mobilnya.

Rintarou mendelik, “lo tanya gituan malah bikin gue makin deg-degan! Lo mau ngajak gue makan malam kenapa harus seformal ini, sih!” tukas Rintarou.

Tooru terkekeh lagi, “dibilang formalitas. Biar sopan aja kesannya,” balasnya. “Ya udah. Yuk berangkat!” ajak Tooru kemudian menyalakan mesin mobil.

***

Rintarou mulai mengerti kenapa Tooru memintanya untuk memakai setelan formal, karena memang tempat yang mereka datangi saat ini lebih sering didatangi oleh orang-orang dari kalangan berduit.

Rintarou sama sekali tidak canggung ketika berjalan memasuki restoran bintang lima dengan sambutan para pelayannya. Rintarou cukup sering diajak ke tempat seperti ini saat ia masih kecil dulu oleh kedua orang tuanya guna acara bisnis bersama kolega orang tuanya.

Namun kegiatan itu berhenti ketika Rintarou mulai beranjak dewasa. Kegiatan seperti itu hanya membuatnya bosan, ia sama sekali tidak paham apa yang para orang dewasa bicarakan. Yang mereka bicarakan hanyalah bisnis ini dan bisnis itu, tidak ada pembicaraan tentang kartun yang sering ditontonnya.

Beberapa pelayan menyambut kedatangan Rintarou dan Tooru, kemudian menunjukkan jalan ruangan mana tempat yang sudah Tooru siapkan sebelumnya.

Sebuah ruangan privat yang tertutup. Rintarou mengangguk kecil, mungkin Tooru memang hanya ingin mereka bisa menikmati waktu bersama tanpa gangguan pengunjung-pengunjung lainnya.

Pintu ruangan privat itu terbuka, Tooru mempersilahkan Rintarou untuk berjalan masuk terlebih dahulu. Tanpa ragu Rintarou melangkahkan kakinya masuk. Namun langkahnya langsung terhenti seketika ketika melihat siapa yang sudah lebih dulu ada di dalam ruangan itu.

Sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan awet muda langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan sedikit cepat menghampiri Rintarou yang masih diam mematung.

“Rin, sayang! Mama kangen banget sama kamu, nak!” seru wanita itu. Pelukan hangat bisa Rintarou rasakan setelahnya. Sudah lama sekali ia tidak pernah merasakan pelukan hangat dari wanita yang telah melahirkannya itu.

Deheman dari sosok lain membuyarkan lamunan Rintarou. Ia menoleh dan tepat kedua matanya bertatapan dengan sorot tajam pria paruh baya ke arahnya.

“Ayo, sayang! Duduk!” Rintarou hanya menurut saja ketika sang ibu menuntun Rintarou berjalan menuju meja makan.

Rintarou menoleh ke belakang ketika Tooru lagi-lagi menarik kursi untuk Rintarou duduki. Rintarou kemudian duduk, masih mengamati bagaimana Tooru juga melakukan hal yang sama kepada ibunya.

“Kapan papa sama mama pulang?” tanya Rintarou berbasa-basi.

Suasana menjadi cukup canggung karena memang sejak orang tuanya yang mengetahui hubungannya dengan Eita dulu, Rintarou menjadi jauh dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya menyibukkan diri dengan pekerjaan mereka, dan Rintarou yang menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri.

“Beberapa hari yang lalu. Nak Tooru yang meminta mama dan papa kembali,” jawab sang ibu.

Rintarou menoleh menatap Tooru. “Lo kenal sama ortu gue?” tanya Rintarou terkejut.

Kekehan kecil terdengar dari satu-satunya wanita yang ada di ruangan itu. “Ya kenal, dong! Masa nggak kenal. Dulu, kan, Nak Tooru sering banget main sama kamu juga waktu masih kecil dulu.”

Perkataan sang ibu membuat Rintarou mengernyit bingung. Dia dan Tooru sering bermain bersama? Ketika masih kecil? Kenapa Rintarou tidak mengingatnya?

“Om, Tante, sebelum membahas ini lebih lanjut, lebih baik kita makan dulu. Kita bisa membahasnya nanti setelah makan malam.” Tooru mengusulkan yang disambut dengan anggukan setuju dari kedua orang tua Rintarou.

Rintarou hanya bisa diam. Mencoba mengikuti alur apa yang akan terjadi setelah ini. Tooru mengenal kedua orang tuanya. Mereka makan malam bersama. Dan hal apa yang ingin mereka diskusikan. Segala spekulasi banyak berkeliaran di kepala Rintarou. Bagaimana Tooru bisa mengenal keluarganya? Kenapa Rintarou tidak mengingat apapun tentang Tooru jika benar kata ibunya jika mereka sering bermain bersama ketika masih kecil.

“Rin, mikirin apa?”

Rintarou sontak menoleh ke arah Tooru. Rin?. Sejak kapan Tooru memanggilnya dengan panggilan Rin seperti itu?

Rintarou menggeleng pelan, kemudian mulai menikmati makan malam yang sudah disajikan pihak restoran untuknya.

***

Acara makan bersama selesai setelah dessert yang dipesan juga telah habis. Rasanya Rintarou hampir saja memuntahkan makanan yang baru saja ia makan ketika merasakan hawa aneh di dalam ruangan itu.

Sejak ia memasuki ruangan itu, ayahnya sama sekali tidak mengatakan sepatah katapun. Rintarou sudah berusaha membuka obrolan dengan sang ayah, namun ibunyalah yang selalu menanggapinya. Sang ayah hanya diam terus menikmati hidangannya.

“Sebelumnya, saya ingin meminta maaf kepada om dan tante yang sudah sedikit memaksa om dan tante untuk kembali ke Indonesia. Padahal saya tau jika pekerjaan om dan tante di luar negeri sana sedang sibuk-sibuknya.” Rintarou menoleh ke arah Tooru. Sama sekali ia tidak melihat aura jahil dan kekanakan yang biasa Tooru tunjukkan kepada dirinya. Tooru tampak serius dan sangat menghormati kedua orang tuanya.

“Ah, tidak masalah, Nak Tooru! Kami malah senang bisa kembali ke Indonesia walaupun hanya sebentar. Apalagi bisa bertemu dengan Rintarou juga!” tukas ibu Rintarou.

“Om?”

“Katakan saja langsung pada poinnya! Tidak usah bertele-tele. Apa maumu!” tukas ayah Rintarou dengan nada suara yang super tegas.

Rintarou sudah mencuit ketika mendengar suara ayahnya, berbeda dengan Tooru yang tampak masih tenang-tenang saja.

“Masih sama seperti yang saya katakan setiap kali saya menemui om dan tante,” Tooru menoleh ke arah Rintarou dan tersenyum kecil, “saya bermaksud meminta ijin dari om dan tante, saya berniat untuk melamar Rintarou dan membawa Rintarou kembali ke Argentina—“

“HAH!?” Rintarou reflek berdiri dari kursinya, terlalu terkejut dengan perkataan Tooru yang tiba-tiba. “Maksud lo apa? Lo ngelamar gue? Bawa gue ke Argentina? Maksud lo apaan!?” tanya Rintarou mendadak emosi.

“Rin, dengarkan apa yang ingin Nak Tooru sampaikan lebih dulu. Duduklah!” Rintarou menatap ibunya yang tampaknya tidak terlalu terkejut dengan perkataan Tooru tadi.

“Tapi, Ma—“

“Tooru, kau tau betul anakku itu laki-laki. Dan kau tau apa yang aku lakukan ketika tau satu-satunya anak laki-lakiku berhubungan dengan sesama laki-laki. Kau pikir dengan kau menanam saham terbesar di perusahaanku, aku akan memberikan anakku padamu?” tanya ayah Rintarou.

Rintarou kembali tercengang. Tooru? Penanam saham terbesar di perusahaan ayahnya?

“Meskipun begitu! Saya tidak akan menyerah. Saya menginginkan Rintarou dalam hidup saya!”

“Kau bisa mendapatkan perempuan yang lebih cantik dan dari kalangan terpandang, dibandingkan anakku yang bukan siapa-siapa!”

Hantaman tak kasat mata seperti menghantam Rintarou ketika ia mendengar apa yang ayahnya katakan tentang dirinya. ‘Bukan siapa-siapa’, beliau bilang. Rintarou tahu, kenyataan bahwa Rintarou menyukai seorang laki-laki yang berjenis kelamin sama dengannya itu membuat orang tuanya kecewa. Namun ia tidak menyangka jika ia sudah membuat kecewa ayahnya terlalu dalam hingga ayahnya tega merendahkan dirinya di depan Tooru seperti itu.

“Yang saya inginkan adalah Rintarou, Om. Bukan puluhan perempuan yang pernah om sodorkan kepada saya!” tukas Tooru. Rintarou kembali terkejut, benarkah ayahnya pernah melakukan seperti itu kepada Tooru. “Saya mencintai Rintarou. Om pikir untuk apa saya bekerja keras selama ini jika bukan untuk memantaskan saya di depan Rintarou dan keluarga om? Saya ingin membahagiakan Rintarou, memberikan segala sesuatu yang Rintarou inginkan, karena saya ingin Rintarou mendapatkan yang terbaik untuknya!”

“Kau itu masih anak bawang. Tau apa kau soal membahagiakan orang lain?” cecar ayah Rintarou. “Tinggalkan anak saya. Pergi cari saja wanita yang cocok mendampingi dirimu!”

“Om—”

“Pembicaraan ini selesai!” ayah Rintarou berdiri dari duduknya, bersiap untuk pergi. “Jauhi anak saya dan jangan pernah mendekati keluargaku lagi!” tukas sang ayah.

“Om! Saya mohon!” Rintarou sangat terkejut ketika melihat Tooru yang tiba-tiba ikut berdiri, mengejar ayah Rintarou kemudian bersimpuh di depan kaki ayah Rintarou. “Saya benar-benar mencintai Rintarou. Saya mohon ijinkan saya melamar Rintarou!” apa yang dilakukan Tooru selanjutnya benar-benar membuat Rintarou tidak habis pikir. Tooru bersujud di depan kaki ayahnya demi meminta restu.

“Nak Tooru, jangan seperti itu. Berdirilah!” suara lembut sang ibu terdengar, ia berjalan mendekati Tooru.

“Tidak! Saya tidak akan berdiri sebelum om memberikan ijin!” tukas Tooru.

Rintarou berjalan menghampiri Tooru, berusaha menarik Tooru berdiri.

“Oik, udah. Jangan gitu,” ucap Rintarou.

“Saya tetap tidak akan memberikan anak saya padamu. Atau kepada laki-laki lain!” tukas sang ayah. “Rin! Kau ikut pulang bersama kami! Jangan pernah temui Tooru lagi!”

“Tapi, Pa—”

“Rin! Dengarkan aku atau kau tidak perlu pulang untuk seterusnya!” Rintarou bungkam, ia bisa merasakan pelukan ibunya yang kemudian menuntun Rintarou berjalan bersama.

Langkah Rintarou tampak berat. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa ketika tatapan tajam sang ayah dilayangkan kepadanya. Mau tidak mau ia berjalan mengikuti langkah ayahnya.

Rintarou menoleh. Hatinya mencelos ketika melihat Tooru masih setia dalam posisinya. Masih bersujud dan sama sekali tidak bergerak, bahkan ketika Rintarou benar-benar sudah meninggalkan ruangan itu.

Sepuluh menit berlalu, Tooru perlahan bangkit dari posisi bersujudnya. Kedua matanya terpejam, ia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.

“Nggak semudah yang gue kira ternyata.”

tbc