tanda-tanda

narasi bagian dua puluh dari Dua Sisi, a Suna Rintarou harem story


Shinsuke dan Rintarou sampai disalah satu restoran cepat saji yang menyediakan beberapa pilihan menu olahan daging ayam. Rintarou cukup heran, ternyata sekelas Shinsuke pun juga menyukai makanan cepat saji seperti yang disediakan di restoran ini.

Setelah keduanya selesai memesan, keduanya kemudian memilih tempat duduk yang berada di dekat dengan jendela. Suasana restoran itu cukup ramai, mungkin karena memasuki jam makan siang sehingga restoran itu cukup padat pengunjung siang itu.

“Gue kira Kak Shin nggak suka makanan kayak gini loh!” tukas Rintarou.

“Makanan cepat saji maksud kamu?” tanya Shinsuke.

Rintarou mengangguk, “iya. Soalnya gue nggak pernah liat lo makan makanan kayak gini, sih,” ucap Rintarou.

“Tidak pernah lihat bukan berarti tidak suka, kan?” tanya Shinsuke balik. “Saya memang jarang membeli makanan seperti ini. Hari ini pengecualian, saya sedang ingin makan menu ayam,” jelas Shinsuke.

“Ayam goreng ginian itu udah bisa, Kak!” tukas Rintarou, “kapan-kapan gue ajakin lo nyobain ayan geprek yang enak di sekitar sini, deh!” tukas Rintarou.

“Kalau kamu punya rekomendasi tempat makan bagus, kenapa tidak bilang dari tadi?” tanya Shinsuke.

“Bukan nggak mau bilang. Tapi kapan-kapan aja. Katanya Kak Shin lagi pengen ayam goreng, yaudah di sini dulu aja. Ayam gepreknya kapan-kapan aja,” jelas Rintarou.

“Padahal kalau kamu keberatan makan di sini, kita bisa pindah,” ucap Shinsuke.

“Bukan keberatan. Gue nggak masalah diajak makan di mana aja selama bikin gue kenyang. Gue nggak masalah sama ayam goreng sekarang, jadi di sini aja juga nggak apa-apa,” ucap Rintarou.

Shinsuke menghembuskan napasnya pelan, “besok-besok kalau kamu ingin sesuatu, bilang saja. Tidak perlu malu,” ucap Shinsuke.

Rintarou mengangguk, “iya, iya. Ngerti kok.”

“Suna, saya ingin bertanya,” ucap Shinsuke tiba-tiba.

“Huh? Tanya apaan? Tanyain aja,” balas Shinsuke.

“Kalau saya lihat, di antara teman-teman kamu, dari anak-anak asrama juga. Sepertinya hanya kamu yang tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Kenapa?” tanya Shinsuke. “Saya bukan ingin men-judge kamu karena kamu terlalu sering nebeng teman kamu. Saya hanya penasaran saja kenapa.” Shinsuke menjelaskan.

“Oh, iya juga, sih. Kalo dipikir-pikir emang cuma gue kayaknya yang nggak naik kendaraan sendiri. Gue lebih sering ojek, taksi atau nggak nebeng,” ucap Rintarou. “Nggak dibolehin, Kak, sama bokap,” jawab Rintarou kemudian.

“Kenapa tidak boleh?” tanya Shinsuke.

“Biasalah ortu terlalu parno. Gue pernah nabrak tiang sama pembatas jalan dulu waktu belajar naik motor sama mobil. Trus bokap jadi parno misal gue nyetir sendiri gue bakal nabrak lagi.” Cerita Rintarou. “Jadi nggak dibolehin, deh, naik kendaraan sendiri.”

“Tapi sekarang kalau harus naik motor atau mobil sendiri, kamu bisa?” tanya Shinsuke.

“Ya enggaklah!” tukas Rintarou, “orang sejak insiden nabrak gitu gue bener-bener nggak dibolehin ngendarai kendaraan sendiri. Gue sama adek gue sama-sama nggak bisa nyetir kendaraan sendiri,” jelas Rintarou.

Shinsuke mengangguk-angguk. “Jadi itu sebabnya kamu sering memesan kendaraan online?” tanya Shinsuke.

Rintarou mengangguk, “itung-itung berbagi rejeki aja ke ojek atau taksi online gitu,” balas Rintarou.

“Kalau dengan Semi? Sepertinya kamu dan Semi sering pergi berdua, ya? Semi sering mengantar kamu?” tanya Shinsuke.

“Seperti yang pernah gue bilang dulu, Kak. Gue barengan sama Semi juga udah lama, sih, Kak. Sejak sekolah juga gue nebengnya dia. Jadi udah kebiasaan aja gitu kadang mau ke mana gitu dianter dia,” jawab Rintarou. “Kalau bareng si kembar paling pas gue mau ke apart yang di Inari. Kan deket, tuh, sama rumah si kembar.”

Shinsuke mengangguk-angguk mengerti. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Baik Rintarou atau Shinsuke kemudian menunda percakapan mereka dan fokus pada makanan masing-masing.

Rintarou tampak menikmati makanan yang ia pesan. Berbeda dengan Shinsuke yang sesekali melirik ke arah Rintarou. Lebih tepatnya ke arah bibir Rintarou yang kerap terbuka dan tertutup saat menikmati makanannya.

Sejak mengetahui bahwa sosok pemilik akun bernama Nana itu adalah Rintarou, Shinsuke sama sekali tidak bisa tidak memikirkan Rintarou. Belum lagi ketika mengingat bagaimana Rintarou saat mabuk dan berada di pangkuannya. Rintarou memang laki-laki sama seperti dirinya, namun Shinsuke tidak bisa berbohong jika ia merasa Rintarou sangat cocok berada di pangkuannya.

Benar kata Wakatoshi. Ketika Shinsuke memegang pinggang Rintarou, pinggang adik kelasnya dulu itu begitu ramping dan seperti sangat pas untuk dipeluk. Shinsuke kembali tergoda jujur saja. Mengingat bagaimana seksinya sosok Rintarou ketika menjilati sendok es krim yang ia gunakan untuk menyuapi Rintarou membuat pikiran Shinsuke melayang ke mana-mana.

Lalu, paha itu. Paha yang sering Nana pamerkan yang hanya ia bisa nikmati di layar ponsel belaka. Setelah mengetahui jika Nana adalah Rintarou dan sosok Rintarou begitu dekat dengan Shinsuke, Shinsuke tidak bisa menahannya; Shinsuke benar-benar ingin menandai paha itu dengan tandanya.

“Suna, nanti malam saya boleh main ke kamar kamu?”

“Hah? Tiba-tiba amat?” tanya Rintarou.

“Sekali-kali. Mumpung kamu di asrama,” balas Shinsuke. “Sekalian temani saya mengerjakan laporan jika kamu tidak keberatan,” sambung Shinsuke.

Rintarou mengangguk-angguk, “nggak apa-apa, sih. Asal gue jangan diminta buat ikut ngerjain laporan lo.”

“Tidak. Kamu cukup temani saya saja,” balas Shinsuke.

Rintarou mengangguk, “dateng aja ntar terserah Kak Shin mau jam berapa,” ucap Rintarou.

Shinsuke mengangguk. Ia terus menatap Rintarou yang seperti tidak sadar jika Shinsuke terus menatapnya.

Jika saja Rintarou tahu bahaya apa yang mungkin saja mengincarnya karena sudah mengijinkan Shinsuke masuk ke kamarnya.

tbc