tiba-tiba datang

narasi bagian empat dari Mantan, a semisuna short story


Rintarou memang mengatakan ia akan mengerjakan tugas makalah kepada sahabat kembarnya, ia juga sudah meletakkan ponselnya sedari tadi. Namun jangankan untuk mengerjakan tugas, bangkit dari tempat tidurnya saja rasanya sangat malas. Pikirannya masih berkecamuk mengenai siapa siswi yang sudah dua kali ia lihat terlihat sangat dekat dengan Eita.

Siswi itu cantik. Rambut panjang terlihat halus, wajah cantik putih, tubuh langsing, dadanya juga lumayan. Siapa yang tidak senang bisa dekat dengan siswi secantik itu? Jika saja Rintarou masih menyukai perempuan, Rintarou pasti juga akan senang bisa dekat dengan siswi itu. Mungkin itu juga yang dirasakan Eita. Daripada harus berpacaran dengan sesama laki-laki sepertinya, lebih baik berpacaran dengan siswi cantik itu. Lagi pula, Eita dan siswi itu terlihat cocok juga.

Rintarou masih memikirkan kegalauannya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Rintarou menoleh, tubuhnya langsung terlonjak kaget ketika melihat Eita sudah berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Rintarou kesal.

“Tante tadi yang ngijinin gue masuk,” ucap Eita.

“Pulang sana!” usir Eita.

“Gue mau ngomong loh sama lo ini. Masa diusir?” tanya Eita.

“Ya bodo amat. Gue nggak mau ngomong sama lo!” tukas Rintarou. Ia memalingkan wajahnya, berusaha menutupi kegugupannya kenapa tiba-tiba Eita sudah ada di kamarnya.

Eita berjalan mendekati Rintarou, tempat tidur yang sedikit bergerak karena bertambahnya beban membuat Rintarou tahu jika saat ini Eita sudah duduk di tempat tidurnya.

“Udahan dong marahnya,” ucap Eita, “nggak capek apa marah terus udah semingguan?” tanya Eita.

“Gue marah sama lo selamanya, ya! Pergi sana!” usir Rintarou lagi.

Eita menghembuskan napasnya pelan, menatap Rintarou dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Rin, mau denger cerita nggak?” tanya Eita. Rintarou hanya diam tidak menjawab. Diamnya Rintarou membuat Eita akhirnya meneruskan apa yang ingin ia ceritakan. “Jadi, dua minggu yang lalu sepupu gue dateng ke sini. Dia bilang, dia pengen sekolah di sini karena dia udah nggak tinggal lagi sama ortunya. Ortunya pisah dan dia milih buat tinggal sama keluarga omnya, which is itu keluarga gue. Seminggu yang lalu dia baru pindah ke sekolah kita dan masuk di kelas dua belas. Kakak kelas kita gitulah. Pas gue nemenin dia buat keliling sekolah, nggak tahunya ketemu sama lo. Eh, lo-nya salah paham dan malam minta putus tanpa dengerin penjelasan gue. Lo tahu nggak, Rin? Sepupu yang gue maksud itu, cewek yang lo liat lagi berduaan sama gue itu di taman sekolah. Namanya Alisa, dia sepupu gue.”

Rintarou mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali. Telinganya sudah ia pasang lebar-lebar sedari tadi ketika mendengarkan cerita dari Eita.

Tadi Eita bilang apa? Cewek yang satu minggu lalu itu gue pergoki bareng Eita itu sepupu Eita? Cewek cantik itu? Cewek cantik yang tadi diparkiran juga? Batin Rintarou berteriak setelah mendengar cerita Eita.

“Rin, kok diem?” tanya Eita menyadarkan Rintarou. “Rin?”

Rintarou sangat malu. Rasanya ia ingin menangis. Jadi selama satu minggu ini dia galau sampai putus dari Eita itu karena kesalahpahaman bodohnya?

“Rin?”

Rintarou menoleh, wajahnya sudah memerah malu antara memerah malu karena merasa bodoh, atau menahan tangisnya.

“Eh, Rin, kenapa deh mukanya kok gitu?” tanya Eita.

“EITA NYEBELIN!” seru Rin tiba-tiba. Ia baru saja ingin menerjang Eita, berniat memeluk pemuda itu ... namun dengan cepat Rintarou sadar dan menghentikan aksinya. Eita itu mantannya, mana ada Rintarou seenaknya memeluk mantannya itu sama seperti ketika mereka masih bersama.

Eita yang sadar akan keraguan-raguan Rintarou pun terkekeh. Ia memajukan tubuhnya mendekati Rintarou, kemudian membawa Rintarou masuk ke dalam pelukannya. Rintarou tidak tahu lagi harus bagaimana, ia langsung memeluk punggung Eita, menyembunyikan wajahnya di dada Eita. Sedangkan Eita masih terkekeh kecil dan terus mengelus punggung dan rambut Rintarou penuh sayang.

“Kenapa, hmm?” tanya Eita.

“... lu.”

“Apa?”

“MALUUUUU—”

“Aduh!”

“Eh!?”

Rintarou gelagapan. Ia yang reflek menjauhkan wajahnya dari dada Eita, malah tidak sengaja menyundul dagu Eita dengan kepalanya.

“Eita...”

“Nggak apa-apa kok,” balas Eita mengelus pelan dagunya yang masih sedikit terasa ngilu.

“Maaf.”

“Iya, nggak apa-apa,” balas Eita, “udah nggak marah lagi?” tanya Eita. Rintarou menggelengkan kepalanya pelan.

“Eita marah sama Rin?” tanya Rintarou. Oh! Rintarou sudah kembali seperti dulu ketika mereka masih berpacaran. Suara lirih Rintarou ketika menyebutkan namanya sendiri terdengar menggemaskan di telinga Eita.

Eita menggeleng, “enggak kok. Nggak marah,” jawabnya. Bagaimana Eita bisa marah jika kekasihnya itu terlihat menggemaskan seperti ini.

“Tapi Rin udah minta putus sama Eita?” tanya Rintarou.

“Loh? Kata siapa kita putus?” tanya Eita.

“Seminggu yang lalu, kan, Rin minta putus? Kita udah putus!” tukas Rintarou.

“Loh emang aku setuju klo kita putus? Emang aku iyain klo kita putus? Itu, kan, Rin doang yang nganggep kita putus.” Rintarou menatap Eita dengan tatapan tidak percayanya. “Klo aku setuju kita putus, ya ngapain juga aku masih sering nemenin Rin? Nganter-jemput Rin? Jenguk Rin waktu sakit juga? Masih dekat juga sama mama papa Rin. Aku nggak pernah menganggap kita ini putus loh, Rin,” ucap Eita terkekeh.

“KOK EITA NYEBELIN, SIH!!!??” teriakan Rintarou kembali menggema di seisi kamarnya. Eita semakin tertawa melihat reaksi lucu dari kekasihnya itu.

“Jadi gimana? Masih mau pacaran sama aku nggak?” tanya Eita.

Rintarou diam lagi. Dia masih benar-benar malu karena sudah banyak salah paham pada Eita.

“Gimana, Rin? Masih mau pacaran?” tanya Eita.

“Mau.” Suara Rintarou terdengar sangat lirih.

“Apa, Rin? Nggak denger!” tukas Eita menggoda Rintarou.

“Mau.”

“Apa?”

“MAUUU!! MAU JADI PACAR EITA LAGI!”

“Adek! Dari tadi kok teriak-teriak terus kenapa, sih?” suara lembut dari arah pintu membuat Rintarou dan Eita menoleh. Di sana, sosok wanita cantik yang melahirkan Rintarou tujuh belas tahun yang lalu itu berdiri. “Seneng banget kayaknya udah balikan sama Mas Eita sampai teriak-teriak gitu,” komentar mama Rintarou sambil terkekeh kecil.

“MAMA BERISIK!” teriak Rintarou lagi. Wanita cantik itu tertawa, kemudian berjalan meninggalkan kamar putranya. Kedua orang tua Rintarou memang sudah tahu jika putra mereka mempunyai ketertarikan seksual yang berbeda dari remaja laki-laki pada umumnya, tetapi mereka tetap menerima yang menjadi pilihan Rintarou putra mereka. Asalkan pilihan itu membuat Rintarou bahagia, itu sudah cukup untuk kedua orang tuanya.

“Eita masih sayang nggak, sih, sama Rin?” tanya Rintarou.

“Sayang dong. Cinta malah. Masa iya enggak!” tukas. Eita.

“Rin juga sayang Eita.”

Aduh, Eita tidak kuat. Rintarou saat ini benar-benar menggemaskan di matanya.

“Eita ... mau cium,” bisik Rintarou pelan.

Eita langsung duduk tegak dan bersemangat. Satu minggu lebih tidak mendapatkan kontak cinta dengan Rintarou benar-benar membuatnya sangat merindukan kekasihnya itu. Akhirnya setelah mendapatkan persetujuan dari Rintarou, Eita kembali membawa Rintarou lebih dekat dengannya. Ia meraih dagu Rintarou, mendekatkan wajah mereka hingga bibir mereka saling bertaut.

Malam itu Rintarou tidak lagi galau. Ia sudah kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya—padahal yang menganggap mereka putus hanyalah Rintarou, Eita sama sekali tidak berpikir bahwa mereka itu sudah putus. Pantas saja mantannya itu terlihat masih perhatian pada Rintarou, karena sejak awal ... definisi ‘mantan’ itu tidak ada di antara mereka.

•••