“Kalau prinsipnya hanya untuk berteman, lantas mengapa harus merasa takut kehilangan?”


Kira-kira seperti itulah isi kepala seorang Sherin selama satu bulan terakhir. Terdengar menyedihkan, karena ia selalu berusaha denial terhadap dirinya sendiri, tapi memang begitu kenyataannya. Katanya, Sherin tak ingin terjerumus lebih dalam lagi.

Alih-alih begitu, sebenarnya Sherin belum siap untuk sakit hati (lagi). Kehidupannya telah banyak dikecewakan oleh harapan dan ekspektasinya sendiri. Ia tak ingin ini terjadi juga pada kisah romansa miliknya.

Terlalu banyak sesuatu menghampirinya dalam satu bulan ini. Terlalu banyak juga isi hati dan pikiran yang ingin ia ceritakan pada sosok yang sengaja menghilang (atau mungkin dirinya yang terlalu berharap).

Jevano Ardian, namanya. Seseorang yang menjadi “sementaranya” selama hampir satu tahun. Mengisi hati, bukan menetap. Memenuhi pikiran hingga akhirnya meninggalkan jejak.

Bagaimana bisa seorang Sherin mengagumi— bahkan menyukai satu makhluk Tuhan yang kerap dipanggil 'Jevano' selama satu tahun lebih walaupun pernah dikecewakan. Tidak, sebenarnya ia pernah berada di dalam fase “Okay, I'll stop here.” dan benar-benar berperan layaknya tanda titik. Namun kedatangan Jevano untuk kedua kalinya yang sudah jelas out of nowhere setelah 120 hari itu membuat dirinya sedikit goyah.

Alur yang dijalani mereka berdua setelah kedatangan Jevano benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Yang membedakan adalah Jevano semakin terbuka pada dirinya, obrolan mereka berdua juga semakin meluas dan tidak flat seperti dulu. Sherin sendiri semakin berani untuk berbicara. Namun dibalik itu semua, ada keraguan dan ketakutan yang ia simpan.

Terkadang, Sherin ingin sekali berbicara tentang perasannya tapi ia sendiri sangat yakin kalau Jevano telah mengetahuinya. Dan juga ia takut kalau sosok Jevano itu akan menghilang tanpa pamit. Padahal, kalau prinsipnya hanya untuk berteman, kenapa harus takut akan kehilangan?

Di tengah malam seperti ini, Sherin masih memandangi chat room dirinya dengan Jevano. Jemarinya belum lelah mengetik sesuatu, lalu hapus, ketik lagi, hapus lagi. Sherin hanya tak ingin dianggap “Apa sih ni cewek gak jelas banget.”, tapi ia juga rindu berbincang dengan lelaki itu hingga fajar tiba.

Sherin bisa saja menggunakan alibi andalannya dengan berpura-pura salah kirim, bertanya sesuatu, ataupun meminta rekomendasi. Namun, entahlah, dirinya sekarang merasa sangat sungkan dan berhati-hati. Loh, kan hanya berteman, kenapa harus sungkan?

Hingga dirinya tak sadar kalau ada notifikasi pesan masuk sejak dua menit yang lalu.

“Typing terus daritadi, ada apa?”

alah siah mampus...

“hah? oh, ngga, gapapa”

“Ooh” “Kalo mau cerita mah cerita aja”

hah? apa katanya?

“iyaa” “aku ngeganggu gak??”

“Nggaaa” “Aku tuh kemaren kemaren emang jarang buka whatsapp aja“Kenapa?

jarang buka wasaf tapi update story hmm baikla btw gue nanya doang loh kok dia jawabnya begitu anjir TAKUT AP MMKSTTMU

“gapapa, kepikiran doangg wkwkwk”

“Eh disini hujan gede banget tau, disana hujan ga?”

“enggak, panas malah daritadi pagi”

“Disini hujan, mana sempet mati lampu pas lagi main game”

“game terooosss ya bos”

“Bosen, tugas udah selesai soalnya”

“lah tumben banget biasanya procrastinate”

“Lagi tobat wkwkwk”

Setelah itu, obrolan berlanjut dengan bertukar playlist, udah UTS atau belum, cerita kegiatan hari kemarin, minta bantuin tugas, dan sebagainya hingga pukul 03:27.

Hal-hal seperti inilah yang membuat Sherin bahagia, namun takut. Trust issuenya semakin meningkat. Semakin takut kehilangan.

Karena Sherin sudah sendirian, maka ia tak ingin kesepian.