Healer

April, 2023

Seorang lelaki berambut hazel brown ini memasukkan kata sandi kamar apartemennya dengan cukup terburu-buru karena dirinya ingin segera merebahkan badannya di atas sofa. Wajahnya sudah kusam kurang enak dilihat. Keadaan kantor yang cukup hectic— terutama untuk lelaki berpangkat cukup tinggi ini— dikarenakan ada project mendadak yang baru saja dirundingkan beberapa hari yang lalu bersama atasan dan karyawan lainnya. And he's taking the responsibilities of all those projects.

Penghuni kamar apartemen nomor 511 ini akhirnya bisa merasakan ketenangan jiwa raganya tepat pada jam 23:45, tentu saja setelah membersihkan seluruh tubuhnya. Tidak, dirinya tidak setenang kelihatannya karena di tengah kesibukan tadi, ia mendapatkan undangan pernikahan dari seorang wanita yang pernah singgah di hatinya selama dua tahun dan harus kandas hampir satu tahun yang lalu karena diputuskan sepihak dengan alasan yang tidak jelas dari wanitanya itu.

Semenjak saat itu, seorang laki-laki bernama Anggara Chahidar ini belum mau untuk membuka hatinya lagi. Bahkan untuk sekedar berkenalan, mengobrol sedikit, atau mencari tahu akan wanita di dunia pun ia belum berminat. Padahal dirinya telah 85% membaik hingga detik ini. Kecuali disaat sedang rapuh seperti sekarang ini.

Anggara mengambil sebungkus rokok beserta pemantiknya, dilengkapi dengan satu botol minuman beralkohol yang diambilnya dari kulkas. Namun, niatnya diurungkan, mengingat tubuhnya harus tetap sehat agar dapat lancar mencari nafkah.

Akhirnya ia mengambil gitar, hadiah ulang tahun dari Kevin di tahun lalu. Ia membuka pintu balkonnya dan duduk disana sambil bermain gitar dan bernyanyi cukup keras, melampiaskan semua emosi jiwa raganya. Anggara tahu kalau kamar sebelah apartemennya sedang kosong, makanya ia berani untuk bertingkah seperti itu.

Tanpa disadari, ternyata sedaritadi ada seorang perempuan yang sedang duduk di balkon sebelahnya, jelas merasa terganggu karena ia tak bisa berkonsentrasi dengan tugas kuliahnya.

“KAAAK!! NYANYINYA JANGAN KERAS-KERAS DONG, AKU LAGI NUGAS JADI KEGANGGU!” teriak perempuan itu. “KAK!!!” “Allahuakbar, HEH LO DENGER GUE TERIAK GAK SIH?!!!”

“Eh??” alhamdulillah, indera pendengaran Anggara telah berfungsi kembali. “Maaf, maaf, gue gak denger... Keganggu ya??”

“Iya. Maaf banget ini mah kak, aku lagi nugas soalnya. Kalo mau galau-galauan, lanjutin besok-besok aja.” ujar perempuan itu sambil tersenyum. Pandangannya kembali lagi menatap layar macbooknya.

“Kata siapa gue lagi galau?” tanya Anggara.

Perempuan itu menghela nafasnya, “Pager balkon juga tau kali kalau kakak lagi galau. Bukan galau sih, tapi lebih ke banyak pikiran????? Gak tau dah, kedengeran dari genjreng-genjreng gitar sama suara nyanyinya.”

“Suara gue jelek?”

“Bukan gitu.. Suara orang yang beneran nyanyi dengan tulus ikhlas sepenuh hati sama yang nyanyi gara-gara banyak pikiran doang tuh beda, mau semerdu apapun suaranya ya tetep aja beda. Auranya beda,” jelas perempuan itu.

“Punya indera keenam ya lu?”

“Kagak elah, kak”

“Ya abisnya lu ngomong meyakinkan banget,” “Btw, kita belum kenalan ya? Gue Anggara, budak korporat yang ditinggal nikah sama mantannya,”

Perempuan itu tertawa, “Aku Aqilla, mahasiswa Sasing semester 6, yang sama sekali belum mikirin judul skripsi,”

Anggara jadi teringat perjuangannya demi mendapatkan acc dari sang dospem hanya untuk judul skripsi. Ia jadi bangga karena telah berada di titik sejauh ini. Titik dimana akhirnya ia bisa menghidupi kehidupannya dengan uang hasil jerih payahnya sendiri, tanpa meminta orang tua ataupun meminjam kepada Tristan dan Sakala. Terlebih, sekarang dirinya telah berada jauh dari teman-teman kostnya.

“Sini deketan coba, La, ngomongnya. Masa harus keras-keras mulu?”

Tanpa sadar, perkataan Anggara dituruti oleh Aqilla. Ia menggeserkan bangkunya hingga ke pagar pembatas balkon antar kamar— dekat dengan posisi Anggara.

“Jadi, gimana kabar skripsi?” tanya Anggara.

“Gak tau lah kak, pusing. Ini tugas juga ngalir terus kayak kasih ibu, eh tapi aku gak punya ibu deng, hahahahah” jawab Aqilla.

“Hush, gak boleh gitu.”

“Emang beneran kok, ibuku udah gak ada kak semenjak aku masih kecil, jadi ya gitu... Btw, kakak tuh baru pindah kan ya Januari kemarin?” sekarang giliran Aqilla bertanya.

“Iya. Kantor gue ada di daerah sini soalnya, padahal tadinya di Jakarta tapi bos gue ngerekomendasiin perusahaan yang katanya sih lebih bagus, padahal kata gue mah sama aja.”

“Oh, gitu...” Aqilla mengangguk mengerti.

“Eh, kita ngobrol berdua kayak gini tuh nanti pacar lo marah gak? Ntar dikira yang enggak-enggak..” ujar Anggara. Hmm, buaya. Enggak deng, Anggara kan baik.

“Aku gak punya pacar kak hahahah santai, yang ada juga harusnya aku yang nanya gitu soalnya trauma pernah dituduh ngerebut pacar orang padahal mah cowoknya ngedeketin mulu, males banget mana caper mentang-mentang udah tau kalo aku suka sama dia, ew. Aduuuh jadi curhat gini maaf ya kak, kalo keinget suka kesel soalnya :(”

“Hahahah, santai aja kali. Gue juga gak punya pacar. Terakhir kali pacaran tahun lalu, gue diputusin. Padahal harusnya gue yang mutusin soalnya udah mergokin dia selingkuh berkali-kali. Emang dasarnya aja bulol”

“Gapapa, itu kan masa lalu, sekarang gimana? Ada niatan cari cewek lagi? Aku tau tuh rasanya diselingkuhin gitu, jadi punya trust issue sama orang dan itu gak ilang-ilang sampe sekarang”

“Haha iya sama, makanya gue jalani hidup gue yang sekarang ajalah, cari pasangan mah gampang. Siapa tau jadinya sama lo” kata Anggara sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

“NGACO” keduanya tertawa. Walaupun atmosfir kala itu sedang dingin, namun tawa mereka membawa kehangatan.

Satu hal yang tidak mereka sadari dari dirinya masing-masing adalah mereka saling membutuhkan satu sama lain. Memiliki kisah romansa yang sama membuat mereka lebih cepat beradaptasi satu sama lain. Padahal, semenjak insiden putus Anggara, ia tidak pernah seantusias ini berbicara dengan orang asing. Begitu pula dengan Aqilla.

Mulai malam itu, keduanya jadi semakin dekat seiring berjalannya waktu. Anggara sering menjemput Aqilla dari kafe tempat kerjanya itu, berolahraga bersama setiap akhir pekan, menghadiri wisuda Aqilla, menemani Anggara makan malam kantor, saling menjadi penyembuh satu sama lain di waktu ketika keduanya berada di titik terendah, bahkan hingga sekedar keluar apartemen untuk mencari makan.

Keduanya telah saling mengerti tanpa harus diberi intruksi, baik dalam masalah waktu maupun emosi.

Hingga akhirnya di tahun kelima mereka menjadi sepasang kekasih, keduanya memantapkan diri masing-masing untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Keduanya sedang berdiri di atas plataran pernikahan, bersalaman dengan para tamu istimewa yang merupakan teman-teman Anggara.

“Udah gila lu, Ang. Kuliah lulus duluan, dapet kerja duluan, eh sekarang ngeduluin gue nikah juga, parah lu masa gak kasian sama gue?!” ujar Arjuna.

“Ya makanya elu jangan ngatain orang mulu!” sahut Anggara.

Kalau dilihat-lihat, semua pasukan Pak Handi ternyata telah memiliki gandengannya masing-masing termasuk Adimas dan Nona yang akhirnya memiliki status. Dari semua cerita cinta teman-temannya itu, sepertinya hanya kisah Anggara yang terlihat seperti candaan semesta.

Ia tidak menyangka kalau teguran Aqilla malam itu akan membuahkan takdir bahagia seperti ini.

Terima kasih Aqilla,

Terima kasih Anggara,

Terima kasih semesta.

—fin.