langittbiruku

bertemu

#Bertemu

Jari jemari lentik itu terus menari-nari dengan lincah di atas tuts piano yang terletak di tengah sebuah panggung yang begitu megah. Melodi indah tercipta, dari seorang gadis yang kini terlihat khidmat dalam pejamnya. Alunan nada tanpa syair yang mengalun, seolah bercerita, masuk merasuk dalam hati sang pendengar.

“Gue merinding.”

Sisca mengangguk, menyetujui ucapan yang baru saja keluar dari mulut kakaknya. “Sama, gue juga.”

Lalu, keduanya kembali diam. Menyerahkan seluruh fokus dan perhatian pada gadis cantik yang berada di depan. Tak ingin sedikitpun menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa menikmati penampilan yang mungkin akan sulit mereka saksikan. Untuk bisa menjadi dua diantara ratusan bahkan ribuan orang yang hadir hari ini saja, Sisca dan Saras harus rela menahan kantuk tengah malam, bersaing dengan banyak orang, agar bisa mendapat tiket yang dijual terbatas.

Entah sudah berapa banyak decak kagum yang keluar baik dari Sisca, maupun Saras yang duduk di sebelahnya. Keduanya bahkan nyaris tak sempat mengabadikan sedikitpun penampilan itu, karena sudah terlanjur hanyut dalam nyanyian yang mereka dengar. Meski sebenarnya, gadis yang sedang tampil saat ini bukanlah bintang utama. Dia hanya penampil pembuka, namun menjadi tujuan utama mengapa Sisca dan Saras berada di sini sekarang.

“Gila banget sih ini orang. Kok ada, ya? Udah cakep, jago main musik, suaranya bagus, tiap nulis lirik juga oke semua. Udah sempurna banget deh, nggak paham lagi gue.”

Saras menoleh sekilas ke arah Sisca yang baru saja melontarkan segala kekagumannya. Ia mengangguk, menyetujui setiap ucapan sang adik. Tidak berlebihan, karena ia sendiri, juga begitu sangat mengidolakan gadis yang kini tengah bernyanyi di depan.

“Dia seumuran lo kan, Mbak?”

“Setahun di bawah gue. Berarti satu tahun lebih tua dari lo.” jawab Saras, di sela gumamnya untuk ikut bernyanyi, mengikuti musik yang terdengar.

“Oh, gue kira seumuran lo.”

Pertunjukan terus berlangsung, dengan beberapa lagu yang dibawakan. Hingga, gadis cantik yang sejak tadi mencuri seluruh perhatian Saras dan Sisca tiba di lagu terakhirnya. Beberapa kali, Sisca berteriak memanggil nama sang gadis, berharap keberadaannya disini bisa sedikit terlihat. Namun sia-sia, karena dirinya tidak berada di barisan depan. Meski begitu, Sisca tetap merasa senang, karena akhirnya bisa bertemu langsung dengan penyanyi muda yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat media sosial.

“Sumpah ya, kalau dipikir-pikir kita agak kurang kerjaan nggak sih?” Saras berucap, sembari berjalan keluar dari area pertunjukan, dengan Sisca yang mengekor di belakangnya. “Guest star utama baru mau tampil, eh kita malah udah balik, haha.”

Keduanya memang memutuskan untuk langsung keluar, begitu penyanyi idola mereka selesai bernyanyi, beberapa saat tadi. Butuh sedikit usaha, untuk bisa keluar dari kerumunan orang yang terlihat semakin padat.

“Ya udah sih, bodo amat. Dari awal kan kita emang nggak ngejar buat nonton guest star utama.” jawab Sisca yang tidak terlalu mengambil pusing hal tersebut. “Lagian di dalem makin rame, gue takut rusuh. Kalau baliknya nunggu selesai juga pasti bakal macet banget.” lanjutnya.

Saras membenarkan, karena ia sendiri juga tidak terlalu tertarik dengan band mancanegara yang akan menjadi bintang utama pada pertunjukan musik malam ini.

“Tadi kayanya di depan ada bazar makanan deh, Mbak. Kita jajan dulu yuk.” ajak Sisca, sembari mengusap perutnya yang terasa sedikit lapar.

“Pake duit lo tapi ya?” Baru saja selesai berucap, Saras mendelik tajam, ketika adiknya terlihat hendak mengeluarkan bantahan. “Lo lebih pilih bayarin gue makan, atau gantiin duit tiket malam ini?” ucapnya bertanya, yang lebih mirip sebagai sebuah ancaman.

Sisca mendengus kesal. “Aish, iya iya. Jangan banyak-banyak tapi, duit gue tinggal sedikit.” balasnya pasrah. Sepertinya, lebih baik ia membeli makanan, daripada harus mengganti uang tiket yang harganya sudah pasti lebih mahal.

“Nah, gitu dong. Jangan gue terus yang bayar. Ya udah yuk, gue juga udah laper.”

Saras dan Sisca mulai menjelajahi satu persatu penjual, ketika sudah memasuki area bazar. Mereka berkeliling, untuk mencari makanan yang mereka suka. Suasana di area bazar tidak cukup ramai, mungkin karena lebih banyak yang sudah masuk ke area panggung pertunjukan. Meski, masih ada beberapa orang terlihat duduk menikmati makanan, atau berdiri di depan stand yang berjajar.

“Seblak aja tuh, Mbak. Pedes, enak pasti.” Sisca menunjuk satu stand penjual seblak tak jauh dari tempatnya dan Saras berdiri, sekarang.

“Oke, deh. Gue juga udah lama nggak makan seblak.”

Setelah mendapat persetujuan, Sisca berjalan lebih dulu disusul oleh Saras. Ia segera mengambil kertas menu, dan menyebutkan pesanannya. Bergantian, dengan Saras yang terlihat masih agak bingung harus memilih topping apa untuk seblak miliknya.

“Eh, itu ada telur gulung Fre. Aku mau beli itu aja, kamu mau nggak?”

“Boleh, mumpung sepi juga.”

Sisca yang semula hanya diam menunggu sang kakak, tiba-tiba saja mengernyit. Dirinya merasa, seperti tak asing dengan suara percakapan yang baru saja ia dengar. Hal itu, membuat kepalanya menoleh, mencari sumber suara. Matanya lantas menyipit, memastikan sekali lagi apa yang berhasil ia lihat. Selanjutnya, gadis itu terbelalak tak percaya.

“Mbak.” Sisca tidak berkedip, sambil tangannya terus menepuk lengan Saras yang sedang memesan. “Mbak, lihat itu Mbak.”

“Apa, sih?” Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Sisca membuat Saras menatap adiknya sedikit kesal. “Liat apa?”

“Itu lihat, itu.” Sisca masih tak mengalihkan pandangan, membuat Saras mau tidak mau melihat ke arah yang Sisca maksudkan.

Kini, bukan hanya Sisca yang tak berkedip. Saras sekalipun, seketika menunjukkan reaksi yang serupa. Dengan mulut yang sedikit terbuka, Saras menatap tak percaya pada sosok yang kini berdiri tidak jauh dari tempatnya.

Merasa ada yang memperhatikan, dua gadis yang sedang berdiri di depan stand penjual telur gulung itu pun menoleh. Dengan ramah, satu diantara mereka lebih dulu menyapa Sisca dan Saras yang masih mematung di tempatnya.

“Hai”

“Mbak, dia nyapa kita?” Sisca berbisik lirih, memastikan bahwa dia tak salah menduga. “Demi apa sih dia nyapa kita?”

Saras tak menjawab pertanyaan sang adik. Ia sibuk mengendalikan keterkejutannya sendiri, sebelum kemudian membalas sapaan yang baru saja ia dapat. Ini adalah sebuah keberuntungan, yang tidak boleh ia lewatkan.

“Ha-halo. Sky, kan?.” Saras memberanikan diri untuk mendekat. Sambil sesekali mengatur ritme jantungnya yang tiba-tiba saja berdebar. Ah, ternyata seperti ini rasanya bertemu idola dari jarak dekat. “Eh, em, kita tadi abis nonton kamu di dalem. Kamu keren banget, nggak nyangka bisa ketemu disini.”

Sky Leandra. Si penampil yang menjadi alasan Saras dan Sisca berada di sini itupun, tersenyum semakin lebar. “Oh ya? Wah, makasih banget ya udah nonton.” balasnya dengan begitu ramah. “Kok udah di luar, kan acara di dalem belum selesai?”

“Iya, kita emang sengaja cuma mau nonton kamu aja, kok. Jadi pas kamu selesai, kita langsung keluar.” Kali ini, jawaban itu keluar dari mulut Sisca yang sudah menyusul sang kakak. Dirinya juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa mengobrol dengan Sky, dari jarak sedekat ini.

“Hah? Seriusan? Ya ampun, aku jadi nggak enak.” Sky tentu terkejut, dengan apa yang baru saja ia dengar. Dirinya tidak pernah menduga, ada orang yang sengaja datang untuk dirinya. Padahal, ia kira, tak akan banyak yang mengenalnya disini. Dirinya pun tampil sebagai pembuka, hanya karena salah satu temannya yang menjadi panitia. “Sekali lagi terima kasih, ya.” ucapnya, sembari sedikit membungkukkan badan.

Saras mengangguk. “Kita sering nonton video kamu di YouTube. Dari yang awalnya suka cover lagu, sampai punya lagu sendiri. Ya, bisa dibilang kita berdua fans berat kamu loh, haha.” ucapnya membuat pengakuan.

“Ah, jangan gitu lah. Aku jadi malu” balas Sky tidak enak. “Kalian namanya siapa?”

“Aku Saras, dan ini adik aku Sisca.”

Ada diam yang tercipta beberapa saat, ketika Sky mendengar nama yang begitu familiar di telinganya. Gadis cantik itu melirik sebentar ke arah Freya, sahabatnya, yang kini menyunggingkan sebuah senyum tipis. Nama itu, tentu akan langsung mengingatkan mereka akan seseorang.

“Ah, iya. Aku Sky, dan ini sahabat aku Freya.” Sky tetap memperkenalkan diri, meski dua orang di depannya ini sudah mengetahui dengan pasti siapa namanya. Ia juga tak ragu, untuk mengajak kakak beradik yang terlihat sangat mirip itu, untuk berjabat tangan. “Salam kenal, ya.”

“Eh, em, kita boleh minta foto nggak? Hehehe.” Sisca bertanya, dengan sedikit ragu-ragu. Tetapi, ia kesampingkan dulu rasa malu, karena kesempatan seperti ini datang tak menentu. Apalagi, yang ia tau, gadis yang jauh lebih cantik ketika ia lihat langsung ini, tengah menempuh pendidikannya di luar negeri.

“Boleh, dong.” Lagi, Sky tanpa ragu menerima ajakan itu. Justru, ia malah mengajak Saras dan Sisca untuk sedikit bergeser ke tempat yang lebih terang. “Sini sini, sebelah sini aja lebih bagus cahayanya.”

Freya yang sejak awal hanya menjadi pengamat, menawarkan diri untuk membantu mengambil gambar. Beberapa pose, baik bertiga maupun berdua secara bergantian. Bahkan, entah bagaimana, sudah ada beberapa orang lain yang ikut meminta foto dengan sahabatnya. Sky tak sekalipun menolak. Gadis itu masih saja tersenyum untuk menuruti semua ajakan yang datang. Terkadang, Freya masih tidak habis pikir dengan Sky yang tak pernah merasa bahwa namanya sudah cukup dikenal oleh banyak orang.

Saras dan Sisca tidak beranjak, dan memilih menunggu Sky menyelesaikan acara jumpa fans dadakannya. Mereka bahkan lupa jika baru saja memesan makanan, yang untung saja butuh waktu sedikit lama untuk memasaknya.

“Duduk dulu aja.” Freya mengajak dua orang 'teman' barunya itu untuk duduk di kursi yang masih kosong.

Saras dan Sisca menurut. Mereka duduk di satu meja, dengan empat kursi yang mengelilinginya.

“Makasih ya semuanya. Sampai ketemu di lain waktu.” Sky melambaikan tangan, pada orang-orang yang tadi berdatangan kepadanya. Ternyata, banyak juga yang menyadari keberadaannya. Gadis itu lalu tersenyum, melihat Sisca dan Saras yang masih disini menunggunya. “Aku tuh kayanya kok agak familiar ya sama kalian. Kita pernah ketemu sebelumnya nggak, sih?” Tanyanya sambil ikut duduk pada satu kursi yang masih kosong, di sebelah Freya.

“Mbak Saras pernah.” jawab Sisca dengan cepat. Kakaknya itu, memang sudah pernah lebih dulu bertemu dengan Sky beberapa tahun lalu. “Iya kan, Mbak?”

“Iya, pernah tapi udah agak lama.” balas Saras membenarkan.

“Oh ya, dimana?” Tanya Sky terdengar antusias.

“Dulu, waktu ada festival nyanyi antar sekolah. Kebetulan waktu itu aku ikut, dan ada kamu juga. Kalau nggak salah, kamu masih kelas sepuluh waktu itu, aku kelas sebelas.”

Sky mengernyit, mencoba mengingat. Pasalnya, ada banyak sekali festival menyanyi yang ia ikuti ketika sekolah.

“Yang di gedung seni baru deket sekolah kamu, pas bareng sama peresmian pembukaan. Waktu itu kamu bawain lagunya Raisa, dan dapet juara satu. Kita sempet nyanyi bareng pas closingan, karena kebetulan aku juara tiga.”

“Oooh, itu. Iya iya aku inget.” Ucap Sky yang berhasil mengingat momen yang dimaksudkan oleh Saras. “Iya, itu pas aku masih kelas sepuluh. Eh, kalau pas itu kamu udah kelas sebelas, berarti lebih tua dari aku, dong? Kak Saras aku panggilnya.” lanjut Sky yang menyadari bahwa Saras satu tingkat di atasnya.

“Haha, beda satu tahun doang, masih seumuran lah.” balas Saras. Sungguh, ia tak pernah menduga bisa berbincang banyak dengan gadis di depannya ini. “Kalau Sisca, dia satu tingkat di bawah kamu. Dia sebenernya juga sering ikut lomba nyanyi, cuma kayanya waktu itu kamu udah nggak pernah ikut lagi, jadi dia nggak sempet ketemu sama kamu.”

“Ah, iya sih. Pas kelas sebelas aku emang udah jarang ikut.”

“Jurinya bosen lihat kamu terus.” sahut Freya yang sebelumnya lebih banyak diam.

“Hahaha, iya bener. Untung aja Kak Sky udah nggak ikutan. Jadi saingannya berkurang, deh.” ucap Sisca tanpa rasa takut, yang berakibat pukulan pelan dari Saras, pada lengannya.

Sky tertawa lepas. Entah bagaimana, namun ia merasa nyaman berbicara dengan dua orang baru, yang ia temui secara tak sengaja ini. “Berarti kalian sama-sama suka nyanyi, ya? Suka bikin video cover juga, nggak? Mau lihat dong kalau ada. Pasti bagus.”

“Pernah, beberapa kali bikin cover lagu di Instagram.” jawab Saras. “Kita juga pernah cover lagu kamu, tapi enggak di upload, haha.”

“Eh, kenapa?”

“Nggak pede, hehehe” ucap Sisca menyahuti. “Awalnya mau upload, mau tag ke Kak Sky tapi malu.”

“Ih, nggak usah malu loh.” Sky menepuk pelan tangan Sisca yang duduk di depannya. “Aku malah merasa terhormat banget kalau ada yang mau cover lagu aku. Upload aja, nanti biar aku bisa pamer kalau ternyata ada juga yang tau laguku, haha”

“Banyak yang tau lah, pasti. Viewsnya juga udah banyak, kok.”

Sky sedikit memajukan kepala, melirik tipis ke sekeliling, lalu berlaga seperti akan membisikkan sesuatu yang teramat rahasia. “Sst, jangan bilang-bilang ya, ini rahasia.” ucapnya, mengundang tatapan bingung dari Sisca dan Saras yang duduk di depannya. “Sebenernya, view YouTube aku bisa agak banyak tuh karena aku paksa keluargaku buat setel tiap hari. Jadi yang nonton ya mereka-mereka aja, hahaha.”

Saras dan Sisca tercengang, sebelum kemudian ikut tertawa. Tidak menduga, bahwa Sky tengah mengajak mereka bercanda.

“Makanya, upload aja. Tag aku juga, biar aku bisa repost buat pamer.” Ucap Sky yang kini kembali menegakkan tubuh.

Freya menggeleng pelan. Sahabatnya ini, memang senang sekali merendah. Padahal, sudah sejak lama namanya dikenal banyak orang, meski masih dalam lingkup antar sekolah. Hanya saja, Sky memang tak pernah mau menerima tawaran untuk secara serius terjun ke dunia hiburan tanah air, karena masih fokus menyelesaikan kuliah musiknya. Hanya, beberapa kali ia terlibat tampil di beberapa festival jika sedang kebetulan pulang ke Indonesia.

“Iya deh, nanti aku upload.” balas Saras kemudian.

Sky tersenyum. “Nah, gitu dong.” ucapnya. “Nama instagramnya apa, biar aku follow. Jadi aku bisa lihat kalau udah di upload nanti.” tambahnya yang mulai membuka layar kunci dari ponsel yang sejak tadi berada pada genggaman.

Saras dan Sisca saling pandang, sekali lagi dibuat tak percaya.

“Apa namanya? Nih, minta tolong tulis disini ya, biar langsung ketemu.” ucap Sky sembari menyerahkan ponsel miliknya, yang tak kunjung di terima oleh Saras maupun Sisca.

“Ini serius?” tanya Sisca memastikan. Ia tentu tak lupa, bahwa dirinya hanyalah seorang penggemar. Tetapi, Sky seolah memperlakukan mereka layaknya teman.

“Ya serius dong, haha. Kenapa sih kaya pada kaget gitu?”

“Kaget, lah. Kan kita fans kamu, tiba-tiba ditawarin mau follow.” balas Saras menjelaskan. Sembari, tangannya segera menerima ponsel milik Sky dan mengetikkan akun Instagram miliknya disana, sebelum Sky berubah pikiran.

“Hahaha, fans apa sih? Kita kan pernah lomba bareng, Kak. Berarti secara nggak langsung, ya kita udah temenan. Anggap aja temen lama.” Sky menerima kembali ponselnya, menekan tombol follow back pada akun milik Saras dan berganti memberikannya kepada Sisca agar melakukan hal yang sama. “Aku juga bukan artis, nggak ada fans fans, semuanya temen, kok.”

Freya terkekeh. Sky, memang tidak pernah berubah. Gadis itu selalu ramah pada semua orang, sekalipun baru dikenalnya. Apalagi, ia bisa merasakan bahwa Sky terlihat nyaman dengan Saras dan juga Sisca. Entah ada hubungannya atau tidak, dengan kesamaan nama antara dua gadis di depannya itu, dengan seseorang yang begitu berarti dalam hidup sahabatnya. Namun terlepas dari itu, Freya mengakui bahwa sepasang kakak beradik ini memang cukup asik untuk dijadikan teman.

Mereka banyak berbincang, sembari menikmati makanan masing-masing yang sudah datang. Sungguh, siapapun akan menyangka bahwa mereka berempat memang berteman. Tidak ada kecanggungan, dan justru tawa yang sesekali terdengar.

“Ih, gelangnya bagus, deh.” celetuk Sky, yang baru menyadari adanya sebuah gelang yang melingkar di lengan Sisca. “Beli dimana? Aku pingin beli juga deh.”

Freya yang mendengar itu, mendengus kentara. “Kebiasaan, fomo.”

“Hehe, beneran bagus tau, Fre.” balas Sky berkilah. Ya meskipun, dirinya memang gampang merasa tertarik dengan semua hal yang dilihatnya.

“Kak Sky mau? Ini aku nggak beli, sih. Dibikinin sama Ibu aku. Kalau kak Sky mau, ini buat kakak aja.”

“Eh, jangan.” Sky menahan tangan Sisca yang hendak melepas gelang itu dari lengannya. “Kan itu dari Ibu kamu, masa mau dikasih ke orang, sih?”

“Nggak papa, kok. Ibu kita emang sering bikin kaya gini. Di rumah juga masih banyak. Kalau kamu mau, ambil aja nggak papa.” ucap Saras menambahkan.

Sky tidak langsung menjawab. Ia justru melirik ke arah Freya, yang hanya mengangkat kedua bahu bersamaan. Mengisyaratkan bahwa semua keputusan ada padanya.

“Beneran nggak papa?” Sky ingin menolak, tetapi ia terlanjur jatuh cinta dengan gelang berwarna cokelat tua berbahan tali benang, yang begitu menarik perhatiannya. “Aku beli aja deh, ya. Iya, biar aku beli aja.”

Sisca menggeleng tegas. “Ngapain beli? Udah nggak usah. Anggap aja ini kado dari fans buat idolanya. Bukan barang baru, sih. Tapi nggak papa asal Kak Sky suka.” ucapnya seraya melepas gelang, dan memberikan itu pada Sky yang masih menatap ragu padanya. “Nggak papa ini, ambil aja.”

“Yah, aku jadi nggak enak.”

“Nggak enak tapi diterima juga, halah.” Lagi, Freya mencibir Sky yang akhirnya mau untuk menerima pemberian itu.

Sky tidak mengelak, dan menunjukkan cengiran konyol miliknya. “Mau barter aja, nggak? Tapi barter apa, ya? Aku lagi nggak bawa apa-apa” ucap Sky, kepada Sisca. Ia berpikir, mencari barang apa yang sekiranya bisa ia tukarkan.

“Nggak usah, Sky. Kita bisa ngobrol banyak dan makan semeja bareng sama kamu aja udah bersyukur banget, jujur.” ucap Saras.

“Iya, kak. Apalagi tadi udah di follback juga, hehehe. Malah kita yang jadi nggak enak.” Sisca menambahkan.

“Beneran nggak papa?”

Saras mengangguk yakin. “Iya udah, santai aja.”

“Eh, atau kalau nggak ini aja deh.” Sky berucap, dengan sebuah ide yang baru saja terlintas. “Kalian tau Harvest cafe gak?”

“Yang dimana? Kan ada beberapa, tuh.”

“Di deket area perkantoran Graha Cita.”

“Oh iya, tau.” jawab Saras. Beberapa kali, ia pernah mengunjungi tempat itu bersama teman-temannya. “Kenapa?”

“Nah, besok malem aku mau nyanyi disana. Kalau nggak sibuk, aku undang kalian buat dateng. Jam tujuh malam, gimana? Bisa nggak?”

“Bisa” Saras dan Sisca menjawab, dengan begitu kompak. Tidak hanya ucapan, namun reaksi anggukan yang juga serempak. Hal itu, tentu mengundang tawa dari Sky dan juga Freya.

“Hahaha, lucu banget barengan.”

Sisca dan Saras yang sadar bahwa reaksi mereka terlampau cepat, ikut tertawa untuk menutupi salah tingkah yang mereka rasa.

“Oke, sampai ketemu besok, ya. Kayanya sekarang aku sama Freya harus pulang duluan, udah dijemput soalnya.” ucap Sky, setelah membaca pesan yang baru saja ia terima. “Kalian masih mau disini atau pulang juga?”

“Kayanya pulang, sih. Mumpung acara di dalem belum selesai, takut keburu rame.”

Sky mengangguk. Ia melirik ke arah meja untuk memastikan makanan mereka sudah sama-sama habis, sebelum kemudian berdiri.

“Ya udah yuk, barengan jalan ke parkirannya.”

Tanpa menjawab, baik Freya maupun Sisca dan Saras ikut berdiri. Keempatnya mulai berjalan ke arah pintu keluar, dan berpisah ketika Sky dan Freya berjalan ke arah kanan, sementara Sisca dan Saras berbelok ke kiri menuju mobil mereka.

Sepanjang jalan, Sisca benar-benar tak bisa melepas senyuman di wajahnya. Hal tak jauh berbeda, juga dialami oleh Saras. Barangkali, malam ini adalah malam yang tidak akan pernah Saras dan Sisca sesali. Tak apa, mereka sedikit rugi karena tak mengikuti pertunjukan musik hingga selesai, jika diganti dengan pertemuan singkat yang bagi keduanya, jauh lebih bernilai.

Malam ini, meski tak diucapkan, keduanya sepakat bahwa semua penilaian mereka tentang Sky selama ini, tidak berlebihan. Gadis itu memang sempurna, tidak hanya pada paras namun juga lakunya. Dan mereka, tidak sekalipun menyesal telah mengagumi seorang gadis cantik bernama Sky Leandra.

——————o0o—————