Cinta Transaksional

Hal yang terjadi beberapa menit belakangan seolah menguap dari kepala. Ketika fokus Nami kembali, dia telah duduk di pangkuan Trafalgar Law—di atas tempat tidur, dan lelaki tersebut tengah membenamkan kepala di ceruk lehernya. Sadar apa alasannya berada di sini, Nami memeluk punggung Law—menyusupkan tangan dari bagian bawah kemeja hitamnya, membelai punggung berotot itu.

Usai menyusuri rahang Nami dengan mulut, Law memegang bagian belakang kepala perempuan berambut oranye, mendekatkan wajah mereka untuk sebuah ciuman. Sesaat, Nami refleks menghindar, tetapi Law menahan kedua sisi wajahnya.

Ini pertama kali jarak mereka begitu dekat. Nami mengamati Law lekat-lekat.

Matanya emas. Rambutnya gelap, tetapi bukan hitam. Modelnya cukup berantakan dan biasa tertutup topi. Warna kulit normal Law—tanpa efek cahaya atau kusam berkeringat— cenderung tan.

“Nami-ya, kita bertransaksi untuk bercinta. Tolong, cintai saya sepanjang durasi ... walau hanya pura-pura.”

Demikian kata Law sebelum menyatukan bibir mereka. Anggukan kecil Nami dibalas dengan ciuman yang mengganas. Tangan Nami keluar dari kemeja Law, berpindah ke lehernya sambil memperdalam ciuman mereka.

Mereka berpura-pura jatuh cinta.

(karena tahu bahwa mereka tak mungkin saling jatuh cinta. mereka tidak memiliki “hati” untuk mencinta.)

Ciuman bertambah, berpindah, dan hasrat kian bergelora. Satu demi satu pakaian teronggok di lantai. Tetes demi tetes keringat turun bersama napas yang memburu. Desahan dan erangan memenuhi kamar.

Tidak ada kulit yang tak terjamah. Semua lekuk tersentuh. Serta usapan lembut di bekas luka lama—dan ciuman pelan sepanjang tato mereka yang menyimpan kisah. Tidak luput juga jemari yang sesekali bertautan. Atau mata yang ... menatap lembut di sela-sela aktivitas yang bertambah kasar.

(ini hanya bagian dari transaksi. mereka mencari orgasme, bukan rayuan manis dan janji kosong. tidak ada kupu-kupu yang menari di perut karena semua bagaikan badai. angin, petir, dan gelombang air mengacaukan rasionalitas.)

Mereka menyatu. Tidak ada kata cinta. Namun, mereka tetap berpura-pura jatuh cinta. Saling menandai. Mencoba berbagai posisi. Di dalam durasi, mereka saling memiliki.

“LAW!”

“Nami!”

Hilangnya julukan dan honorifiks menandakan satu lapis benteng luruh antara mereka berdua, untuk sementara. Di atas kasur yang kotor oleh dosa, tanpa kata, cerita, penghakiman, atau penghiburan.

Sebab mereka bertransaksi belaka.


Esok pagi, Nami terbangun di rengkuhan pria bertato. Harus dia akui semalam cukup menyenangkan—ralat, sangat. Namun, sudah saatnya dia menerima bayaran yang dijanjikan, lalu mereka akan berpura-pura tak ada yang terjadi.

Dia berusaha bangun tanpa mengusik tidur Law, tetapi lelaki itu malah memeluknya lebih erat. Sepasang mata emas terbuka sedetik, lalu memejam lagi seraya menggerutu.

“Masih libur, kan? Aku mengantuk.”

Demi Tuhan, suara Law saat bangun tidur terdengar lebih memikat. Wajah Nami terasa seperti sedikit terbakar.

“Aku harus pulang, Law-kun.”

“Jangan dulu,” gumam Law, menggesekkan dagunya ke puncak kepala Nami, “dan jangan berpikiran untuk mencari klien lain.”

“Tapi—”

“Akan kuambil semua slotnya. Kalau kamu membuka paket GF rent, kuambil juga.”

Nami tidak membenci gagasan tersebut. Lagipula Law orang kaya yang pasti mampu membayar mahal. Namun, dia bingung. Apakah yang mereka berdua lakukan benar? Jujur saja, sekarang rasanya Nami tidak ingin menyentuh uang Law—tetapi enggan menolak dan terjepit keadaan.

“Jangan jatuh cinta padaku,” gurau Nami.

“Jangan khawatir. Kamu juga jangan jatuh cinta padaku,” tanggap Law.

(mereka bertransaksi cinta karena merasa tidak memiliki hati. dunia memang tempat berjual beli. jadi, sepertinya tidak mengapa.)

Tangan bertato DEATH menyingkirkan rambut Nami ke samping, melirik kiss marks yang dia tanam semalam. Di bagian tengkuk hingga bagian bawah leher, tergambar ikon wajah yang tersenyum. Trademark seorang Trafalgar Law.

Jangan bertanya mengapa semalam Law melakukannya, karena dia sendiri tidak mengerti.