“Mau kubantu pakai baju?” tawar Nami—walau dia sendiri sedikit tidak rela karena masih ingin melihat badan bertato itu.

Law melihat Nami dan kaos di kasur bergantian sebelum menggeleng. “Tidak perlu, Nami. Malam ini sedikit ... gerah,” jawabnya, terdengar ragu di kata terakhir.

Nami mengangguk cepat. Ternyata bukan cuma dia yang merasa gerah. Dia beranjak untuk menyalakan kipas angin. Rambut oranye tertiup angin karena Nami entah kenapa bengong di tempat.

Sang Perempuan tersentak saat tangan besar dan hangat mengusap kedua sisi kepalanya untuk mengumpulkan rambut ke belakang. “Bahaya kalau rambutmu masuk ke kipas,” tutur Law.

“O-oh, makasih.”

Begitu Law melepaskan rambutnya lagi, Nami berbalik. Tanpa wedges andalan terpasang di kaki Nami, Law terlihat lebih tinggi. Dia perlu mendongak untuk menatap wajahnya.

Kipas angin kembali berulah. Ujung rambut Nami hampir masuk ke kipas, sehingga Law refleks menariknya mendekat. Gerakan Law yang mendadak menyebabkan Nami tersandung kaki sendiri dan jatuh menimpa si lelaki berkulit tan. Topi putih khas Law jatuh ke lantai, menampakkan rambut biru gelap—nyaris hitam yang berantakan.

Dada Nami menekan dada Law dan kipas angin membuat rok—yang sudah pendek— itu berkibar. Law terus mengingat rasa sakit dihajar Doflamingo supaya terdistraksi dari siksaan ini. Tampaknya Nami juga merasa malu, tetapi dia salah langkah karena membenamkan wajah di badan Law yang masih telanjang dada. Dan ketika Nami mendongak untuk melihat ekspresi Law, kebetulan dia juga sedang menunduk menatapnya.

“Uh ... Nami, kapan kamu akan bangun?” Law memuji ketenangan dalam suaranya sendiri padahal secara mental dia cukup kacau.

“Maaf, Law.”

Sejurus kemudian, Nami bangun dan berlari ke tempat tidur. Lalu, dia tengkurap dan membenamkan kepala ke bantal Law. Kakinya bergerak-gerak seperti di kamar sendiri. Dia masih malu. Sangat.

Tawa kecil lolos dari mulut Law. Usai memungut topinya—untuk diletakkan di meja, Law duduk di sebelah Nami.

“Mau kuantar pulang sekarang?” selagi aku masih bisa mengontrol diri. Bagian terakhir hanya Law ucapkan dalam hati.

Berganti posisi ke rebahan, Nami menggeleng yakin. “Aku masih mau di sini. Kita sudah lama nggak ketemu yang banyak mengobrol,” jawabnya santai.

Lelaki bermata emas memijit kepalanya. Masih rebahan, Nami menjulurkan tangan untuk mengusap pipi dan rahang Law, kemudian cemberut saat tidak mendapatkan respons kata-kata.

Geraman pelan diikuti oleh gerakan yang sangat tiba-tiba. Law menumpu berat badan di tangan dan lutut, mengungkung badan Nami di bawahnya. “Jangan menggodaku, Nami! Aku tidak sebaik itu.”

Sekejap mata Nami membulat, pipinya bertambah merah. Mungkin dia memang tidak kepikiran sampai ke arah sana. Namun, hanya dalam hitungan detik senyuman sensual terkembang di bibirnya.

“Aku tidak menggodamu kok, belum. Lenganmu kan sedang terluka. Aku tidak mau lukanya terbuka.” Lalu, Nami mengalungkan kedua tangan ke leher Law, menariknya mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. “Aku hanya ingin bersamamu lebih lama.”

Persetan. Law sedang tidak peduli kalau nanti dia harus pergi ... waktu berada di sekitar Nami tinggal sedikit lagi. Pun Law tidak mengerti apakah sosok di bawahnya merupakan jelmaan malaikat atau iblis. Indah, terlarang, tetapi menggodanya yang semakin terjerumus dari hari ke hari.

Luka tusukan dari Doflamingo sedikit berdenyut, tetapi berdasarkan pertimbangan Law, ini tidak akan terbuka dengan mudah—dan dia bisa mengabaikan nyeri ketika terfokus pada sesuatu yang lebih besar.

Tangan kiri Law memegang pipi Nami. Dia menggesekkan hidung mereka pelan, lalu menjauhkan wajah sebentar untuk bertanya, “Boleh?”

Baru saja Nami mengangguk, bibirnya telah tertawan dalam sebuah ciuman. Lidah mereka saling menyapa dan beradu demi dominasi. Nami membalas dengan gigih, tetapi Law tetap unggul. Ciuman berakhir saat Nami mendorong kepala Law, karena dia butuh meraup udara untuk bernapas. Law menyeringai penuh kemenangan sebelum mengecup lagi bibirnya.

Mereka tidak berhenti hanya dengan ciuman. Ujung jemari lentik Nami turun dari leher Law, menyusuri tato hati di dadanya yang kekar. Selama beberapa detik, badan Law menegang. Dan saat perempuan itu mencium bagian tengah tatonya, Law turut membelai tato di lengan kiri Nami. Gestur penuh afeksi, mengapresiasi rangkaian cerita yang melatarbelakangi keberadaan tato tersebut. Setelahnya, mereka kembali berciuman.

Wangi jeruk seakan mengundang Law untuk membenamkan kepala di ceruk leher Nami sementara si gadis mengusap punggungnya. Tubuh mereka berdua nyaris berhimpit. Lantas, Law menyingkap baju Nami ke atas sembari membelai kulit yang terekspos jengkal demi jengkal.

“Namiii, kenapa lama sekali?”

Suara Luffy terdengar dari balik pintu. Diikuti oleh gerutuan Zoro, “Witch, kalau mau numpang berak, di tempatku saja.”

Sepasang sejoli buru-buru melepaskan diri. Mereka dongkol terhadap dua pengganggu, tetapi tidak memiliki pilihan lain.

Nami merapikan baju. “Lain kali saja. Bye, Torao,” ujarnya sambil berjalan ke pintu.

“Ya, di tempat yang lebih aman,” timpal Law, memakai kembali kaos yang sejak tadi terlupakan.

Setidaknya, mereka masih punya lain kali. Mereka harap begitu.