Sesampainya di warung kopi langganan untuk diskusi, Nami sedikit gugup karena tatapan mata orang-orang tertuju pada mereka. Dia sangat jarang menghadiri agenda eksternal, apalagi di malam hari. Luffy dan Zoro belum datang, jadi pilihan terbaik adalah berada di dekat Law.

“Hai, Bonney dan Kid!” Nami menyapa kawan yang ia kenal.

“Hei, Nami! Malam ini banyak cowok tiba-tiba patah hati,” gurau Bonney sambil melirik teman-teman Kid.

Perubahan wajah mereka begitu signifikan di dua premis. Satu, ada perempuan cantik dan seksi. Dua, tetapi pawangnya adalah Trafalgar Law.

“Hai kalian.” Kemudian, Kid menoleh pada Law, “Kirain bareng Bepo, Trafalgar.”

“Ternyata Bepo ada tugas.”

Mereka mengobrol beberapa saat sampai Luffy dan Zoro datang. Secara alami, Nami bergabung dengan teman-temannya. Dari tempat duduk Law, Kid, dan Bonney, tampak Luffy dan Zoro mengomentari sesuatu tentang Nami lalu perempuan itu menjitak mereka berdua. Tidak sampai dua menit berselang, tiga orang tersebut kembali bercanda.


Pertemuan diawali dengan mengonsep rencana aksi. Jika sudah final, baru akan mendiskusikan isu yang dibawa dan teknis pelaksanaannya. Mereka telah sepakat untuk mengadakan aksi penolakan terhadap pengesahan RUU dan revisi RKUHP pasal tertentu.

“Kampus kita kan beda-beda. Bagaimana kalau kita berkumpul di beberapa titik lalu long march ke balaikota?” usul Luffy.

Kid mengangguk setuju. “Boleh juga, Mugiwara. Nanti kita bikin panggung seni lagi di sela-sela beberapa orasi. Fresh dan bisa menarik atensi media.”

“Tapi kalau titik kumpulnya banyak, apa massa aksi kita nggak lebih rentan?” tanya Nami, memegangi lengannya karena merinding, “Aksi lalu saja disusupi dua oknum. Mereka orang berbahaya dan kita hampir kecolongan padahal bersiaga penuh.”

Bonney meminum milkshake sampai setengah gelas lalu meletakkan gelasnya cukup kencang. “Benar. Mereka bukan orang sembarangan. Data di KTP-nya palsu. Dari gelagatnya, mereka pun bekerja sama dengan polisi atau pihak lain yang tidak kalah berkuasa.”

“Bagaimana dengan kawan-kawan pusat? Apa cuma kita yang diganggu penyusup antah berantah?” tanya Zoro.

“Kalau kata Ace, di sana juga panas, tapi belum diketahui apa itu penyusup atau polisi yang mengada-ada.” Luffy memiringkan kepala ke kiri, “Waktu aksi Hari Buruh lalu, dari CCTV salah satu toko kelihatan kalau polisi yang merusak mobil mereka sendiri buat menjelekkan para demonstran.”

“Kalau jadi menyebar, menurutku tiga titik awal sudah maksimal. Lebih dari itu akan penuh risiko,” komentar Law.

“Tiga titik kumpul ini tidak harus kampus. Alun-alun juga boleh,” sambung Wire.

“Hmm. Catat dulu, Bonney. Nanti kita bahas di pertemuan selanjutnya,” suruh Kid sampai Bonney melotot.

“Kok aku lagi? Gantian kamu dong.”

“Nami, kamu bawa buku, kan?” tanya Luffy dengan cengiran lebar.

“Iya. Biar aku saja yang mencatat.” Nami menggulung lengan hoodie Law yang menutupi telapak tangannya ke atas, sampai terasa nyaman untuk menulis.

Diskusi berlanjut. Saat pembahasan isu yang ingin diangkat, terjadi sebuah silang pendapat. Kid dan Law memiliki pandangan berbeda terkait isu tuntutan aksi.

“Kita tidak punya isu bersama selain RUU dan revisi RKUHP. Bagaimana kalau kita membawa lagi tuntutan aksi sebelumnya karena yang itu belum dijawab?” Begini pendapat Kid.

Law masih mempertahankan argumennya. “Apakah tujuh tuntutan di momen fokus terhadap satu isu tidak terlalu banyak? Aku khawatir pemerintah akan mengabaikan isu RUU dan revisi RKUHP yang krusial dengan alasan sedang mempertimbangkan isu lain ... dan itu pun omong doang.”

“Tapi itu tetap bagus. Tujuh tuntutan tempo hari harus didengar semua. Bukannya bagus kalau kita bisa merangkum banyak suara rakyat?”

“Kupikir kali ini cukup satu sampai tiga tuntutan spesifik, tetapi melakukannya dengan lebih progresif.”

“Seperti mereka akan mengerjakannya saja. Kebanyakan pemerintah kan enggan berbuat baik jika tidak dipaksa.”

“Justru karena itu, Eustass-ya, kita yang memaksa.”

Luffy hanya mengupil menonton perdebatan Law dan Kid. “Jadi intinya apa?”

“Makan dulu.”

Bonney melepas topinya frustrasi. Karena hal-hal seperti inilah, agenda berkumpul antar aliansi inti diperlukan. Mereka perlu menyepakati beberapa hal vital di sini sebelum mengadakan diskusi publik dan konsolidasi. Jika dari para penggerak saja belum satu suara, akan selama apa jalannya forum yang lebih besar?

“Oke. Aku mau pesan mie lagi. Mau bareng?” tawar Luffy.

“Iya. Ayo!”

Sementara Luffy dan Bonney memesan makanan, Zoro tidur di lantai. Mereka memang memesan ruangan tanpa meja dan kursi untuk berkumpul, jadi semua duduk melingkar di atas tikar. “Nami, bangunkan aku kalau debat mereka selesai.”

Kesabaran Nami hampir mencapai batas. Dia menyesal menjadi notulis pertemuan mereka hari ini. Di saat dia hampir marah, Killer, salah satu teman Kid bicara padanya, “Mau dipesankan sesuatu, Nami? Kamu kelihatan capek.”

“Berhenti dulu mencatatnya. Nanti tinggal tanya kesimpulan ke mereka,” tambah Heat santai.

Level kemarahan Nami menurun beberapa tahap. Perempuan bermata cokelat ini mengekor mereka berdua. Dia sekilas melihat masih ada beberapa teman Kid menyimak perdebatan dua 'Kapten'. Kata Killer, selain para anggota, Kid juga mengajak aliansi internal geng mereka. Di samping beraliansi dengan para kapten Worst Generation, Kid memiliki aliansi lain untuk tujuan di bidang berbeda ... tetapi Killer menjamin bahwa hal tersebut masih sejalan dengan mereka.

Wah, mereka semangat juga, batin Nami sambil lalu.


Setelah waktu yang cukup untuk makan, akhirnya Kid dan Law mencapai kata sepakat. Mereka akan membawa satu isu bersama serta tiga isu daerah. Isu daerah yang dibawa masih berkaitan dengan isu bersama, yakni dua konflik agraria dan satu kasus kriminalisasi oleh aparat.

Forum kecil ini kembali serius saat Zoro dan Kid menjadi pemantik diskusi.

“Ingatlah hal ini saat kalian ditangkap polisi. Tanyakan surat penangkapan. Surat penangkapan hanya diberikan untuk kasus khusus dan Operasi Tangkap Tangan, sehingga sekali pun kalian dibawa ke kantor polisi, status kalian tidak akan langsung ditangkap. Lalu, mintalah hak untuk mendapatkan pendampingan hukum. Hubungi LBH atau pihak lain yang dapat mengadvokasi,” jelas mahasiswa berambut hijau.

“Pendampingan hukum sangat perlu. Dari pengalaman saya, mereka akan terus membingungkan kita dan membuat kita mengaku meski kita tidak melakukannya. Tanpa pendampingan hukum, tekanan ini dapat menyebabkan kita terseret arus,” imbuh si rambut merah.

“Lalu, jika kawan kita ditangkap polisi, kita harus ikut mengawal kasusnya. Kabarkan ke jaringan solidaritas, bila perlu viralkan.”

Tidak hanya itu, mereka pun mengupas pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam RUU dan draft revisi RKUHP. Semua orang menyimak pdf di gawai masing-masing. Sesekali mereka juga berpendapat terkait pasal di sana.

“Jadi, kawan-kawan, RUU baru dan revisi RKUHP akan sangat merugikan kita. Kita perlu bersatu untuk mencegahnya,” tukas Bonney.

“Dan jangan lupa sejatinya semua Undang-undang saling berhubungan. Jika sampai lolos, tinggal menunggu waktu hingga sektor lain ikut terkena imbasnya,” tambah Law.

Kemudian mereka merancang timeline kasaran persiapan aksi. Membagi jobdesc dan mendata perlengkapan yang dibutuhkan. Mendata surat apa dan ke mana saja yang dibutuhkan. Membuat juklas-juknis kasaran untuk diskusi publik terdekat, lengkap dengan perkiraan time schedule. Tak lupa mereka mengumpulkan dana kolektif dari forum untuk keperluan aksi.

Bohong besar cuitan buzzer yang mengatakan demo mahasiswa dibayar atau ditunggangi pihak lain. Meski mungkin di luar sana ada yang demikian, di sini mereka murni digerakkan oleh hati nurani. Bukan cuma Aliansi Worst Generation, mereka tahu masih banyak orang baik yang peduli terhadap isu kerakyatan di tempat-tempat lain.

Faktanya, para mahasiswa (yang sebagian sudah hidup pas-pasan itu) berkolektif untuk setiap gerakan. Menyisihkan uang untuk kegiatan operasional seperti mencetak banner, pers release, konsumsi diskusi, dan sebagainya. Bahkan untuk agenda ngopi santai begini, mereka sudah menghabiskan cukup uang untuk memesan makanan dan minuman dalam jumlah layak sehingga tidak merugikan pemilik usaha. Walau ada banyak kafe atau warung kopi yang menyediakan ruang gratis untuk perkumpulan terpisah dari tempat pelanggan umum, mereka tetap sadar diri.

“Nanti moderatornya Zoro-ya. Narasumber yang akan kita hubungi adalah Pak Rayleigh dan Ibu Shinobu. Satu lagi siapa?” ujar Law yang pindah tempat lalu berjongkok di samping Nami untuk mengintip notulennya.

“Bagaimana kalau narsumnya nanti Pak Smoker?” Luffy mengangkat tangan.

“Luffy, beliau polisi,” tanggap Nami.

Mahasiswa bertopi jerami masih berkeras ingin mengundang polisi kenalannya. Dia mengakui Smoker sebagai orang baik walau cara mereka memandang dunia berbeda. Geng Topi Jerami beberapa kali berhadapan dengan perwira polisi tersebut dan Smoker bersikap professional.

Meski tidak menyukai geng mahasiswa, Smoker sungguh memproses mereka sesuai hukum dan pelanggaran yang dilakukan. Dia tidak pernah mengada-ngada atau menuduhkan hal lain terhadap mereka. Setiap Luffy lolos dari ancaman penjara, Smoker menyalakan rokok sambil bersumpah bahwa dia sendiri yang akan menjebloskan Topi Jerami ketika mereka terbukti bersalah di kemudian hari.

(Bagian ini rahasia, geng Topi Jerami juga pernah tidak sengaja bertemu Smoker dan para bawahannya di acara kemanusiaan sebuah panti asuhan.)

“Tapi Pak Smoker kan oknum,” bela Luffy lagi.

Law mengernyitkan dahi. Polisi dan oknum memiliki konotasi buruk di pikiran mereka, tetapi mengapa Luffy mengatakannya dengan nada bersahabat. “Oknum?”

“Di mata Luffy, saking banyaknya polisi problematik, polisi yang baik dan berintegritas disebut oknum,” jelas Zoro, menerjemahkan kata-kata sang Kapten.

“Dan aku yakin beliau tidak akan mau menghadiri diskusi kita,” celetuk Nami.