Suara Eustass Kid menggelegar saat mengakhiri orasinya dengan sebuah jargon, “GOROSEI, HAPUS IMPUNITAS!”

“GOROSEI, HAPUS IMPUNITAS!” Massa aksi mengikuti jargon tersebut sembari mengepalkan tangan kiri ke atas.

Para panitia teknis terus bersiaga walau jalannya aksi terbilang kondusif. Jumlah orang yang datang membludak, sehingga potensi terjadi gesekan pun meningkat. Dan, personel keamanan yang didatangkan bahkan lebih banyak daripada massa aksi. Hebohnya lagi, terdapat beberapa penjual makanan keliling di depan balaikota.

Chopper, Nami, Vivi, dan Ikkaku berkeliling untuk membagikan permen serta mengecek apabila ada yang sakit.

“N-Nerona?” Seorang mahasiswa kaget saat melihat Nami.

“Maaf, sepertinya kamu salah orang.” Perempuan berambut jingga ini tersenyum manis sebelum menawarkan permen.

“Ah, begitu ya ....”

Kemudian, Nami pamit ke arah lain. Tujuannya adalah menghampiri Sanji dan Jean Bart yang berjaga di lokasi terdekat. Dia mengeluarkan dompet yang dia curi dari saku jas almamater.

“Awasi orang ini. Dia mencurigakan. Uangnya terlalu banyak untuk penampilan mahasiswa miskin dan cupu. Kalau dia terbukti aman, kembalikan dompetnya yang jatuh.”

Sanji mengangguk paham, sementara Jean Bart masih heran pada kemampuan mencuri Nami.

Kembali ke podium, saat ini Jinbei mengajak Law dan Robin berorasi bersama. Mereka adalah suara dari tempat yang dihancurkan, diabaikan, dan didiskriminasi. Pembawaan mereka yang berwibawa membuat para peserta aksi lain terdiam.

Dari ratusan (atau mungkin ribuan manusia?), Nico Robin dapat melihat Zoro dengan jelas. Zoro berjaga di sisi barat podium bersama Kid. Gerakan bibir itu mengatakan, “Terima kasih sudah bertahan.” Robin mengangguk. Dia tahu Zoro paham apa yang ingin dia katakan.

Jinbei mempersilakan Robin untuk memulai orasi. Perempuan bermata biru tersebut memulai dengan pernyataan nelangsa, “Dunia takut pada orang yang berpikir. Maka dari itu, mereka membantai kami di Ohara. Mereka mengira pengetahuan kami adalah monster, padahal mereka sendiri yang lupa bagaimana cara berperilaku seperti manusia.”

Robin melanjutkan ceritanya selama beberapa saat, kemudian dia menyerahkan mikrofon pada Law. Si pemuda bertopi gemetar menahan amarah. Lantas, dia lantang bersumpah, “KAMI AKAN TETAP ADA DAN BERLIPAT GANDA!”

Hening. Trafalgar Law mengutuk pemerintah terkait cara mereka mengatasi masalah di Flevance. Suaranya dingin penuh luka dan dendam.

.... Lalu dia melihat Nami, Bepo, Penguin, Shachi, dan teman-teman Geng Hati mendekat ke podium. Suaranya melembut ketika mengakhiri bagian orasi.

Sekarang giliran Jinbei. Mahasiswa tinggi besar ini malah turun dari podium untuk menggenggam tangan Luffy dan Nami. Law dan Robin pun ikut turun. Bukan tanpa alasan Jinbei mendatangi mereka berdua.

Nami adalah korban dari ras fishman jahat, tetapi dia tidak menggeneralisir dendam dan memaafkan Jinbei—walau dia secara tidak langsung merupakan bagian dari Geng itu. Luffy adalah orang yang menerima donor darah darinya tanpa prasangka, saat banyak orang takut berdekatan dengan fishman. Mereka adalah temannya, dan bukti bahwa orang-orang dapat memilih untuk saling menyayangi.

“Saya mengalami banyak hal dalam hidup. Tidak semuanya kelam, tetapi saya dapat mengatakan bahwa diskriminasi tidak boleh dibenarkan. Ini tidak akan membawa dunia ke arah kemajuan. Kita semua akan tetap berada dalam pusaran. Pertengkaran horizontal. Konflik yang seharusnya tidak perlu ada, karena semestinya kita semua berjuang bersama.”

“Mereka adalah teman saya. Mereka memandang saya sebagai saya, dan saya memandang mereka sebagai mereka. Apapun ras, jenis kelamin, -isme, latar belakang, dan perbedaan lain bukan masalah.” Jinbei merangkul Luffy dan Nami. “Dan kalian semua juga. Che Guevara pernah mengatakan, jika kalian bergetar geram setiap melihat ketidakadilan, maka kalian adalah kawan saya.”

“Mink juga!” Bepo berlari merangkul lengan Law. “Kami dari ras mink bersaudara dengan kalian semua!”

“Buccaneer ada di sini!”

“Kami bersolidaritas dari Elbaf!”

“Serikat Pekerja Galley-la dari rakyat untuk rakyat!”

Riuh. Banyak suara menyebutkan ras, daerah, profesi, hingga komunitas. Semua unjuk rasa solidaritas, menjalin kasih di jalanan. Di depan gedung dingin yang seolah enggan mendengar, tumbuh bhinneka cinta.

“KITA SEMUA SAUDARA SEBUMI MANUSIA,” teriak Luffy menyimpulkan. “KITA SEMUA BERHAK UNTUK HIDUP AMAN TANPA MERASA LAPAR DAN CEMAS. KALAU ADA YANG MENGUSIK HAK KITA, MAKA HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!”

Bersamaan dengan teriakan terakhir Luffy, Usopp menembakkan semacam kembang api ke langit. Percikan aneka warna menghiasi udara. Warnanya sangat mencolok sampai bisa terlihat jelas di bawah langit pagi.

Brook memahami ketegangan yang mungkin timbul, sehingga dia menyetel lagu. Hari ini bukanlah peperangan berdarah.

Meraih mikrofon lain, Brook mulai bernyanyi. “ATAS NAMA CINTA YANG HILANG, PANJANG UMUR PERJUANGAN!”

Semua melebur dalam lagu. Menari, menyanyi, berpegangan tangan, atau sekadar mendengarkan sambil melamunkan masa depan. Membayangkan dunia yang lebih baik.

“Oke, ini cukup rapat. Dia takkan bisa kabur,” tukas Jean Bart.

Ternyata mahasiswa mencurigakan tadi memang penyusup. Dia sengaja mendatangi rombongan polisi dan hampir menyerang duluan untuk memprovokasi. Beruntung mereka berhasil mencegahnya. Orang ini tidak punya KTM dan data KTP-nya palsu, tetapi dia belum mengaku siapa yang menyuruhnya merusuh.

“Kenapa aku jadi teringat legenda Joyboy?” gumam Bonney saat melihat tarian Luffy, lalu perempuan ini duduk di punggung penyusup lain yang dia lumpuhkan.

Semua orang dapat berjuang dengan berbagai cara, dan mereka memilih untuk melawan dengan bergembira.

Di antara kepedihan dan kemarahan, selalu ada hal yang tidak akan mati. Sesuatu yang berlipat ganda meski berulang kali kalah. Hal yang menjadikan mereka manusia.

Lagu berganti. Brook merendahkan badan ala vokalis band. Dia memandang langit sambil menyanyi dari lubuk hatinya. Semua massa aksi menyanyi bersama.

“DAN INTERNASIONALEEE, PASTIII, DI DUNIAAA!”