Trafalgar D. Water Law benar-benar datang dari jendela.

Nerona Nami membekap mulut sendiri supaya tidak memekik. Konon, konflik para D dan WG (Nerona termasuk di dalamnya) telah berlangsung ratusan tahun. Singkat kata, Law seolah cari mati dengan masuk seorang diri ke daerah lawan.

“Di sini sangat kaya, tetapi kamu malah kurusan padahal baru seminggu,” komentar Law sekilas.

“Tidak nafsu makan,” ringis Nami.

Untuk berjaga-jaga, Law mengamati seisi kamar, memeriksa setiap sudut. Tidak ada CCTV atau penyadap suara. Tampaknya, mereka angkuh mengenai keamanan penjagaan di bawah.

Terdapat sekeranjang buah di meja. Utuh. Tangan bertato Law meraihnya lalu membawa ke tempat tidur. Dia mengupaskan jeruk lalu menyuapkannya ke Nami. “Kamu harus makan, Nami-ya.”

Kendati sedikit enggan, Nami membiarkan Law menyuapinya buah-buahan. Toh, dia perlu tenaga untuk kabur. Namun, secara tidak sengaja Nami kemudian keliru melahap jari telunjuk dan jari tengah Law.

Dokter muda tersebut membeku sedetik, tetapi tidak menarik jarinya. Mereka sampai pada kesepakatan non verbal akan sesuatu. Nami lanjut mengulum jari-jari Law, sementara dia membelai lidah dan rongga atas mulutnya.

Lantas, Law mengeluarkan jarinya yang basah, menggantikan posisi dengan lidahnya. Ciuman mereka sedinamis ombak samudera; kadang lembut, terkadang mengganas, dan ada saatnya mereka tidak bergerak—sekadar bersua.

“Kamu yakin, Nami-ya?” tanya Law begitu ciuman terlepas.

Sebagai jawaban, Nami mengambil apel merah—yang menurut dongeng merupakan simbol dosa. Digigitnya apel tersebut perlahan. Gigitan renyah diikuti dengan mengalirnya beberapa tetes air buah dari bibirnya. “Iya, Law. Dan, tolong bawa aku keluar dari sini.”

Sejurus kemudian, Law memposisikan diri di atas Nami. Apel merah terjatuh dari tangannya, tetapi siapa peduli. Law mengusap pipi Nami sejenak. Ada kehangatan yang menguatkan Nami menjalar dari sana. Ada kelembutan yang menenangkan di sepasang mata emas itu.

Seiring wajah Law mendekat, Nami merangkul lehernya. Ada senyum di wajah nona berambut jingga. Lagi, mereka berciuman—kali ini terasa lebih panjang.

Jemari Law bermain di renda bahu gaun Nami—tali kecil yang menahan pakaian tipis dan longgar tersebut. Di dekatnya, lidah Law turun dari leher Nami, menyusuri selangka, lalu singgah untuk menggigit pundaknya.

Seolah memahami kebimbangan Law, Nami berujar pelan, “Robek saja. Aku tidak mau membawa apa pun dari sini.”

Tentu, Law melakukannya dengan senang hati. Suara robekan kain menyebabkan degup jantung mereka berpacu.

Pemuda berambut gelap ini mundur sedikit agar dapat melihat semuanya. Berbaring di sana, perempuan jelita tanpa satu pun tabir. Kekasihnya, walau belum ada penegasan antara mereka berdua.

“Wajahmu merah. Ternyata kamu bisa berekspresi begini,” kikik Nami, meski dia sendiri juga malu.

Siapa yang tahan jika di bawah badannya ada bidadari? timpal Law dalam hati, sebelum mencium Nami lagi ... dan lagi.

Bekas kemerahan terus bertambah dari waktu ke waktu. Peluh membasahi tubuh mereka. Kamar—yang lebih pantas disebut penjara mewah dipenuhi desahan pelan dan erangan tertahan. Bercinta ternyata dapat dijadikan sebagai perlawanan terhadap keadaan. Pergolakan hasrat serta kerinduan—untuk menyongsong kerinduan baru di masa depan. Dan cinta.

(Belum ada kata “cinta” antara keduanya, tetapi cinta berayun dari mata ke mata, bergelayut di nama mereka, dan memenuhi udara.)

Malam mereka berdua masih panjang.


Law berulang kali menatap jam tangan dan penjaga di luar bergantian, sedang menunggu saat yang tepat. Di punggungnya, Nami memakai hoodie kuning berlogo wajah tersenyum. Perempuan itu menyandarkan dagu di bahu kiri Law.

“Tempatmu di laut bersama mereka, Nami. Aku akan menyusul ke laut bersama Bepo dan yang lain kemudian.”

“Kamu tidak ikut berlayar dengan kami?”

Memang Nami bertanya, tetapi dia telah paham jawabannya sendiri. Luffy adalah kapten. Law juga adalah kapten. Tidak ada dua kapten di satu kapal.

“Aku perlu memastikan kalian tidak dikejar, jadi aku tetap di sini sampai kalian aman dan berlayar cukup jauh,” jelas Law.

Perkataan yang logis, tetapi tidak bisa dipungkiri Nami menjadi sedih. Tangannya memeluk leher Law lebih erat. “Aku benci Nerona,” ungkapnya pedih.

Topi putih bertotol membentur rambut Nami saat Law menoleh. Lelaki itu mengecup pipinya. “Kalau kamu benci nama Nerona, bagaimana kalau memakai nama Trafalgar?”

Entah apakah dia serius atau bercanda. Situasi belum mengizinkan mereka membahas lebih jauh. Jadi, meski wajahnya semerah apel dan degup jantung menggila, Nami berusaha menjawab sejenaka mungkin.

“Sayang sekali aku tidak akan menjawab apa pun kalau kamu tidak membawa cincin. Sebagai informasi, aku tidak mau cincin murahan.”

Law tertawa kecil, Nami juga. Lantas, mereka kabur dari jendela. Nami mendongak sepintas ke angkasa. Rasanya ... bebas.

Beberapa kilometer dari sini adalah pantai, tetapi entah mengapa Nami merasa bisa mendengar laut memanggilnya. Mungkin, Law mendengar suara yang sama. Hanya saja, petualangan yang menunggu mereka berbeda ... hingga saatnya tiba.

“Ayo bertemu lagi di Sabaody.”