untitled (draft 1)

Bingung.

Satu kata yang sangat menggambarkan isi pikiran Lavanya saat itu.

Kedatangan Mahesa, Kamila, beserta kedua orang tua mereka dan juga beberapa teman dekat mereka cukup mengejutkannya. Lavanya yang saat ini berada di rumahnya seorang diri sangat kebingungan akan kedatangan mereka semua.

“Eh, masuk dulu, silahkan,” kalimat yang pertama kali diucapkan olehnya saat melihat mereka semua di depan pintu rumahnya. Jangan lupakan dengan nada suara dan raut muka yang penuh kebingungan.

Setelah memastikan tamunya masuk dan duduk di rumahnya, Lavanya hendak mengambilkan beberapa makanan dan minuman untuk disuguhkan, namun pergerakannya terhenti oleh ucapan Shaka yang tegas.

“Ngga usah disuguhin, Va. Kita juga mau langsung ngomong aja. Kamu duduk sini.”

Mendengar ucapan Shaka yang agak memerintah, Lavanya segera duduk di single sofa ruang tamunya. Di sebelah kanannya terdapat Mahesa, Kamila, serta orang tua Mahesa. Di sebelah kirinya ada Bisma, Dhanes, Hani, dan orang tua Kamila. Di hadapannya kini, Shaka duduk di single sofa yang berjarak sebuah meja panjang dengan Lavanya.

Hening. Semua orang yang berada di sana seolah-olah enggan mengucap sepatah kata walaupun sebenarnya ada banyak kata yang ingin dikeluarkan.

“Papa sama Mama ngga di rumah, Va?” Dhanes mengawali percakapan di ruangan tersebut setelah hening yang berisik melanda mereka.

“Ngga, Nes. Papa kan lagi renovasi rumah yang di Bekasi, lagi cek progress, terus si Mama minta ikut sekalian,” jelas Lavanya secara singkat.

“Va, we’re here of course not without reason, apalagi kita di sini juga ada banyak orang. There’s something that Mahesa and Kamila will explain to you,” Shaka mengambil alih perhatian seluruh orang dengan suara baritonnya.

Setelah mendengar ucapan Shaka entah mengapa perasaan Lavanya mendadak tidak karuan. Tuhan, semoga ini bukan suatu hal besar atau suatu hal buruk, batin Lavanya kala itu.

“Va, I’m truly sorry for saying this.

Baru satu kalimat yang terucap oleh Mahesa membuat darah dalam tubuh Lavanya berdesir hebat dan jantungnya berdetak sangat cepat.

“Tapi, Va, aku berani sumpah kalo kejadian ini emang bener-bener ngga disengaja.”

Suatu hal buruk dan besar pasti sudah terjadi, batin Lavanya.

Let me explain first, Va.”

“Setelah aku anter kamu pulang dari birthday party Dhanes aku balik lagi ke rumah Dhanes. Masih banyak anak-anak di sana, and as the night get dark we’re decided to have some shots. Ada aku, Kamila, Dhanes, Bisma, Hani, Shaka, Jean, Sabrina, sama Rakha. Kita main beberapa game sambil kita minum di malem itu. Maybe we’re really into te situation saat itu, sampe akhirnya mayoritas dari kita udah tumbang. At that time aku ngga sengaja liat Kamila udah bener-bener lemes di sana. Akhirnya aku bawa dia ke kamar tamu di rumahnya Dhanes karena aku rasa dia udah ngga kuat lagi.”

God, please….. I hope what I think just a randomly thought…

“Waktu aku nganter Kamila keadaanku emang udah agak mabuk, tapi aku masih bisa berdiri, jadinya aku gendong dia ke kamar tamu. Begitu sampe di kamarnya, I don’t know how and I don’t know why ‘it’ could be happen, Va. For real, aku berani sumpah pas besok paginya aku sama Kamila juga sama-sama kaget.”

“Setelah kita tenangin diri, kita ngobrol sebentar dan mutusin buat nyembunyiin ini dari semuanya. Tapi salah, Va, ternyata Bisma, Hani sama Dhanes tau. Waktu itu aku sama Kamila disidang sama mereka, and we’re honest that was an accident. Setelah mereka denger penjelasan dari kita, Dhanes nyuruh kita juga buat jujur sama kamu, but we’re lying to him kalo kita udah jujur sama kamu. That’s why when Dhanes saw you at your birthday party dia langsung tanya ke kamu, you okay or not.”

It’s almost two months after that accident. Parahnya, karena itu bener-bener kecelakaan, aku ngga pake ‘pengaman’ dan aku keluarin di dalem.

“Kamila hamil anak aku, Va.”

God.

Pecah tangis Kamila, orang tuanya, serta orang tua Mahesa. Entahlah, Lavanya tiba-tiba seperti mati rasa. Terlalu banyak perasaan yang bercampur di hati dan pikirannya yang membuat Lavanya tidak tau harus berbuat apa.

Di tengah tangisannya, Kamila tiba-tiba bersuara.

“Va, aku berani sumpah kalo ini semua beneran ngga disengaja. Maafin aku, Va. Demi Tuhan aku juga kaget banget, Va.”

Berkali-kali Kamila mengucap kata maaf di tengah isak tangisnya pada Lavanya. Tetapi, selama itu Lavanya benar-benar membisu.

Hal ini terlalu mengejutkan bagi Lavanya. Sudah 5 tahun lebih dirinya menjalin hubungan dengan Mahesa, dan walaupun baru setahun ia berteman dengan Kamila, tapi hei, Lavanya dan Kamila juga sangat dekat seperti Lavanya dengan Hani. Lavanya tentu sangat syok, bingung, kecewa, marah, dan juga sedih di saat yang sama.

Di tengah kebisuan Lavanya, Ibunda Mahesa angkat bicara.

“Vanya, sayang… Bunda sama Papah juga minta maaf sebesar-besarnya sama kamu ya, Nak. Kita juga sama kayak kamu, kaget pas denger Mahes bilang ini ke Papah sama Bunda.”

“Sebelum kita semua ke sini buat nemuin kamu, kita udah ke keluarganya Kamila dulu, Nak. Kita diskusiin masalah ini bareng-bareng.”

“Lavanya, Bunda mohon maaf sekali lagi sama kamu ya, sayang. Kita udah memutuskan buat tetep menjaga anak yang dikandung Kamila.”

“Kita juga sepakat, bulan depan Mahes dan Kamila akan menikah.”

Sunyi kembali melanda ruangan itu. Semua orang berisik dengan pikirannya masing-masing, terutama Lavanya. Ia terlalu banyak membisu semenjak mendengar semua hal dari runtutan kejadian yang dijelaskan, hingga penyataan Bundanya Mahesa tentang pernikahan anaknya dan Kamila.

Lavanya tiba-tiba merasa sangat kosong. Impiannya untuk membangun rumah di dekat pantai bersama Mahesa langsung hilang bagaikan debu yang tertiup angin.

Kenyataan belum tercerna penuh oleh Lavanya, tetapi panggilan Shaka menyuruhnya untuk segera tersadar.

“Va, you have something to say, don’t you?

“Ah, iya. Maaf, tadi masih sedikit kaget.”

Mmm, I don’t know how to start, tapi kayaknya kamu dulu ya, Sa. Since you’ll get married, I think there’s no reasons to stay. So, makasih banyak ya, Sa. Thanks for everything you gave to me, those five years that really meant a lot to me. Maaf, kalo selama ini aku masih kurang buat kamu. Hope you and Kamila always happy and stay longlast after married ya.”

“Dan…”

Keheningan kembali melanda, Lavanya yang pikirannya osong bingung harus mengucapkan apalagi untuk menutupi perasaannya yang sangat hancur.

“Jujur aku bingung harus ngomong apalagi ya, hahaha. Pikiranku tiba-tiba kosong, jadi bingung mau ngomong apa. Tapi makasih ya buat kalian. Makasih karena kalian udah mutusin buat tetep jaga bayi itu. Semoga anak kalian sehat selalu ya.”

I think it’s enough from me. Kayaknya dari kalian juga udah tersampaikan semua ya?” pertanyaan Lavanya saat itu seolah mengirimkan sinyal kepada tamunya bahwa dirinya sudah tidak menginginkan mereka berada di rumahnya.

Shaka yang paham akan maksud Lavanya memutuskan untuk berpamitan serta segera beranjak dengan Mahesa dan yang lain. Biarlah Lavanya dicap sebagai tuan rumah yang tidak sopan karena mengusir tamunya, biarkan Lavanya egois untuk sekali saja.

Setelah memastikan tamu tak diundangnya sudah meninggalkan kawasan rumahnya, Lavanya bergegas kembali ke dalam dan mengunci pintu rumahnya.

Sunyi.

Baru memijakkan kakinya di langkah pertama, Lavanya merasa seolah-olah dirinya dipukul oleh kenyataan. Sejenak ia berdiri diam sambil menatap ruang tamu rumahnya. Kejadian beberapa menit yang lalu terputar terus menerus di kepala Lavanya bak kaset film yang rusak.

Hancur.

Tumpah semua seluruh perasaannya. Kini Lavanya terduduk bersandar di pintu rumahnya dengan menatap ruang tamu. Jangan lupakan tangisannya yang terdengar sangat lemah dan putus asa, sangat menggambarkan kondisi Lavanya saat ini.

Pukul 01.00 dini hari, kamar Lavanya masih memancarkan cahaya lampu, yang berarti sang pemilik kamar belum tidur. Pikiran Lavanya sangat berisik di kesunyian pagi itu.

Di tengah lantunan lagu Oceans & Engines ia kembali memutar ingatannya saat kedatangan dan juga penjelasan tak terduga oleh Mahesa dan Kamila siang itu, Lavanya benar-benar diam. Seolah-olah ia ingin meresapi rasa sakit dikhianati oleh orang yang sangat ia sayangi.

Bagi Lavanya, Mahesa adalah segalanya. Mahesa selalu ada di saat Lavanya membutuhkan pelukan dan usapan di kepalanya, saat Lavanya menginginkan kue pancong di tengah malam, saat Lavanya menangisi pemeran utama dari novel yang ia baca meninggal, dan masih banyak momen yang Lavanya lewati dengan bergantung kepada Mahesa.

Mengetahui kenyataan bahwa kekasihnya, ah tidak, maksudnya mantan kekasihnya akan menikahi sahabatnya tentu membuat Lavanya sangat hancur.

Kepada siapa ia akan meminta pelukan yang hangat dan usapan di kepalanya yang sangat menenangkan?

Kepada siapa ia akan mengadu bahwa ia sangat menginginkan kue pancong tiramisu setengah matang yang biasa ia beli di depan alun-alun kota?

Kepada siapa ia mengadu bahwa tokoh utama di novel yang dibaca meninggal oleh musuhnya?

Kepada siapa ia akan mengadu tentang tukang parkir pinggir jalan yang suka memindahkan motornya sembarangan hingga ia harus mencari selama beberapa waktu?

Kepada siapa lagi ia akan mengadu jika sudah tidak ada Mahesa?

Hanya Mahesa-nya lah yan sangat mengerti segala hal tentang Lavanya.

Hanya Mahesa yang selalu siap sedia untuk memberikan pelukan dan usapan yang menenangkan Lavanya.

Hanya Mahesa yang selalu berkenan untuk membelikan Lavanya kue pancong tiramisu saat dirinya butuh camilan untuk menemani membaca novel pukul 23.00 malam.

Hanya Mahesa yang paham bagaimana perasaannya saat tokoh utama di novel yang ia baca ternyata meninggal.

Hanya Mahesa yang sepenuh hati mendengarkan keluh kesahnya selama menjalani hari.

Hanya Mahesa,

dan selalu Mahesa.

Lantas, bagaimana jika Mahesa-nya sudah bukan miliknya lagi?

-cont,