write.as

what started in beautiful rooms, ends with meetings in parking lots

wonwoo berhenti mendadak. ia mendongak dari ponsel di tangannya dan mengedarkan pandang ke sekitar—wajahnya waspada. gelap. nggak ada siapa pun kecuali dirinya dan puluhan mobil yang terparkir rapi.

“nu!”

and there he is. that voice. his dirty little secret.

wonwoo dirangkul dari belakang dan ia ingin menjerit. menjerit pada mingyu untuk lari, lari selamatkan dirimu sebelum terlambat. tapi mingyu tuli maka wonwoo berputar perlahan. butuh segenap tenaga untuk menepis lengan itu dari tubuhnya. wonwoo nggak bakat akting tapi ia akan berusaha.

“dipanggilin dari tadi kok nggak noleh sih?” tegur mingyu. wajahnya kelewat riang untuk orang yang hatinya akan segera hancur. sadly, he won't know what hit him.

mingyu mengaduk-aduk isi ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku. kecil dan nggak begitu tebal bagi wonwoo. ia tahu betul buku apa itu. wonwoo ingat pernah menghabiskan semalam suntuk mencari-cari buku tersebut di seluruh lapak jualan online hanya untuk mendelik melihat harganya. mungkin nggak seberapa bagi orang lain, tapi buat wonwoo lain cerita. butuh beberapa hari untuk melupakan ide memiliki buku tersebut dari kepalanya. ide itu muncul lagi pada suatu sore bersama mingyu. diucapkan sambil lalu dan tanpa maksud tertentu.

bagaimana mingyu bisa ingat hal sekecil dan remeh seperti itu adalah di luar nalar wonwoo.

“harusnya ini buat kado ulang tahun kamu,” ujar mingyu, masih dengan senyum lebar. “sorry telat, akhirnya nyampe juga. amerika jauh ya. oya, maaf polosan, aku pengen cepet-cepet nunjukin ke kamu.”

wajah mingyu mengingatkan wonwoo pada anak anjing yang menemukan sebatang ranting untuk dihadiahkan pada pemiliknya dan mengharapkan pujian. di luar dugaan, buku itu terasa ringan. seringan hati mingyu yang akan hancur sesaat lagi. wonwoo penasaran seperti apa bunyinya bila ia pecah; dia akan segera mengetahuinya.

thanks, tapi gue nggak butuh,” kata wonwoo, dingin. senyumnya aneh ketika mengembalikan buku itu kepada mingyu yang mengembalikannya lagi pada wonwoo. masih terasa nyeri di beberapa lokasi di mana ia dipukuli jongin tempo hari.

“nggak, liat dulu baik-baik—”

“udah gue liat—”

“terus apa masalahnya? kok kamu nggak happy—”

apabila buku itu bisa bicara, mungkin ia akan berteriak kepada mingyu dan wonwoo untuk berhenti mengopernya kesana kemari. senyum di wajah mingyu padam ketika wonwoo kemudian membuang buku tersebut ke tanah. debamnya menggema di parkiran luas itu.

“lo lama-lama ngeselin ya. tolol atau gimana sih? susah amat dibilangin,” kebencian berdering dari setiap kalimat itu. begitu dingin hingga mustahil rasanya mingyu tidak menciut. mata wonwoo melebar dan mendelik pada mingyu yang pandangannya masih tertuju pada buku yang kini tergeletak menyedihkan di dekat kakinya. terlampau terguncang untuk berkata apa pun. “gue udah bilang jangan cari gue lagi kan? bagian mana yang lo nggak paham?”

sulit, namun mingyu berhasil menguasai diri dan menghadapi mimpi terburuknya. sesuatu dalam diri wonwoo serasa diremas-remas ketika mingyu akhirnya berani mengangkat muka. wajah yang tampan dan ceria itu kini hampa. pandangannya kosong.

“kita...putus?”

wonwoo rindu dirinya yang dulu. ia mulai membenci diri sendiri yang menyakiti orang-orang di sekitarnya. berbohong menggunakan nama sahabatnya. menyakiti jongin. menyakiti mingyu...tapi begini lebih baik. wonwoo lebih memilih berantakan sendirian daripada melihat orang yang disayanginya hancur di tangan orang lain. di tangan jongin, misalnya.

perhatikan bagaimana mingyu membodohi semua orang untuk kencan demi kencan rahasia mereka berdua selama ini. mingyu bisa saja melakukan itu kepadanya. dengan orang lain. lalu apa yang akan dilakukan wonwoo ketika itu benar-benar terjadi? mingyu itu baik, tapi buat wonwoo dia adalah kabar buruk. seharusnya wonwoo paling tahu.

ia percaya mingyu bisa melalui semua ini. wonwoo akan dilupakan. namanya akan dikutuk seumur hidup dan dalam waktu singkat, mingyu akan mengenang semua ini dengan tawa, kemudian menyesal pernah mengenal orang seperti dirinya.

“putus?” wonwoo mendengus seperti mendengar sesuatu yang amat menggelikan. mingyu hanya terperangah; dimana lucunya? dia nggak paham. wonwoo menambahkan lagi setelah beberapa saat. nadanya mengejek. “mingyu, pacaran itu biasanya didasari suka sama suka. coba diinget, kapan gue pernah bilang suka sama lo?”

wonwoo tertawa tapi hatinya perih, menyakitkan. dia tahu tidak akan dimaafkan setelah ini. biarlah. apa pun supaya mingyu selamat.

“udah paham kan? gue tuh selama ini cuma iseng ngeladenin lo.”

wonwoo menepuk-nepuk pipi mingyu sebelum pergi. bukunya, masih di tanah, kondisinya juga tidak jauh beda dengan harga dirinya; diinjak-injak. bahkan mingyu pernah melihat sampah diperlakukan lebih baik dari ini. mata wonwoo berkaca-kaca tapi mingyu tidak yakin sebab matanya sendiri basah.

“nu, tunggu—”

and it's 'kak wonwoo' for you!” tangan mingyu dihardik kasar. “sopan dikit sama senior!”