write.as

Begitu Jihoon mendengar suara denting notifikasi di ponselnya dan bunyi klakson yang familiar, ia langsung berlari keluar.

Tangannya masih belum bersih oleh cat yang mengering dan menempel, sisa-sisa mengerjakan tugas akhir di studio. Kakinya hanya memakai sandal rumahan. Rambutnya masih acak-acakan sehabis perjalanan pulang dari kampus. Ponsel dan segala perintilan lainnya ia tinggalkan tanpa rasa peduli sedikit pun. Yang dibawa hanya rasa penat hasil dari ucapan penuh kritisi dan coretan merah berbentuk X besar di buku asistensinya, serta rasa cemburu yang menguras sisa energi yang ia miliki.

Kalau sudah begini, yang ingin Jihoon lakukan adalah pulang.

Matanya nyalang saat ia menemukan mobil Daniel terparkir tepat di depan kos-kosannya. Sore hari begini, seharusnya wilayah depan kompleksnya tidak sepi. Tapi hari ini jalanan kosong, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Samar-samar ia bisa melihat figur pria itu dari balik filter kaca jendela yang gelap. Jihoon menahan geraman, dan langsung membuka pintu keras-keras.

Seperti otomatis, suara lantunan musik jazz dari radio berkumandang begitu Jihoon membuka pintu, dengan pria yang menjadi objek kemarahannya tersenyum lebar menatapnya.

“Jihoon—”

Lalu dengan sukses dibungkam oleh sepasang bibir yang kehausan.

Jihoon mencium Daniel seperti orang yang frustrasi, yang sangat teramat lelah setelah berhari-hari mengendap di studio kampus. Yang merasa insekur dengan posisinya dan berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal seperti seberapa jauh Kak Daniel dan Kak Sejeong dulu berpacaran? Sudah sampai mana? Ataupun rasa takut karena tidak bisa membalas perasaan Daniel sebanyak perasaan pria itu padanya. Jihoon mencari pelepasan, mencari konsolidasi, mencari tempat istirahat, mencari tempat untuk pulang.

“Mm..”

Rupanya masih ada yang bisa berpikir jernih di antara mereka, karena Daniel langsung mencondongkan tubuh dan menarik pintu mobil agar menutup, sebuah hal yang entah bagaimana sudah terbang jauh dari akal pikiran Jihoon—tanpa sekalipun memutus ciuman mereka. Pria itu membiarkan ketika jemari Jihoon merambat menuju rambutnya, mendesis rendah ketika merasakan bibir bawahnya digigit pelan.

Daniel melepaskan diri dari ciuman Jihoon yang begitu beringas, menarik tuas kursi pengemudi dan mendorong kursinya ke belakang untuk menciptakan ruang di hadapannya. Jihoon hampir menyuarakan protes, tapi ketika ia melihat apa yang pria itu lakukan, ia langsung berpindah tempat tanpa basa basi.

Jihoon lantas jatuh ke pelukan Daniel, bokongnya sukses mendarat di pangkuan pria yang sekarang menyatukan bibir mereka kembali. Ada suara desahan memalukan yang keluar dari bibirnya, dan ia bisa merasakan wajahnya memanas. Lidahnya disapa dan disesap secara ahli, dan ia lagi-lagi mengeluarkan suara yang membuat Daniel meremas kaus yang ia kenakan. Sepintas ia merasakan air liurnya (atau Daniel?) turun membasahi dagu, tapi ia sudah keburu terlepas dari dunia untuk sanggup memikirkan hal trivial macam itu.

Lalu ia merasakan bibir Daniel meninggalkan dirinya, dan hampir ia mengeluarkan suara memalukan lain. Tapi suara itu hilang ketika bibir yang sama tengah mengecupi lehernya.

Napas Jihoon tertahan, tercekat, karena ini sensasi yang baru. Jemarinya meremas rambut Daniel erat, dan disambut oleh erangan dari pria itu. Kecupannya terhenti, dan napas hangat Daniel mengenai lehernya saat ia berbisik, “Miringin wajah kamu, Jihoon,”

Ia menurut, mengubah angle wajahnya agar menampakkan lehernya secara lebih jelas. Kembali, kecupan itu diteruskan.

Ini gila.

Ini gila, karena Jihoon bisa merasakannya. Intensitas dan gairah yang Pak Dongwook keluhkan absensinya di karya-karyanya.

’Ini Tugas Akhir, Jihoon. Kamu sendiri yang memilih tema dan konsep begini, tapi bagaimana kamu bisa mendepiksinya secara jelas kalau, seperti yang kamu bilang, kamu tidak pernah merasakan emosi itu sendiri?’

‘Saya pernah pak,’ protes Jihoon waktu itu, wajahnya merah padam karena malu mendiskusikan hal seperti ini. ‘Justru karena saya pernah ngerasain, makanya saya ingin eksplor hal itu di sini.’

‘Ya, tapi yang pernah kamu rasakan dan kamu tuangkan di sini hanyalah sejumput dari emosi itu. Di proposal, kamu nyebut ada tahapan klimaks atau poin tertinggi. Tapi di sini, saya baru ngeliat permukaannya. You have to dive deep. Paham maksud saya?’

“Kak Daniel.. ah!

Lidah pria itu menjilat bekas gigitannya. Ia mengecup spot itu dengan lama seolah sedang mengucapkan permintaan maaf. Ketika ia mendongak dan menatap Jihoon, napasnya tersengal, kedua matanya sudah berkabut oleh sesuatu yang asing.

Belum sempat pria itu mengucapkan apapun, Jihoon sudah mendorongnya ke senderan kursi.

“Jihoon, kamu..”

Tangan-tangan mungil itu bergetar saat ia menyentuh kancing kemeja Daniel.

“Jihoon, hei,” suara Daniel melembut, “are you okay?

Yang ditanya malah menggeleng, wajahnya merah. Dahinya berkerut penuh konsentrasi.

Daniel hampir mengeluarkan tawa karena sekarang Jihoon terlihat sangat menggemaskan. Ia menahan tangan Jihoon, dan bertanya halus, “Kamu mau saya buka baju?”

Ia dibalas dengan decakan kesal. “Kak!”

Kali ini, Daniel benar-benar tertawa. Ia menyingkirkan tangan Jihoon dari kemejanya, dan lantas membuka kancing-kancing itu sendiri. Matanya memperhatikan saat bola mata Jihoon bergulir turun setiap ada satu kancing yang terbuka, tarikan napasnya tercekat, dan bibir merahnya dikulum dengan penuh antisipasi dan keraguan.

Jujur, Daniel terkadang tidak mengerti apa yang ada di pikiran anak itu. Tapi ia memutuskan untuk menghumorinya.

Kancing terakhir terlepas, dan kemejanya terbuka.

Instrumen musik jazz masih berlagu, dan Daniel memandang Jihoon yang terduduk kaku di hadapannya dengan pandangan geli.

“Mau diliatin aja?” godanya, “atau—”

Lagi-lagi, sepasang bibir itu membungkam mulutnya. Tampaknya Jihoon benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Tapi yang membuat napas Daniel sendiri tercekat adalah ketika sepasang bibir itu turun ke lehernya, mengikuti gerakan yang tadi ia lakukan.

“Kak Daniel tuh,” sebuah kecupan, “ngeselin, tau gak.”

I'm aware. Mmh..” tangannya menarik paha Jihoon mendekat, “kamu sering bilang.”

“Kayaknya belom bener-bener meresap,” napas Jihoon panas di sekitar pendengarannya, lidahnya keluar untuk mencicipi kulit di belakang telinganya. Tangannya menarik kemeja Daniel yang setengah terbuka untuk jatuh ke bahunya, “Masih harus diulang terus.”

Tuhan, jauh di benaknya Daniel berpikir, apa benar Jihoon tidak pernah punya pacar? Belajar darimana dia hal seperti ini? Tapi semua pikiran hilang karena Jihoon tiba-tiba menggerakkan pinggul, mengenai satu area sensitif yang sedari tadi sedang berusaha Daniel hiraukan.

“Kamu bikin saya gila,” erangnya, tangannya menaikkan kaus yang Jihoon kenakan dengan buru-buru. Bibirnya kembali menempatkan diri di leher lelaki itu.

“Kak— ah, Kak Daniel...”

“Niel,” potong Daniel dengan napas terengah, “panggil saya Niel aja,”

“H-hah?”

“Nama kecil saya, mmh—“ Daniel menahan desahan tatkala Jihoon menggerakkan pinggulnya lagi, “itu- semua orang terdekat saya manggil saya Niel,”

Daniel menciumi bibir Jihoon yang ranum, tapi baru beberapa detik setelahnya ia merasakan kekasihnya tidak membalas.

“Jihoon?”

Yang dipanggil menggeleng kepala, seolah membuyarkan pikiran. Keningnya berkerut, tapi ia balas mencium Daniel, tangannya memeluk punggung polos pria itu. Dengan senang, Daniel memiringkan wajah, berusaha menyambutnya dengan lumatan. Ia membisikkan nama Jihoon di setiap kecupannya (oke, mungkin Daniel punya sedikit name kink), dan fuck, ia sampai harus berpegangan pada setir mobil karena Jihoon tidak bisa berhenti bergerak di pangkuannya.

“Kak... mm.. Niel..” lalu tiba-tiba Jihoon berseru, “GAK BISA!”

Terlonjak, Daniel balas berseru, “KENAPA?”

Wajah Jihoon menampilkan ekspresi yang bercampur antara meratap dan stress. Ia menjatuhkan diri ke pelukan Daniel.

“Kakak,” bisiknya seperti memberitahu rahasia negara, “saya gak bisa manggil kakak pake panggilan itu. Saya berasa selingkuh.”

“Selingkuh sama siapa?!”

Jihoon mengeluarkan ratapan lagi dan membenamkan wajahnya ke leher Daniel. Kebingungan, Daniel hanya mengelus-ngelus kepala Jihoon. Lalu, ia meringis.

“Jihoon,” panggilnya. Lelaki di pangkuannya masih menggeleng-gelengkan kepala. Daniel menghela napas keras, “Jihoon, kamu jangan gerak-gerak kayak gitu, please. Kegesek.”

“Oh.”

Keduanya diam dalam hening yang nyaman. Atau mungkin hanya satu pihak, karena Daniel sedari tadi sibuk berulang kali menghembuskan napas perlahan untuk mengontrol dirinya.

“Kak,” suara Jihoon memecah keheningan. “Kak Daniel beneran gak bakal pergi kan?”

Mulai aneh-aneh. “Mau pergi ke mana juga, sayang?”

“Gak tau. Sama Kak Sejeong.”

Oh, ini. Tertawa geli, Daniel mengecup rambut Jihoon.

“Ngapain? Saya kan punya kamu.”

Diam.

Pelukannya mengerat. Ada anggukan setuju. Suaranya hanya berupa gumaman.

“Kak Daniel punya saya.”

Pernyataan yang posesif. Hanya berupa pengulangan, tapi sanggup membuat hatinya berbunga-bunga.

Daniel memejamkan mata, menikmati kehangatan yang timbul di dadanya. Ia tersenyum ketika merasakan tangannya diambil dan ditautkan.

All yours, baby. All yours.