write.as

cold air, and the creak on your door...

wonwoo berjalan cepat melewati ruang santai dimana sisa rombongannya berkumpul, termasuk mingyu. mata liarnya mengikuti hingga sosok jangkung itu menghilang di salah satu kamar.

begitu tiba di homestay tujuan mereka, wonwoo lah yang paling pertama turun. diam sepanjang jalan dan hanya mengangguk singkat kepada penjaga yang sudah menyambut rombongan mereka, pemuda itu langsung menempati kasur pertama yang ia lihat. kamar pertama dekat pintu masuk. membanting pintu dan nggak mengizinkan siapa pun untuk sekamar dengannya. membuat yang lain yang nggak kebagian kamar harus rela bersempit-sempit sekasur bertiga.

beberapa menggerutu, beberapa menghela nafas, tak sedikit yang protes; satu orang memaklumi.

lalu dia kembali menampakkan diri dengan menenteng satu set perlengkapan mandi hanya untuk menyabotase satu-satunya kamar mandi yang tersedia untuk menuntaskan rasa mual yang masih menggantung di dasar perut dan tenggorokannya.

bahunya dicolek dan mingyu akhirnya mengalihkan pandangan dari kamar paling depan yang pintunya tertutup tersebut. ia menoleh dan mendapati sepasang mata bulat dan senyum jelita menatapnya. nggak ada yang mingyu ingin lakukan selain beranjak dari kursi empuk yang ia duduki sekarang dan meninggalkan gadis yang menyebut diri sebagai kekasihnya belakangan ini, untuk memastikan bahwa penghuni kamar depan itu sedang apa. apakah dia baik-baik saja.

tapi bahu mingyu berat oleh kepala cindy dan suara gadis itu berbisik menggoda telinganya.

“ngantuk nih, ke kamar yuk.”

mingyu hanya tersenyum dan melempar sebungkus kacang telor yang kebetulan ada di dekatnya kepada mark yang berisik minta dioper.

beberapa yang lain sudah berpamit ke alam mimpi. bersiap untuk hari esok yang dinanti. tinggal yang berjiwa satpam saja yang masih menguasai layar televisi dan mengobrol.

“duluan aja. mau nyebat dulu di luar, gue nyusul ntar.”

adalah jawaban mingyu sebelum bangkit dari kursi dan meninggalkan yang lain, tak lupa mengusak rambut gadis itu sebelumnya. cindy menggerutu pelan.

hanya orang berkulit tebal yang masih betah berada di luar khususnya jam segini di pegunungan ini. ditemani penjaga yang berkupluk rajut, berjaket tebal, serta sarung yang melilit di badan, mingyu nggak hanya berbagi segelintir kretek namun juga cerita. sudah sangat lama sejak terakhir mingyu berkunjung ke tempat ini. banyak yang berubah, tentu saja. dua asap putih berhembus silih berganti dari bibir mingyu. mereka berbincang sampai dini hari. sampai mingyu nggak sanggup lagi.

merapatkan jaket dan pamit kepada pak joko—beliau pergi minum kopi—mingyu kembali memasuki homestay yang sepi. ada mark yang tertidur di sofa depan tv. tak diragukan lagi kehabisan kamar. tv masih ribut menyiarkan pertandingan sepak bola—nggak tertarik, bukan tim favorit mingyu.

sosok itu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. semua pintu kamar menutup. sunyi. persis seperti yang dia inginkan.

sempurna.

pintu kamar paling depan dibuka perlahan. tidak dikunci. deritnya mengerikan serupa pagar berkarat di pemakaman pada tengah malam. dari seleret cahaya yang masuk dari luar, mingyu bisa melihat ada buntalan tunggal berselimut diam di tengah ranjang. sesekali menggigil. sepasang kaos kaki putih polos menyembul dari bawah selimut.

kasihan. mingyu tahu sekali bagaimana kak wonwoo-nya nggak suka dingin. ditambah insiden mabuk darat tadi. andai wonwoo mau membagi penderitaan itu bersamanya.

spring bed itu melesak menerima berat tubuh mingyu. ia tersenyum. kak wonwoo-nya pasti ketiduran. dalam kegelapan, ia bisa melihat kacamata yang masih bertengger di hidung bangirnya dan ponsel yang tergeletak dekat bantal.

nggak apa-apa, kan? dia hanya ingin mengetahui keadaan orang yang disayanginya...

perlahan, dengan sangat perlahan. mingyu menyingkirkan kacamata dan meletakkannya di sisi bantal. selama beberapa saat, nggak ada yang mingyu lakukan selain menaikkan selimut yang merosot serta memandangi wonwoo. mingyu sangat merindukan wajah ini.

dengan lancang, mingyu mengambil tempat kosong di sebelah wonwoo dan ikut berbaring. tangan menyilang di bawah kepala, deru nafas teratur wonwoo menjadi pengganti nina bobo yang menemani lamunannya.

mingyu bersumpah akan pergi sebelum sosok di sampingnya terbangun. ia janji. percayalah, mingyu sendiri masih nggak tahu apa yang terjadi pada mereka berdua. hanya wonwoo yang sanggup membuat mingyu jatuh cinta secepat ini dan wonwoo pula lah yang meninggalkannya dengan kecepatan yang sama. wonwoo memang misterius seperti itu.

untuk saat ini, biarkan dia menjaga kak wonwoo-nya dari dekat. karena hanya pada saat ini lah, mingyu diijinkan untuk menatapnya lama-lama. saat wonwoo terlelap dan tak terjaga. jari mingyu membelai rambut wonwoo sayang sebelum matanya nggak sanggup lagi terjaga.

“dream a little dream of me, my dream.”

×

wonwoo hanya ingat bertukar pesan dengan jongin, kekasihnya, sebelum ketiduran. ia ingat betul minta dibangunkan pada pukul tiga dini hari untuk bersiap menanjak. mungkin itu sebab mengapa ponselnya berisik berdering persis di telinga.

wonwoo nggak ingat tidur ditemani guling atau memeluk sesuatu senyaman dan sehangat ini. rasanya familiar. seperti tidur di pelukan kekasih. bedanya yang ini lebih pas dan aman. kayak dilindungi.

itu dan suara serak yang datang dari sisinya membuat wonwoo terlonjak. bayangkan betapa kagetnya ia menyadari siapa sosok yang entah sejak kapan dipeluknya itu. bagaimana bisa...?

“ngapain lo—!”

“good morning, akhirnya bangun juga. hape lo berisik banget dah,” dengan santainya mingyu menjawab. “mau gue matiin tapi lo meluknya enak banget. mau gerak aja nggak bisa.”

wonwoo bersumpah akan menuntut jawab bagaimana orang ini bisa ada di kamarnya alih-alih kamar lain bersama pacarnya yang cantik itu. tapi nanti. untuk saat ini, ada hal lebih mendesak yang harus diurusnya. wonwo menarik selimut sampai ke dada dan membelakangi mingyu.

“gue nggak akan tanya gimana lo bisa nyasar ke kamar ini. balik ke cewek lo sana.”

“kalo gue nggak mau?”

“lo gila ya?” wonwoo memutar badan dan mendelik. “pikirin perasaan cewek lo!”

“alasannya bukan itu, kan?” goda mingyu jahil. bahkan dalam kegelapan, dia bisa membayangkan semburat merah jambu di pipi itu. wonwoo semakin gusar, terbelalak dan berbalik lagi. kali ini memeluk lututnya sendiri.

“please please, mingyu, go away...”

suara wonwoo nyaris memohon. epik adalah dapat morning wood saat kamu kebetulan seranjang bersama orang yang kamu benci (suka).

mingyu menyeringai. kak wonwoo-nya sungguh kotor. menggunakan tubuh mingyu sebagai sarana untuk memuaskan diri bahkan saat terlelap. sepertinya ada yang lain yang ikut terbangun diantara mereka saat ini.

“sakit ya kak? sini gue bantu,” tawar mingyu penuh simpati.

“nggak! gue bisa sendiri...”

“a little help won't hurt, trust me.”

“just—go? please, gue udah di ujung...”

“iya, kak, gue paham banget kok gimana rasanya.”

mingyu memepet tubuh wonwoo dari belakang dan wonwoo hanya bisa terpaku melihat tangan mingyu menyingkirkan selimut dan menurunkan celana training-nya perlahan. seperti menyaksikan detik-detik dua mobil bertabrakan. tak ada yang elok saat keduanya bertemu dan hancur berantakan, tapi tak sedikit orang yang diam-diam menikmatinya.

wonwoo harusnya berteriak jangan dan menendang mingyu keluar tapi lihat bagaimana tenggorokannya seolah macet.

“mingyu, jangan gini.”

“i just wanna help you, nothing else.”

”...tapi gue malu...”

it's completely normal, nggak usah malu. gue nggak bakal liat deh, janji.”

tiada anggukan atau gelengan. mingyu menganggapnya sebagai iya. maka ia meludah di satu telapak dan meraih milik wonwoo. sudah keras dan minta diperhatikan. ibu jari mingyu mengelus pucuknya. maju mundur. mengumpulkan precum dan ludah sendiri dan menggunakannya sebagai pelicin.

“i have a boyfriend...,” rintih wonwoo ketika mingyu mulai mengocok miliknya.

“ya,” jawab mingyu tenang. “gue tahu.”

“abang...,” wonwoo terus meracau.

“gue nggak peduli.”

“maafin gue...,” tapi nggak ada penyesalan dari cara wonwoo memutar kepala dan mencari bibir mingyu untuk dicumbu.

“cewek lo...?”

“sssh. jangan ngomong lagi. nanti yang lain denger.”

wonwoo memejamkan mata dan menikmati kecupan di leher. tangan lihai itu menggengam miliknya, lalu ada milik mingyu sendiri di bagian belakang tubuh wonwoo. it is big and hard. wonwoo nyaris bisa membayangkan bentuknya.

“berhenti.”

“hah...?”

“kalo lo gak suka ini, please suruh gue berhenti sekarang,” mingyu berbisik di telinga wonwoo. hanya desah nafas wonwoo dan mingyu yang nggak hanya mengacak-acak isi celana tapi juga perasaannya.

don't stop, i like it,” satu tangan wonwoo meraih ke belakang dan meremas rambut pemuda itu. “but can you go faster, please?”

anything for you.”

wonwoo is about to cum. mingyu tahu dari cara otot pemuda itu mengencang dan genggaman di rambutnya semakin menyakitkan. dan mingyu menerima semua itu di telapaknya tanpa tersisa. tinggal wonwoo yang masih mengatur kembali nafasnya.

“kak, punya tissue nggak?”

“hah?”

“punya tissue?”

sorry. nggak. habis...”

mingyu tersenyum dan mengelap sisa pelepasan wonwoo di bajunya sendiri. gampang, dia akan ganti baju nanti. lalu mingyu menaikkan kembali celana wonwoo, menyelimuti tubuh mereka, dan memeluknya lagi. wonwoo memprotes.

“tapi punya lo...”

tampang wonwoo mengingatkan mingyu pada sebuah emoji lucu dimana mata mereka berkaca-kaca; sungguh menggemaskan. ia mencegah wonwoo yang sudah separuh-bangkit dan merebahkannya lagi.

“nggak usah dipikir. nanti juga turun sendiri,” ujar mingyu nggak peduli. lengannya merangkul pinggang wonwoo dari belakang, bersorak dalam hati ketika tangan wonwoo menyambut aksinya. “tidur lagi, yuk? masih ada setengah jam. nanti gue bangunin.”

“tapi...,” mingyu bisa mendengar konflik pada suaranya. “can you lock the door first, please?”

“udah gue kunci, tenang,” mingyu merapatkan pelukannya. “close your eyes. emang lo nggak ngantuk ya kak abis ngecrot?”

cubit dan pukulan di lengan mingyu adalah respon wonwoo. ia mendelik. bisa-bisanya bercanda di saat seperti ini...

“gimana bisa tidur kalo punya lo nyodok pantat gue mulu dari tadi,” balas wonwoo. kamar yang gelap, bisikan intim, lalu kikik tertahan. perilaku yang terlampau mesra dan rahasia untuk pasangan yang bukan kekasih. tapi mingyu tahu mereka lebih dari itu.

see? that's how much i want you.”

ingin adalah sebuah kata yang terlalu sempit. mingyu ingin wonwoo dulu dan sekarang. dia juga ingin wonwoo kemarin. ingin wonwoo esok, esoknya lagi, lusa, hari setelahnya dan setelahnya; tiap hari. mingyu butuh wonwoo. rindu terhebat sampai ia nggak bisa merindukan yang lain.

“i want you so bad, it's insane,” tambah mingyu separuh-tertawa dan wonwoo nggak tahu apa yang harus ia lakukan mendengar informasi itu atau pun yang ia rasakan. andai ada penjelasan paling sederhana yang sanggup menjelaskan apa itu api di dadanya ketika melihat mingyu bersama yang lain alih-alih dirinya. mata separuh-terpejam, wonwoo akhirnya balas menggumam:

“i know.”

×

“cindy, lo duluan aja ya. kamera gue ketinggalan,” bohong mingyu, lagi.

“kemana lagi? lo marah ya sama gue? semalem lo nggak ke kamar...,” menggelayuti bisep mingyu, gadis bernama cindy itu merajuk.

“marah kenapa sih, cantik? nggak lah. udah gue bilang semalem keasyikan ngobrol sama pak joko kan,” mingyu mencium puncak kepala gadis itu.

“yaudah. cepetan ya. gue di jeep biru!”

mingyu berbalik dan berpapasan dengan nanang yang meloncat-loncat satu kaki dengan sepatunya yang baru setengah-terpasang.

“buruan, gyu!”

“yoi. duluan aja.”

pintu kamar depan itu separuh-terbuka dan suara wonwoo yang berbicara sendiri lah yang pertama menyambut mingyu.

“iya—dingin banget—airnya kayak es—dih—abang kok nggak tidur?—ohh— sama sehun?—”

bicara dengan sang kekasih, bukan bicara sendiri. duduk di tepi ranjang, wonwoo mendongak dan menyambut tangan mingyu, yang tersenyum.

“—nanti ku telpon lagi ya—sinyalnya jelek—oke—iyaaa—you too.”

wonwoo memutus komunikasi, menunduk memandangi ponsel cukup lama sampai layarnya mati.

“udah siap?” tanya mingyu, memecah kebisuan. tepat di luar kamar, suara jeno dan jaemin terdengar samar. ia memakaikan kupluk rajut pada wonwoo, rambutnya yang tebal menutupi dahi. itu berhasil membuat wonwoo mendongak lagi.

“bawa sarung tangan?” tanya mingyu lagi yang dijawab gelengan. “yaudah, pake punya gue aja.”

“eh jangan, ntar lo dingin—”

“gyuuu, cepetan!”

“kak won! ntar ditinggal lho!”

mingyu dan wonwoo berpandangan.

“gue aja yang keluar dulu ya, kak?” mingyu berjalan ke pintu tapi gagal. ada tangan wonwoo di lengannya, menahan. wonwoo hanya diam, namun mingyu tahu apa yang mata coklat itu coba katakan.

don't go with her.

“tenang aja, nanti sama gue kok,” mingyu tersenyum dan mengeluarkan sepasang sarung tangan rajut tebal dari saku jaketnya. “dipake ya.” pesannya sebelum pintu ditutup.

×

“kak won kok diem aja sih? masih mual ya?”

wonwoo menoleh pada mark yang duduk di sebelahnya. mereka sedang berkumpul di depan musholla. di kanan kiri, jeep rombongan mereka terparkir bersama jeep rombongan lain. manusia membanjiri spot penanjakan dimana mereka akan mendaki beberapa saat lagi.

“nggak kok. dingin aja jadi males ngomong,” jawab wonwoo.

memang sedingin itu. pantat wonwoo rasanya membeku di lantai tegel tempat ia duduk sekarang. mendadak, panasnya jakarta terasa nggak begitu menyebalkan baginya. mingyu duduk beberapa meter darinya. bersama sang kekasih, kedua tangan mereka bertautan mesra. saling menghangatkan. mingyu menoleh dan pandangan mereka bertemu. wonwoo segera membuang muka. nggak berapa lama kemudian, ponselnya bergetar.

from: mingyu nanti jalan di belakang aja.

bila menoleh sekarang, wonwoo akan menemukan mata mingyu mencarinya. ia nggak paham makna pesan tersebut. maka alih-alih membalas, wonwoo menyimpan ponselnya lagi dan memilih ngobrol dengan yang lain.

pak joko memanggil dan rombongan mereka pun bangkit bersiap menyongsong matahari terbit. jeno, jaemin, adam, dan nanang paling depan. suara mereka paling keras. cinta dan rangga berdampingan. cindy dan dinda berjalan santai nggak jauh dari mereka. aneh, wonwoo nggak melihat mingyu.

wonwoo nyaris terlonjak ketika ada tangan yang menepuk pundaknya dari belakang. namun alih-alih orang asing, ada wajah mingyu yang tersenyum padanya. mata elang itu mengawasi rombongan di depan. keduanya tertinggal agak jauh sekarang. rombongan mereka berbaur dengan rombongan lain dari seluruh pelosok negeri. titik-titik kecil berkupluk yang identik.

mingyu mengangguk pada diri sendiri lalu menarik tangan wonwoo ke arah berlawanan. anehnya, pemuda berkacamata itu sama sekali nggak protes. apabila nanti mingyu mengajaknya terjun ke kawah bromo, mungkin wonwoo akan menurutinya. benar kata agnes monica, cinta memang nggak ada logika.

“jadi ini yang lo maksud dengan 'jalan di belakang'?” suara wonwoo datang dari arah belakang. keduanya bergandengan. menerobos lautan manusia yang berhamburan ke tujuan mereka sebelumnya. mingyu dan wonwoo menemui undakan tanah yang mengarah ke suatu bukit.

“kan udah gue bilang kalo nanti sama gue,” mingyu menepati janjinya.

undakan demi undakan didaki. satu tangan mingyu menggenggam tangan wonwoo dan satunya lagi memegang senter ponsel yang menyinari jalan mereka. pohon tak dikenal tumbuh di kanan kiri. gelap dan agak menyeramkan. wonwoo nggak takut.

“still okay?” tanya mingyu untuk kesekian kali. wonwoo mengangguk mantap dengan senyum tipis. dia nggak pernah merasa seyakin ini.

mingyu bertingkah sebagai pemandu jalan dan berkali-kali mengingatkan wonwoo yang berjalan di belakangnya tentang akar pohon yang kadang menghalangi jalan. separuh perjalanan, wonwoo ngos-ngosan.

“masih jauh ya?” wonwoo membungkuk dan mengatur nafasnya.

“udah di depan kok, dikit lagi,” jawab mingyu. wonwoo heran melihat pemuda jangkung itu seolah nggak berkeringat sama sekali. “mau digendong?” godanya.

wonwoo melirik mingyu kesal. mendengus, ia melewati mingyu begitu saja dan kali ini memimpin jalan. mingyu tertawa-tawa di belakang. undakan habis. mereka menemukan kemah warna-warni yang ditinggalkan penghuninya; sudah dekat.

dan benar saja. ada lahan kosong menghadap ke timur seluas lapangan futsal menyambut keduanya. nggak ada siapa pun kecuali mereka di sana.

“kita yang pertama,” ujar mingyu, mengawasi sekitar. “duduk yuk.”

wonwoo duduk di kursi bambu panjang reyot yang basah oleh embun sementara mingyu berkeliling sambil mengangkat kameranya.

“motret apa sih? gelap semua,” protes wonwoo, sebenarnya ia hanya kedinginan dan ingin dipeluk. mingyu datang dan menunjukkan hasil jepretannya. hanya kabut dan kabut.

“what am i supposed to see...?”

exactly hahaha. nanti keliatan kok, tunggu aja,” mingyu duduk di samping wonwoo dan menggosok-gosok tangannya yang telanjang. wonwoo yang memperhatikan ini kemudian melepas sebelah sarung tangannya dan menyodorkan pada pemuda itu. mingyu menggeleng. “buat lo aja.”

tanpa bicara, wonwoo meraih satu tangan mingyu yang jauh, memasangkan objek yang diributkan, lalu memasukkan dua tangan berdekatan mereka yang kini sama-sama telanjang ke dalam saku jaketnya.

dinginnya tangan mereka dan angin liar gunung bromo purba akan selalu menjadi pengingat bagi wonwoo bahwa ternyata dirinya adalah seorang pendusta ulung.

lucu bagaimana mereka pernah senyaris cinta dan sedekat benci. sekarang lihatlah keduanya: head to head, palm to palm. dua pembohong hebat yang mengatasnamakan cinta sebagai alasan untuk tak bersetia. sebab dimana ada dua pembohong, maka di situ ada dua hati lain yang menunggu hancur. tapi bila ini salah, mengapa semesta seolah merestui?

orang-orang mulai berdatangan. kabut mulai surut. gunung dan perbukitan di sekitar mereka mulai menampakkan siluetnya yang agung. wonwoo memekik pelan ketika akhirnya sang kabut menyingkap si gunung bathok. gunung mati yang mana seluruh badannya digurat kasar. seolah ada raksasa purba bengis kurang kerjaan yang menggaruki dengan cakarnya.

di sebelah timur, sang bromo yang tersohor sedang batuk ringan. asap putih mengepul dari kawahnya tiada henti. rupanya ini momen yang buruk untuk melihat matahari terbit. lain waktu, sang surya tidak malu-malu seperti ini. untuk sekarang, wonwoo terpaksa harus puas dengan semburat jingganya.

“indah ya, kak,” ujar mingyu. mereka berdiri maju. lautan manusia di sekitar mereka. makin terang makin ramai.

“iya,” bisik wonwoo.

“lain kali kesini lagi yuk,” ajak mingyu. “berdua aja.”

wonwoo ingat ada seseorang yang menjanjikan hal serupa. ia pun mengangguk, entah mengiyakan yang mana.

wonwoo snifles from his side, hidungnya merah dan matanya ngantuk. mingyu pikir, wonwoo terlihat paling manis saat ini. dibungkus jaket tebal kayak bayi; badannya tampak dua kali lebih besar. rambutnya jatuh menutupi mata. kulit wajahnya yang pucat serupa kanvas polos beku; wonwoo adalah ketidaksempurnaan yang sempurna. mingyu nggak lupa mengabadikan semua itu.

“mingyu—jangan,” protes wonwoo ketika bahunya dipenjara kedua lengan kokoh mingyu dari belakang. “not here. gimana kalo yang lain liat?” perbuatan tercela kadang membuat kita menjadi ekstra waspada. selamat datang di kehidupan seperti itu.

“nggak ada yang kenal kita di sini,” mingyu dan kalimat-kalimat entengnya. “tenang aja. mereka udah gue arahin ke spot yang lain.”

“lo sering ke sini ya?” tanya wonwoo penasaran.

“sekali dua kali itu namanya sering nggak? bokap nyokap suka nanjak. beliau paling suka bromo sampe-sampe dibuatin homestay biar gampang kalo ke sini,” jelas mingyu. “mungkin beliau suka tempat ini karena nanjaknya nggak terlalu effort. ada-ada aja orang tua hahaha.”

“bentar, homestay itu punya keluarga elo?”

“uhm, yes? gue belum cerita ya?”

“apa sih yang lo nggak punya?” wonwoo hanya bisa geleng-geleng. mingyu terbahak dan mengecup pipi wonwoo yang beku.

kamu, kak. mingyu menjerit dalam hati.

pemberhentian berikutnya adalah bukit empat sekawan warna-warni kesayangan masa kecil kita semua alias bukit teletubbies. nggak ada yang curiga sama sekali ketika mereka berdua muncul dari bukit—wonwoo melepas gandengan tangan mingyu layaknya orang disetrum—serahkan semua pada mingyu dan jurus-seribu-alasannya.

“kita baru sadar kalian ilang waktu kita udah jalan lumayan jauh. kita semua udah khawatir kalian tersesat, kak,” mereka berjalan beriringan melewati padang rumput. “tapi kata pak joko bilang gak usah khawatir. mingyu paling apal medan di sini.” lanjut mark. “oya, gimana ceritanya kalian berdua nyasar ke bukit sana?”

ditanya seperti itu, wonwoo dan mingyu saling pandang. tangan wonwoo mendadak dingin yang nggak ada hubungannya dengan cuaca ekstrim pegunungan.

“kita—”

“gue liat kak wonwoo jalan sendirian ke bukit situ. kayaknya dia gak tau kalo kita ke jalur satunya,” potong mingyu lancar. “pas gue panggil, dia nggak noleh-noleh. panik dong gua. gua takut dia dibawa jin. yaudah gue susul aja. kita gak balik karena males turun lagi...yaudah kita sepakat lanjut sampe puncak. sekalian gencatan senjata. ya nggak, kak?” mingyu melirik wonwoo, matanya memberi kode. wonwoo hanya tersenyum masam dan nggak menjawab.

wonwoo bergabung dengan yang lain dan jauh-jauh dari mingyu selama sisa perjalanan. namun ada saja cara mingyu untuk mendekati dirinya.

“nggak, pak. makasih,” wonwoo menolak seorang penjual souvenir keliling yang menyodorkan sebuket bunga padanya.

“ambil aja, buat mas,” si penjual keukeuh.

“tapi saya nggak mau beli, pak...”

“gratis, mas. ini dari mas ganteng yang di sana,” wonwoo memandangi buket bunga yang lebih mirip sayur tertentu itu dan menoleh ke arah yang ditunjuk si penjual. berdiri dilatari bukit-bukit hijau, ada mingyu dan kameranya, bersiap membidik entah apa. cindy berdiri nggak jauh, berpose (sejak insiden flashdisk gaib, gadis itu masih belum berani dekat-dekat apalagi menatap mata wonwoo) seakan terpanggil, mingyu menoleh dan pada saat itu wonwoo merasa ditemukan. mereka berpaling, tapi tidak sebelum berbagi senyum rahasia.

“makasih, pak,” wonwoo akhirnya menerima buket bunga itu.

“pacarnya sampean ya, mas?” goda si penjual. “langgeng ya, semoga awet kayak bunganya.”

wonwoo ingin mengamini tapi pacar mingyu saja dirinya bukan. perhatian wonwoo teralih pada objek di pangkuannya. ia tahu bunga ini. baunya aneh dan lebih mirip kembang kol dari sudut tertentu. bunga endemik pegunungan dan dilindungi negara. bunga legenda yang konon tak bisa mati. seperti bunga pada umumnya, ia juga punya bahasa sendiri. ia perlambang ketulusan, pengorbanan, dan pengabdian yang mendalam; cinta abadi.

dan mingyu baru saja memberikan itu padanya. bukan pada sang kekasih. bukan pula orang lain. tapi dirinya. katakan pada wonwoo, bagaimana caranya berhenti tersenyum?

libur telah usai. kereta membawa mereka kembali ke jakarta dan realita. wonwoo duduk sendirian. sementara si ular baja terus melaju, membuat lanskap di sisi jendelanya tak lebih dari bayangan kabur. musik di telinga dan pesan beruntun dari mingyu yang duduk persis di belakangnya menjadi teman perjalanan kali ini. wonwoo bisa merasakan kaki panjang itu sesekali menendang bagian belakang kursinya—mencari perhatian—sementara sang kekasih yang cantik bersandar di bahunya manja.

lewat tengah malam, seseorang menggugah wonwoo dari lelap. ia menemukan mingyu membungkuk di sisinya sambil menenteng ransel, telunjuk di bibir. wonwoo meraih kacamata.

“udah sampe?” tanya wonwoo, suaranya serak. rombongan mereka tersebar di sana-sini. tidur dengan segala posisi; nampaknya belum.

follow me. jaketnya dibawa,” tanpa berkata lagi, mingyu meraih tas wonwoo dan memimpin jalan.

“kita mau kemana?” gerbong demi gerbong dilewati. mayoritas kosong. lantai gerbong berderak di bawah kaki mereka. sepasang pemuda yang bergandengan tangan dan sama-sama mengantuk. entah apa yang mingyu cari tapi tampaknya ia berhasil menemukannya. ia menggiring wonwoo yang setengah sadar untuk duduk di sisi jendela, menempati kursi kosong di sisinya sesudah itu.

“sleep,” perintah mingyu setelah menyelimuti wonwoo dengan jaket dan mengarahkan kepala wonwoo untuk bersandar di pundaknya sendiri.

“gimana kalo yang lain nyari?” tanya wonwoo, wajahnya sarat kekhawatiran.

“nggak akan. mereka kecapekan semua,” mingyu menautkan jari keduanya di bawah jaket. “lanjut tidur gih. biar gue yang jagain.”

“hmm,” gumam wonwoo, terlalu ngantuk untuk berdebat. ia tidak tahu kereta ini sudah sampai mana, yang ia tahu hanya ia tidak ingin lekas turun.

“nanti gue anter pulang ya, kak,” serak suara mingyu dari sisinya.

“ah, tapi bang jongin udah janji mau jemput gue,” balas wonwoo hati-hati. senyum bahagia mingyu berganti kecewa.

“hmm, too bad.”

“sorry.”

“it's alright. maybe next time,” janji mingyu pada diri sendiri. apakah ada hari esok untuk mereka berdua? wonwoo tertegun.

jakarta sudah dekat.