mallorybennet

Me Through Your Eyes-

Aku terbangun disambut oleh sinar matahari yang memaksa masuk ke penglihatan. Lenganku otomatis terangkat menutupi teriknya dari pandangan. Aku mengusap bagian sebelah kasurku dan menemukan bahwa mereka tetap dingin.

Oh, aku lagi-lagi bermimpi.

Tadi malam mimpi itu terasa begitu nyata. Aku melihat kedalam selimut yang menutupi bagian bawah kaki. Kemudian menarik napas menyesal.

Seriusly? I still had a wet dreams on my 30th? What am i? a teenager?

Seringkali aku menyesali hal ini. Orang-orang akan mengatakan bahwa aku hanya membuang-buang waktuku dengan menikah tanpa melakukan sex.

Well, it's not something I don't want to do but... it's kind of complicated.

Kembali pada posisi terlentangku setelah tidur, aku terus mengumpati celana dalamku yang basah setelah bermimpi menggagahi bocah itu dengan gila. Ini yang kesekian kalinya terjadi. Jujur, aku memang tertarik pada wajah rupawan milik Amma. Namun tidak pernah sedikitpun terlihat atau terucap selama kami bertetangga. Tapi setelah menikah, aku, sebagai pria dewasa tentu saja merubah cara pandangku terhadapnya, yang kini menjadi suami legalku.

Aku keluar dari kamar mandi setelah mencuci wajah juga celana dalam yang kukenakan. Segera bergegas menuju dapur untuk melihat wajah Amma pagi ini. Kami, memutuskan untuk tidur dikamar terpisah setelah mengatakan bahwa Amma perlu ruang untuk dirinya sendiri. Tepatnya aku mencegah diriku untuk melakukan tindak asusila jika tidur bersama.

Aku mencium wangi harum ketika menemukan Amma yang sedang berdiri di meja dapur. Postur tegap itu terlihat kokoh, dengan liuk pinggang ramping serta tengkuknya yang putih berhasil membuatku meneguk ludah. He’s so tempting.

Pandanganku fokus memperhatikan Amma yang bergumam riang sembari bergerak dengan luwes. Kaos sleeveless biru yang dipakainya tampak longgar, kerahnya yang lebar memperlihatkan leher jenjangnya yang indah. Aku menghampirinya kemudian. Dia berbaik saat aku sampai dimeja dapur. Ia sedikit terlonjak kaget ketika menemukanku di hadapannya.

“morning husband” Amma senang bercanda, dia seringkali menggodaku dengan ucapan-ucapan genitnya. Aku menyembunyikan senyumku dan berdiri menopang badan dengan kedua lengan terlipat diatas counter top yang menghalangi kami. “morning” balasku seadanya

“tee-hee, aku masak loh. Kamu mau kan sarapan dulu?” ujarnya riang.

“as long as it good.” jawabku dingin menyembunyikan ketertarikanku dengan masakannya yang terlihat enak. Namun kutemukan wajah itu berubah lesu. Segera, aku ralat perkataanku sebelum Amma memotongnya.

“baru aja semalem kita ngobrol untuk perbaiki hubungan kita. Tapi lagi-lagi kamu gitu. Apa gak ada perkataan yang lebih baik? Aku udah rela bangun pagi untuk siapin sarapan kita—” nada bicaranya yang berubah sedih begitu menohok dadaku. Aku masih dengan kebiasaan burukku untuk berkata jujur, walaupun semalam aku berjanji akan merubahnya.

“I apologize, I’ll— keep trying.” Dengan tabah, Amma mengangguk. Sementara aku menyesali perkataanku.

Tanpa terlibat obrolan lebih lanjut, aku membantunya membawa piring berisi roti panggang, telur orak arik dan potongan sayur serta sosis dengan sedikit gravy ke meja makan. Sementara Amma kembali berkutat dengan penggorengannya. Meja itu telah rapi dengan semua alat makan yang tersedia, Amma benar-benar menyiapkan semuanya sendirian.

“aku cuma bisa masak ini, is it okay for you?”

Sudah tiga bulan kami menikah, tapi belum pernah menyempatkan diri untuk sarapan bersama, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sedangkan Amma sibuk dengan kuliahnya. Semalam kami sedikit berdebat, dan hal sederhana yang Amma minta hanya memiliki sarapan setiap pagi denganku. He’s adorable.

“sure. Thank you.”ujarku pelan.

Amma terlihat sedikit ragu, ketika aku hendak menyuapkan makananku. Dapat kubaca dia takut aku tidak menyukai masakannya. Dia pria yang tulus, sedikit pujian aku ungkapkan untuk membuatnya lebih baik.

“ini enak.” Amma menarik sudut bibirnya sekilas. kemudian kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.

“semua makanan dipiring ini cuma tinggal dipanaskan. Nothing special about it.” Ujarnya merendah diri. Obrolan kami berhenti ketika Amma sibuk mengunyah makanannya. Aku terus menatap wajah itu.

Ketika makan, bocah ini juga begitu terlihat manis. Kenapa tidak ada cela sama sekali dalam dirinya? pikirku.

“feel better?”

Kali ini aku bertanya dengan serius, semalam setelah kami berdebat Amma sempat menangis. Ia terlihat frustasi setelah mengatakan bahwa pernikahan kami hanya sebuah lelucon. Selama ini kami tidak memiliki komunikasi yang berarti atau pendekatan serius selama tiga bulan menikah.

Sebetulnya bukan aku tidak ingin. Tapi pernikahan kami berlangsung disaat jabatanku dikantor baru saja dipromosikan. Pekerjaanku yang sibuk menyulut perdebatan kami semalam.

Titik temunya adalah, aku akan meluangkan banyak waktu untuknya. Untuk kemajuan hubungan pernikahan kami, juga karena kami berdua sedang berusaha untuk mencintai satu sama lain. Dan obrolan semalam ditutup dengan sesi ciuman panas yang mengakibatkan tercampurnya imajinasi liarku dengan mimpiku tadi malam dan menghasilkan aku yang mengumpati celana dalam basahku atas pergelutan gila kami dalam mimpi.

“I’m okay.” ia mengangguk pelan. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan sarapan pagi kami dalam obrolan ringan sehari-hari. Aku banyak memperhatikan wajah itu tatkala bercerita tentang air conditioner kami yang bocor. Rautnya begitu ekspresif dan ia sangat mempesona. Amma adalah definisi pria tampan sekaligus cantik dalam berbagai Bahasa. Aku, memang tertarik padanya sejak lama.

Setelah selesai, aku membantu Amma membereskan bekas makan kami. Amma membawa air putih hangat dan mendudukan dirinya diruang tv. Sementara aku menyelesaikan sisanya. Setelah selesai mengelap lenganku yang basah, aku menghampiri Amma dan duduk didekatnya. Seketika Amma mengerutkan keningnya padaku sesaat setelah mendaratkan bokongku pada sofa linen yang dipenuhi cushion berwarna gading.

“kenapa duduknya dekat sekali?” ujarnya Aku rasa tidak ada alasan untuk itu, aku duduk begitu dekat karena tentu aku ingin berdekatan dengannya. Bukankah kami sedang memperbaiki hubungan? Kenapa dia bertanya? Aku hanya menjawab dengan mengangkat bahuku sekilas.

“ini hari sabtu, apa kamu gak ada kegiatan?” tanya nya lagi.

“gak ada, aku mau istirahat hari ini” ujarku acuh. Ia merengut tidak puas

“bukannya kerjaan kamu banyak? Kenapa gak kerja?” “Damon yang kerjakan, punya aku sudah selesai kemarin.” Aku membawa tubuhku bersandar pada bantalan sofa, setelah menyebutkan nama sekretarisku yang menghandle pekerjaanku.

Tanganku mengambil remote dari tangan Amma, sudah lama sekali sejak terakhir aku menonton tv. Telunjukku menekan beberapa gambar film yang sekiranya ingin aku tonton, mencari film mana yang bagus menurutku. Kemudian Amma bertanya lagi, dan aku merasa seperti sedang diinterogasi

“kenapa tiba-tiba gak sibuk? Gak ada rapat atau pertemuan dewan direksi?” Aku bisa melihat sekilas gestur tubuh Amma dari ujung mataku. Ia terlihat gusar, beberapa kali menatapku dengan menggigit bibir. Akhirnya kumatikan tv dengan remote yang kupegang.

Kemudian membawa diriku menghadap Amma yang juga menatapku “kenapa kamu pengen banget nyuruh aku pergi?” tanyaku serius. Dia menghindari tatapanku dan melempar pandangannya kearah manapun

“gak ada. Cuma— aneh aja, lihat kamu duduk disini menonton tv. Bisanya kamu bahkan gak pernah pulang.” Amma mengambil lagi remot dari tanganku dan kembali menyalakan tv. Aku berujar maaf untuk kesekian kali. Sepertinya aku terlalu sering bersikap buruk padanya. Tanganku terangkat mengelus lembut rambut hitamnya yang bergelombang. Dia tidak melihatku, tatapannya fokus memindah-mindah judul film dengan remote yang ia pegang, walaupun aku tau dia tidak berminat.

“you feel lonely?” Ia mengangkat bahu

“not really” ujarnya santai. Aku terus mengusap rambut itu saat atmospir diantara kami melunak, tanganku tak henti mengusap tengkuk pria lebih muda yang terlihat nyaman dengan perlakuanku.

“aku— terbiasa hidup sendiri sebelumnya. Dan, aku gak sengaja bawa kebiasaan itu setelah menikah.” tanganku beralih mengusap lehernya.

“tapi mulai sekarang aku akan pulang tepat waktu, karena disini ada kamu yang tunggu aku kan?” Amma tertunduk, pandangannya beralih pada lantai saat telinganya mulai memerah. He’s really adorable.

“hei jawab dulu, kamu akan tunggu dirumah kan Amma?” tanyaku lagi, meraih wajah manis itu menatapku. Dia tersenyum dan mengangguk

“terima kasih.” Ujarku tulus. Dengan spontan, aku membawa wajah manis itu untuk kucium. Aku berusaha lebih jujur dengan apa yang aku rasakan dengan cara mendominasinya. Ini cukup ampuh mengatasi sifat genit yang ia buat-buat untuk menyembunyikan rasa malu ketika bersamaku.

Walaupun sebelumnya Amma sedikit kaget, tapi ia bersedia membalas ciumanku, mengulang kegiatan kami yang terpaksa berhenti tadi malam. Amma bergerak mendekat dan meremas pundakku menahan hasratnya yang melonjak. Aku sedikit meringis, ketika remasan itu semakin kencang.

“ouch, that’s hurts sweety.” Pandanganku dikabuti napsu yang perlahan naik, sisa dari kegiatan semalam. Napasku mulai memburu. Wajahnya yang begitu dekat sungguh menguji imanku.

“ah, I’m sorry.” Amma hendak beranjak, namun segera kutarik pinggang ramping itu dan seketika tubuhnya jatuh pada dadaku

“eh?” lagi-lagi ia terkejut.

Aku tersenyum, tanganku bergerak menyingkirkan poni yang menutupi wajah manis itu. Memandanginya sedekat ini membuat dadaku bergemuruh. Mata bulatnya yang cantik, hidung bangir serta pipinya yang sedikit tembam begitu memesona. Amma tiba-tiba bergerak membenarkan posisinya yang terlihat tidak nyaman. Dengan kaki yang menggantung diantara pahaku yang terbuka. Dia akhirnya merangkak naik, duduk diatas pangkuanku kemudian memeluk leherku dengan erat.

“apa ini mimpi?” ia berbisik, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Aku tersenyum, tanganku beralih pada kaosnya yang tersingkap. Mengusap pelan punggungnya yang tegap.

“selama tiga bulan kita menikah, baru kali ini kamu bolehin aku untuk sedekat ini. Biasanya, kamu akan nolak. Dan pergi menjauh.” Suaranya terdengar seperti tengah mendumal, dagunya yang tertahan bahuku menghasilkan suara mendengung yang tak jelas. Aku, mencubit pinggangnya.

“aww! kenapa aku dicubit?” dia bangkit dan mengusap pinggangnya. Padahal cubitanku tidak sekeras itu. Aku tertawa

“kamu gak mimpi sayang— lagipula, kamu sendiri tau alasannya.” Bibir itu kembali mencebik, tidak terima dengan jawabanku

“A k u, sekarang sudah dewasa. Kamu memang mau nunggu sampai umur aku berapa? Sampai jadi kakek kakek? Udah gak enak lagi dong.” Keningku berkerut, mengulas senyum

“gak enak apanya Amma?” Merasa terpancing, aku membawa tanganku menekan pinggang ramping Niarma Winega agar semakin menempel dengan perutku sementara kedua tangannya menahan dada untuk tidak menutupi wajahku. Dia tersipu menahan senyumnya. Gerakannya tiba-tiba menangkup kedua pipiku

“berhenti pura-pura. Aku sering lihat kamu jerk off sambil sniffing celana dalam aku. I know, you also want me so bad. Isn’t it Svarga Tarra?” tatapan menggoda itu muncul diiringi ciuman hangat yang memabukkan. Kepalan basah, aku menekan kepala itu. Memperdalam ciuman kami. Ia mendorong bahuku saat bibirku mencari kemana daging tebal itu berada. Kemudian Amma menatapku dalam, seakan mempelajari ekspresiku saat tonjolan di antara pahaku menekan bokongnya.

“you’re hard down there. Need my underwear to quench you?” Tatapannya berubah sayu, sedikit menggigit bibir tatkala mencemooh ku atas hal immoral yang kulakukan.

“how about the plumpy things inside? is it ready to satisfy me?”aku meremas kedua pipi bokongnya semaki menekannya pada tonjolan dibawah sana.

“since day one.” Amma menyergap mencium bibirku yang terbuka, ia mencoba mendominasi ciuman kami ketika aku sibuk meremas bokong gempalnya. Napas Amma tercekat. Suaranya terdengar seperti decitan yang menggairahkan. Saat aku menekan pinggangnya pada pahaku. kembali menekan kejantananku yang masih di balut sempurna pada bokongnya yang hanya memakai celana pendek kesukaannya. Aku bangkit mencari bibir Amma yang sudah kurindukan.

Aku melumatnya dengan penuh napsu. Amma memegangi rahangku memperdalam ciuman kami. Dengan satu gerakan, aku membawa tubuhku berdiri membawa tubuh Amma dalam pangkuanku. Berjalan kearah kamar yang paling dekat. Aku akan segera mewujudkan mimpi-mimpi basahku, meniduri Amma disetiap malamnya. Ciuman kami semakin memanas saat kuihat wajah Amma memerah menatapku penuh minat. Dia seakan kembali lapar dan ingin melahapku, dan aku hampir gila menginginkannya. Kami sampai diranjang tidurku. Aku menurunkan Amma perlahan dan menindihnya.

“engh—” Kedua lenganku menahan bobot tubuh menyisakan jarak untuk memperjelas wajah Amma yang tak henti kugumamkan pujian. Aku memandanginya dengan kagum. Untuk pertama kali, aku mengagumi seseorang sampai seperti ini. Tatapan miliknya begitu memabukkanku, hanya dengan melihatnya aku bisa merelakan semua yang kupunya. Kucium rahangnya yang lembut, menyentuh dengan ujung lidahku. Napas Amma semakin memburu dengan desahan samar yang membuat buluku meremang. Kemudian bibirku beralih mencium kembali bibir tebalnya. Melumatnya tanpa jeda. Dengan rela mulutnya membuka membiarkan lidahku bergerak bebas didalam sana. Ia meleguh menikmati ciuman panas kami.

” hnggh..” Amma mendesah, suaranya seperti terdengar merengek menginginkan perlakuan lebih dariku. Lenganku tidak membuang kesempatannya untuk menjelajahi tubuh Amma di bawah sana. Ia menelusup masuk kedalam kaos yang Amma kenakan. Mengusap perut dan dada Amma menonjol hasil dari gymnya setiap minggu.

Tanganku kemudian mencari labuhan lainnya. Mengusap bagian lain yang membuatku penasaran akan betuknya. Aku perlu banyak mengeksplor tubuh Amma agar tau bagian mana saja yang bisa memuaskannya. Aku melepas ciuman kami meninggalkan Amma yang mendesis saat putingnya kusentuh. Beralih pada kaos yang Amma kenakan, aku menyingkapnya untuk menemukan tonjolan yang membuatku penasaran dan menemukan sepasang puting Amma yang membuatku kagum.

Aku memperhatikannya semakin dekat mereka berwarna merah kecoklatan dengan puting yang sedikit lebih besar dari pria pada umumnya. Penisku berkedut. Aku memiliki ketertarikan sendiri dengan puting, milik Amma berhasil memuaskan sesuatu dalam diriku. Aku merasakan lagi penisku.

Kini dia semakin bangkit dari tidurnya. Gerakkan ku kembali pada bibir merahnya yang membengkak kemudian beralih menciumi leher jenjangnya. Menjilat dan menyesap meninggalkan bekas disekitar leher putihnya. Tanganku bergerak bebas memainkan puting Amma dibawah sana memilin dan menggaruknya dengan jariku. Amma menggeliat menahan nikmat.

“gigit ini” Aku mengambil ujung baju yang Amma kenakan. Meminta Amma untuk menggigitnya. Senyumku terbit menyukai apa yang sedang kulihat sekarang. Amma berada di bawahku dengan pasrah membuka sebagian tubuh mulusnya.

Wajahnya terlihat begitu sensual saat mulut itu menggigit ujung bajunya memperlihatkan dada yang dihiasi kedua puting indahnya yang menggairahkanku. Aku menciumi pipi Amma dan turun kembali pada dadanya. Meniup putingnya dan membuatnya meleguh pelan. Lidahku bergerak menjilat ujung puting yang semain memerah. Membuat gerakan memutar di sekeliling areolanya. Amma menggelinjang menahan desahan yang memaksa keluar. Aku mengecup putingnya sekilas menatap mata itu dari bawah sini. Dengan tiba-tiba menyesapnya cukup keras, membuat tubuh Amma membusung. Aku memuaskan bagian sensitifnya.

“ahnggh..Agha” Aku membuka kaos yang kukenakan kemudian beralih pada celanaku tanpa menyisakan apapun. Amma yang melihat pergerakannku, terperangah.

“t-that’s too huge. it will tear me up.. hiks..”dia merengek, bahkan suara nya terdengar seperti memohon di telingaku.

“it’s okay baby. wait until you beg for more.” ujarku berbisik yakin milikku pasti akan memuaskannya. Kuberikan ciuman bertubi-tubi guna menenangkannya. Sesuai dengan namaku kupastikan bahwa aku akan membawanya pada kenikmatan surga dunia. Berlanjut dengan taanganku yang kini menelusuri celana Amma melucutinya sementara mulutku masih sibuk terus menyusu seperti bayi padanya. Aku meremas tonjolan itu dari balik celana dalam hitam ketat yang ia kenakan, mengurutnya perlahan. Hanya leguhan nikmat yang bisa aku dengar dari Amma. yang jelas aku tau, dia menikmatinya. Aku menarik sisa kain yang menutupi hidangan utama dan menemukan bagian yang ku tunggu tunggu. Namun, lengan itu menutupnya mendahuluiku.

“a-aku malu” Amma melepas gigitan pada bajunya. Keraguan mucul padanya. Aku menciumi wajah itu menenangkan

“you want me to stop sayang?” Dia menggeleng saat aku menawarkan hal yang sesungguhnya sulit untuk aku kabulkan.

“then, would you open your legs for me? would you?” ujarku dengan suara dalam. Lengannya melemah, aku menyingkirkan kedua tangan yang menutupi penisnya. Bisa kulihat dari sini semua terlihat begitu jelas tanpa ada sesuatu apapun yang menghalanginya.

“what happened?” tanyaku tidak percaya. Amma bergerak tidak nyaman

“t-they never grew on me. So i don't have any of them.” ujarnya malu. aku menatap menggodanya “kamu bilang kamu sudah dewasa. Mana buktinya? Don’t tell me you haven't hit puberty yet?”

“stop teasing me.” Dia mencubit pinggangku membalik posisi kami sehingga kini tubuhnya yang berada diatasku. Aku tertawa dan kembali mencium bibirnya yang mencebik lucu.

“I love it, it’s perfect for me” ujarku jujur, setiap inci tubuh Amma adalah hal yang selalu aku idamkan, tidak mungkin aku tidak menyukai bagian polos tanpa sehelai bulupun dibawah sana. Mereka sempurna. Amma menciumku dengan sedikit kasar, kemudian menjilati rahang juga jakunku, aku mengerang geli ketika lidah itu sampai pada dadaku. Matanya menatapku garang, seperti tengah membuktikan bahwa ketakutannya tadi bisa ia kendalikan.

Walaupun aku tidak yakin ia tidak akan menangis saat aku memasukinya. Kini lidah basah itu sampai pada pelvisku yang tak tertutup sehelai kainpun. Aku bisa melihat jakun itu turun naik ketika melihat penis besarku tegak berdiri.

“you sure you want to do that?” aku menantang nyalinya untuk melakukan apapun yang ada dalam kepalanya untuk memuaskan penisku. Dengan ragu ia membawa lidahnya semakin keluar, dengan saliva yang bercampur precum saat ujung lidah itu menyentuh kepala penisku.

“ergh” Aku meleguh ketika lidahnya berputar-putar disekitaran sana. Rasa geli juga ngilu menyerangku perlahan. Ia membawa lidahnya turun menjilati pangkal hingga ujung penisku yang mulai basah karena liurnya. Saat aku tengah menikmati pergerakan pelannya tiba-tiba penisku terasa memasuki gua basah yang mengisap dengan kuat.

“argghh” Tanganku otomatis meremas kepalanya, sedikit menekan agar penisku masuk semakin dalam. Hingga suara tersedak menghentikan tanganku mendorong kepalanya.

“hggh.. haa—h” Amma mengusap bibirnya yang dibasahi precum serta liurnya sendiri, matanya memerah dan sedikit menangis. Sepetinya aku terlalu kasar padanya.

“you okay baby, I’m sorry sayang. Come here let me” aku membawa tubuh itu untuk kembali kupangku. Ia hanya mengigiti bibirnya ketika kembali aku menyusu pada putingnya yang juga membengkak.

“what are you, a baby?”

Aku mendecih pelan, “I am. This is gonna be my favorite thing to do from now on.” Ujarku sembari sedikit mengigit daging dadanya dan menyeringai.

“hggh .. jangan digigit yang, perihh hng” rengekan Amma kali ini memacu kembali hasratku untuk segera menstimulasinya.

Aku membawa kaki Amma keatas pundakku, walaupun ia sempat protes tapi ia berhenti ketika jari basahku yang baru saja keluar dari mulutnya berada dicincin berkerut dimana kenikmatan ini berakhir. Jariku berputar disekitar sana, kemudian memasukkan jari tengahku perlahan. Amma mendesis memeluk kepalaku yang tak lelah menyusu padanya.

Jari tengahku berhasil tenggelam sepenuhnya, kini aku menggerakkannya keluar masuk bersamaan dengan jadi kedua.

“ahh! Shh, ha—hh enak yang.”

Aku tergelak “wait until I put the massive one baby. Your moaning will get louder that this.”

Desahannya semakin keras ketika jari ketigaku mulai bisa bergerak leluasa didalam lubangnya. Aku tersenyum menekannya semakin dalam. Amma terkesiap, tubuhnya bergetar, ia menyembunyikan wajahnya dibalik leherku saat tanganku yang lain mengocok penis Amma teratur.

” aahhh.. henggh.. Svarga..” aku semakin bergairah saat Amma memanggil namaku. Amma kemudian meremas kedua bahuku kuat, tubuhnya melenting, suara erangan nya tertahan bersamaan dengan desisan yang ku keluarkan karena remasan tangan Amma pada bahuku kemudian desahannya bergetar. Jariku berhasil menemukan G spotnya yang cukup dalam dan berhasil membuat Amma keluar dengan keras.

“haenggghh...” lengkingan panjang keluar dari mulut manis Amma. aku menjilati bibirnya yang basah. Tubuh Amma melemas, dia tersengal. Amma sunggu indah dengan tubuh mengkilap dibasahi keringat dan sperma juga suara mendesah dengan mulut yang terbuka. aku kembali menciuminya saat Amma terlihat mengantuk.

“hey.. im not done yet sayang.” bisikku tanpa di hiraukannya. Aku sedikit mengocok penisku yang berada di puncak tegangnya menghadapkan kepala penisku di lubang senggama yang memerah. Menggesekkannya dipintu masuk dimana hidangan utama berada. Tubuh Amma menggelinjang ketika perlahan aku mendorong penisku masuk kedalam kenikmatan.

” errrngh.. Amma.”

“breath baby, breath”Aku menstimulasi Amma agar otot ototnya analnya rileks. Dengan patuh dia melakukan apa yang aku perintahkan walaupun napasnya terputus putus.

“ahhnggh Svarga..” Amma menarik napasnya gemetar. Sementara pinggulku mulai bergerak perlahan. Amma meremas sprai di sisi kiri dan kanannya dengan jeritan nikmat tanpa memperlambat kegiatanku memasukinya. Rintihan Amma berubah menjadi desahan yang menghanyutkanku setelah dia menemukan kenikmatan dari hentakan penisku. Penisnya kembali bangun untuk kedua kali. Aku segera mempercepat gerakan pinggulku memperdalam tumbukkannya.

“egghhh— oh God. Enak banget sayang.” Amma mengejan. Bahkan kini wajah memerahnya terlihat begitu kenikmatan. Aku memperlambat gerakanku dan memenjarakkannya di bawah sana. Air wajahnya berubah. Matanya yang sayu tampak begitu menggodaku, dia mengigiti jari jarinya membuat ekspresi yang sering ku temukan di film-film porno yang pernah aku tonton. dia bukan bocah biasa.

“hgghh— Aga” Gerakkanku melambat dan berhenti ditengah pekikan desahan Amma keluar dari mulutnya. Sontak pandangan Amma mengarah kemataku, mencari jawaban kenapa aku menghentikan memasukinya ditengah tengah kenikmatan yang ia rasakan.

“is it good?” ku jilati pipi basahnya dan ku gigit bibirnya.

“move ..” erangnya merangkul pundaku.

” hm? i can't hear you “ godaku, padahal di bawah sana penisku sedang meminta.

” just move Svarga!” titahnya diiringi napas nya yang terdengar sensual. Aku tak kunjung bergerak. aku ingin membuatnya memohon padaku. lubang milik Amma terasa berkedut seolah menghisap penisku.

” say it.. you want me..” Amma hanya mendesah

” i want you ! “

” what do you want baby?” aku terus menggodanya.

” do it! “ Aku bertahan dengan posisiku. Menahan tubuhku dengan kedua tanganku di antara tubuh Amma yang basah.

“do something, make me want to move inside you—” Dada Amma naik turun seiring napasnya yang tersengal. Mata sayunya menatapku, tangannya bergerak menyentuhi lengan serta perutku

” Daddy—please, Fuck me—hard. Hggh Daddy.” Darahku berdesir, tubuhku memanas mengalirkan sengatan listrik pada penisku yang tertanam dilubang hangat Amma. Aku mengeraskan rahangku, Aku tidak percaya mimpiku berubah nyata.

” aaahhh ..engghh...” mata Amma terbelalak dan seluruh tubuhnya menegang saat ku hujamkan penisku jauh di dalamnya dalam sekali hentak. Aku mendekatkan wajahku ke telinganya berbisik dengan penuh napsu

“what a naughty boy you are. Amma. Don’t ask me to stop” kataku bertepatan dengan lubangnya yang semakin kuat menghisap kejantananku di bawah sana.

” aahggh.... daddy...” Perkataan Amma berhasil membuat birahiku memuncah. aku mengerang kenikmatan, aku kembali memaju mundurkan pinggangku menghujam semakin dalam pada analnya yang terus mengetat, kini aku sedikit mempercepat gerakkanku.

Pinggang Amma mulai bergerak mengikutiku dan membuat ku semakin diambang batasku. Desahan Amma semakin lama semakin terdengar kencang dan meminta ku untuk bergerak lebih cepat. Aku hampir sampai saat tanganku kembali meremas penis Amma sambil menyusu padanya. Amma menjambaki rambutku menyambut siksaan kenikmatan yang ku berikan. gerakanku semakin cepat saat aku hampir sampai.

” im cumming baby—I’m cumming inside, arggghh..” Aku memuntahkan lahar putihku jauh didalam tubuh Amma, menitipkan benihku disana. menandai bahwa dia milikku.

Amma milikku..

Read more...

“You never understand life until it grows inside of you”

Hari yang sama sebelum dua puluh empat jam berlalu. Ketika Sabia sampai dikediamannya yang kali ini gelap terselimuti kelam. Hanya binar keemasan berasal dari lampu-lampu  gedung pencakar langit, yang rela berbagi cahayanya untuk menerangi wajah gundah ditengah diamnya menatap malam.

Langkah berat itu terasa menapak pada permukaan pasir hisap. Semakin lama, tubuhnya semakin terserap kedalam tanah. Sabia dan semua pikiran buruknya berdefile bersarang diotak. Ia memikirkan banyak sekali skenario tentang bagaimana kisah mereka berlanjut setelah kejadian tadi.

Terlebih Sagitta sudah mengambil sumpah atas perbuatannya. Dia akan bertanggungjawab penuh atas penjelasan mengenai kejadian tadi kepada Sea. Serta untuk berhenti mengganggu dan menghilang dari kehidupan mereka, Sabia kira itu sepadan.

“sayang.” Panggilannya terdengar seperti decitan, suaranya ragu mengusik sosok kesayangannya yang tengah tertegun sendu. Sabia menghampiri suami tersayangnya yang tengah diselimuti pekat.

Sea menatapnya dari sofa dengan dahi yang mengkerut, rahang yang mengeras serta kakinya yang kini turun dari atas sofa. Tubuh itu berdiri kemudian berjalan menghampiri Sabia yang sedikit bergidik melihat ekspresi yang Sea buat.

Sea berjalan dengan kesal, kedua tangan itu terbuka. Membawa pundak lebar Sabia untuk ia bawa duduk. Dengan satu gerakan cepat, kaki jenjangnya ia bawa keatas sofa dan melompat ke pangkuan Sabia. Beruntung, Sabia belum terlalu tua untuk menerima serangan tiba-tiba dari tubuh Sea yang bongsor.          Ia dengan sigap memeluk pinggang ramping sang suami saat tubuh itu melompat kepangkuannya.

Dapat ia lihat dengan jelas dari bawah sini, mata indah itu tergenang, sorot kesal mendominasi paras manisnya. Dengan tertutup rambut yang berjatuhan menutupi wajah, ia mengangkat lengan yang tertutup kemeja, menggosok daerah bibir yang menjadi sasaran emosinya.

“this-Is—mine! No—one can kiss you but— me!”

Tangan itu bergerak serampangan terus menerus menggosok bagian mulut Sabia, pria yang lebih tua tidak memberikan perlawanan. Ia membiarkan sang suami menghukumnya, karena lalai.

Badannya sedikit menjengit ketika kancing dari lengan kemeja meluka ujung bibirnya, sedikit mengaduh, akhirnya Sea berhenti.

**“u-udah bersih..”**Sea tergugup ketika menemukan bibir sang suami sedikit mengeluarkan darah akibat kancing lengan bajunya.

“a—aku marah.”

Sabia tau, ketika suaminya marah ia akan keluar dari kerumunan, menenangkan diri sebelum mengambil tidakan.

“I know my love.” Sabia mengelus pinggang ramping itu dengan sayang.

“aku kesel.” Pria lebih muda mengusap bagian dimana darah itu keluar. Nada suara Sea semakin bergetar.

**“yes, sweety you must be.” **namun Sabia bangga karena Sea tidak meluapkan emosinya langsung saat itu juga. Ia lebih baik pergi sebelum amarah menguasai logikanya.

“I'm sorry Bia. I know, it will never be you who means it.”

“yes sayang, you are forgiven.”


“ah..shhh..Bibya.”

Sabia bisa merasakan kejantanannya bereaksi atas leguhan yang tercipta dari bibir manis Sea. Penisnya kini semakin bangkit dari tidurnya. Ia kembali mencium sang suami dan beralih menciumi leher jenjangnya. Menyapu dan menyesap meninggalkan bekas kontras dilehernya yang putih.

Tangan kekar berpindah pada bukit kembar yang padat berisi, meremas dan menekannya dengan gerakan statis. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan dengan bebas memainkan puting kesukaannya dibalik kemeja putih yang berhasil ia tarik keatas. Memilin dan menggaruknya dengan ujung jari.

“gigit ini.” Sabia membawa ujung kemeja Sea untuk digigit, menampilkan pemandangan yang akhir-akhir ini menjadi bagian favoritnya.

Desahan lantang menggema keseluruh ruangan ketika pucuk tubuh Sea disesap dengan keras. Lidah itu bermain disana, memutar dan terus menyesap putingnya hingga kemerahan.

Sabia kembali mencium bibir basah sang suami dengan beberapa lumatan kecil. Sea meleguh nikmat, membawa panggulnya bergerak sesuai dengan remasan yang ia terima didadanya. Tiba-tiba punggung itu menegang, saat menyentuh kejantanan sang suami yang mengeras tepat di depan perutnya.

Sabia membalas lumatan yang Sea berikan pada bibirnya karena kini pandangan Sea berpindah pada bagian bawah tubuh sang suami. Jemari lentik itu bergerak turun menyentuhi gundukan keras diantara kedua pahanya. Mengusapnya dibalik celana lengkap yang ia  gunakan.

“mereka kelihatannya sesak Bia.” bisiknya saat sang suami sibuk menciumi wajahnya.

Dengan lancang tangannya mengusik menyelusup kedalam celana Sabia. Menyentuhi secara langsung kejantanannya dari dalam kain yang ia kenakan. Sea itu jauh dari kata malu-malu. Dia bahkan berani mengeksplor tubuh sang suami menciuminya hingga ke perut membuatnya meleguh nikmat.

Tangannya bergerilya menaik turunkan kejantanan sang suami ketika menemukannya dan mengeluarkannya dari dalam sangkar kain yang ketat. Sea menyentuhinya dengan kedua tangan perlahan, sambil menciumi pack pack diperut suaminya.

Sabia menghentikan pergerakan tangan Sea saat tubuhnya hampir merosot menunduk berlutut didepan kejantanannya. Sabia mengangkat tangan agar dia kembali berdiri. Namun karena dikuasai nafsu, Sea melepas seluruh bawahan yang ia pakai saat Sabia meminta Sea untuk tetap memakai baju atasnya lalu kembali kepada posisi dimana bokongnya tepat berada pada kepala penis sang suami.

“get In B-bia.”

Perlahan, Sabia melumuri kejantanannya dengan banyak saliva,  membuka jalan menggunakan jari jarinya untuk masuk kedalam liang senggama milik Sea, tubuh diatasnya mengejang saat jari jari panjangnya berhasil menyentuh titik sensitif dalam kocokan yang teratur, Sea terus meleguh keenakan sementara Sabia menjadi saksi setiap tetes peluh yang bercucuran.

Cukup dengan semua stimuliasi pembuka, Sabia menuju pada hidangan utama. Ia membuat gerakan memutar menggunakan penisnya disekitan lubang dimana miliknya akan tertanam dalam. Ini yang kesekian kalinya mereka bersenggama, terlalu banyak emosi yang tercipta, entah mengapa setiap kali melakukannya selalu terasa jauh lebih luar biasa.

Mulutnya ia bawa untuk terus mengulum pucuk indah sang suami sembari perlahan melesakkan kejantanan yang tebal miliknya masuk. Leguhan keras berasal dari Sea, terdengar bergetar karena kemeja miliknya masih tersumpal disana. Sea ternyata anak yang penurut, Sabia belum memerintahnya untuk melepas kemeja yang digigitnya, dan Sea masih melakukannya dengan baik.

“who’s the good boy? Are you a good boy baby?”

“hhgnhh.. ngggh…yes bbyaah”

Sabia berhasil memasukkan kejantanannya dengan erangan nikmat pada lubang sempit favoritnya, Sea kini berposisi duduk dengan penis tebal milik sang suami yang tertanam didalamnya. Tangannya bergetar, kemejanya basah menampung lelehan saliva dari desahan yang terhalang.

Tangan Sabia meremas pipi bokong Sea yang telanjang, mengangkatnya dalam gerakan horizontal agar penis itu keluar dan kembali masuk. Menghasilkan bunyi erotis yang berasal dari pertemuan kulit serta desahan panjang dari mulut suami manisnya.

Sabia kembali menanamkan kejantanannya semakin dalam dalam sekali hentak. Membuat Sea bangkit dari posisinya dan menjerit. Tangannya meremas kedua pundak Sabia yang masih terhalang jas yang terakhir ia pakai, dalam hentakka terakhir Sea setengah berteriak menerimanya.

“ahhhkkk.. my God.”

Sabia menggerakkan pinggul Sea dengan gerakan memutar, suhu diruangan mereka memanas karena aliran listrik yang belum dinyalakan, peluh menyelimuti kedua tubuh yang terus bergesekan diatas sofa. Namun kini beban tangan Sabia semakin berat karena tubuh sang suami melemas.

Dalam satu gerakan, ia membawa tubuh Sea untuk ia tidurkan diatas sofa ruang tamu miliknya, seluruh jendela terbuka mempertontonkan adegan panas mereka kepada dunia. Sabia melepas penyatuan mereka yang diiringi protes dan rengekan keras dari sang suami.

“hggg..hiks Bia.” Tangan itu terjulur keudara, meminta penyatuan kembali bermula. Sea menggeliatkan tubuhnya pada kain sofa tebal berwarna hitam itu, memohon kepada sang suami untuk berhenti menatapnya dari atas sana.

“ce-pheett.. hggh..”

Sabia membuka seluruh kain yang ia pakai, menjadi mulus tak tertutup apapun. Ia mengocok penisnya, sembari terus menyaksikan Sea memohon dengan membuka lebar kakinya meminta untuk disetubuhi, dengan napsu yang naik hingga keubun-ubun. Sabia kembali mendekat, menciumi kaki jenjang milik sang suami yang terangkat keudara, mencium hingga kedalam pangkal paha mulus miliknya. Menyisakan banyak tanda cinta agar hanya mereka yang tau, bahwa area ini adalah milik suaminya. Setelah beberapa kali jilatan dan isapan pada cincin berkerut yang basah, Sabia kembali menghujamkan kejantanannya pada lubang Sea yang telah terbuka. Sea kembali mengerang keras, setelah tubuhnya digempur tanpa ampun.

Sesuatu seperti mendorong dari perut ke kerongkongannya, ia menahan gejolak aneh diantara lonjakkan tubuhnya oleh dorongan kuat penis sang suami didalamnya.

Sabia mendesis, menyuarakan nama Sea dan betapa ia mencintainya. Hujaman tepat dititik nikmat Sea, menghasilkan kedutan dahsyat pada sekujur tubuhnya. Beberapa kali hentakkan keras Sabia berikan dengan erangan kencang tanda ia sampai.

“I’m coming baby.. deep inside. You want me to get you pregnant sayang.. hng? I’ll make you pregnant baby?uh-uh? Yes.. Erghh..”

Sabia sampai ketika dialog itu benar benar membuat Sea ada dititik klimaksnya, undangan Sabia untuk membuahinya terdengar begitu erotis sehingga ia sampai pada puncaknya.

“yesh Bia.. hamilin aku Bia.. sshhaahhh.. I’m cumming”

Mereka berdua roboh setelah Sabia selesai menanamkan benih itu kembali jauh didalam Sea. Sempat bernapas beberapa saat, tiba-tiba gejolak itu timbul lagi, menekan perutnya seolah meminta dikeluarkan.

“urrrgghh…”

Sea segera bangkit walau kakinya sempoyongan, Sabia yang panik bangun dan membawa tubuh telanjang itu dalam pelukan.

“hey, hey sayang what happened?”

“urrggh..”

Sea berlari menuju sink yang ada dibelakang bench dapurnya, mengeluarkan seluruh isi perutnya. Melihat tubuh tanpa sehelai benang itu terlonjak memuntahkan cairan bening terus menerus, Sabia kemudian membawa satu kain besar menyelimuti tubuh telanjang suaminya.

Setelah selesai, kini Sabia mengangkat tubuh itu untuk ia bawa ke kamar utama mereka. Merebahkannya pada kasur besar miliknya ditengah ruangan.

you stay here honey, aku akan ambil air untuk menyeka badan kamu. Mau teh dan madu?”

Sea hanya bisa mengangguk lesu, adegan muntahnya terlalu menguras tenaga. Ia lelah, setelah sedikit menangis saat seluruh perutnya dipaksa untuk keluar. Tak lama, Sabia kembali dengan satu baskom air dan satu mug yang memenuhi kedua tangannya, ia berlutut menyamakan tinggi mereka dengan Sea yang terlentang diatas kasur.


“minum dulu sayang.” Sabia mengangkat sedikit kepala Sea untuk dapat meminum teh hangat yang ia buat, sedikit merasa lebih baik Sea kembali merebahkan tubuhnya saat mendapatkan layanan extra setelah bersetubuhannya.

“angkat kakinya boleh?” Dengan telaten, Sabia mengusapkan kain hangat pada tubuh berpeluh milik Sea, tidak lupa membersihkan bagian bokong dimana cairan miliknya terus menetes keluar dari sana.

Setelah bersih, Sabia segera melumuri tubuh sang suami dengan minyak hangat dan bedak bayi sesuai permintaan Sea agar tubuhnya semakin membaik. Dan setelah membersihkan dirinya sendiri, Sabia kemudian naik ikut merebahkan diri disamping Sea.

“sudah lebih baik?” Sabia membawa tubuh itu ke dadanya memberikan usapan halus pada punggung yang telah terbalut piyama.

“uh-uh.” Ujarnya singkat.

“kalau masih muntah besok, kita berobat ya sayang?”

Lagi, Sea menanggapinya dengan anggukan, karena kantuk mulai menyerang. Ciuman terus ia dapatkan dari sang suami, beserta usapan ditubuh belakangnya. Tapi Sea membawa tangan besar itu untuk mendarat pada bokongnya.

“puk puk my bumbum Bibya.” Ucapnya setengah sadar.

Menahan gemas, Sabia mempererat pelukannya. Sembari mengabulkan permintaan sang suami untuk menepuk pantatnya hingga ia terlelap. Menggumamkan lagu mengiringi sang mimpi untuk segera menjemput.

“you are my sunshine—my only sunshine. You make me happy when skies are gray—You'll never know dear, how much I love you Please don't take my sunshine away—”