enceinte

“You never understand life until it grows inside of you”

Hari yang sama sebelum dua puluh empat jam berlalu. Ketika Sabia sampai dikediamannya yang kali ini gelap terselimuti kelam. Hanya binar keemasan berasal dari lampu-lampu  gedung pencakar langit, yang rela berbagi cahayanya untuk menerangi wajah gundah ditengah diamnya menatap malam.

Langkah berat itu terasa menapak pada permukaan pasir hisap. Semakin lama, tubuhnya semakin terserap kedalam tanah. Sabia dan semua pikiran buruknya berdefile bersarang diotak. Ia memikirkan banyak sekali skenario tentang bagaimana kisah mereka berlanjut setelah kejadian tadi.

Terlebih Sagitta sudah mengambil sumpah atas perbuatannya. Dia akan bertanggungjawab penuh atas penjelasan mengenai kejadian tadi kepada Sea. Serta untuk berhenti mengganggu dan menghilang dari kehidupan mereka, Sabia kira itu sepadan.

“sayang.” Panggilannya terdengar seperti decitan, suaranya ragu mengusik sosok kesayangannya yang tengah tertegun sendu. Sabia menghampiri suami tersayangnya yang tengah diselimuti pekat.

Sea menatapnya dari sofa dengan dahi yang mengkerut, rahang yang mengeras serta kakinya yang kini turun dari atas sofa. Tubuh itu berdiri kemudian berjalan menghampiri Sabia yang sedikit bergidik melihat ekspresi yang Sea buat.

Sea berjalan dengan kesal, kedua tangan itu terbuka. Membawa pundak lebar Sabia untuk ia bawa duduk. Dengan satu gerakan cepat, kaki jenjangnya ia bawa keatas sofa dan melompat ke pangkuan Sabia. Beruntung, Sabia belum terlalu tua untuk menerima serangan tiba-tiba dari tubuh Sea yang bongsor.          Ia dengan sigap memeluk pinggang ramping sang suami saat tubuh itu melompat kepangkuannya.

Dapat ia lihat dengan jelas dari bawah sini, mata indah itu tergenang, sorot kesal mendominasi paras manisnya. Dengan tertutup rambut yang berjatuhan menutupi wajah, ia mengangkat lengan yang tertutup kemeja, menggosok daerah bibir yang menjadi sasaran emosinya.

“this-Is—mine! No—one can kiss you but— me!”

Tangan itu bergerak serampangan terus menerus menggosok bagian mulut Sabia, pria yang lebih tua tidak memberikan perlawanan. Ia membiarkan sang suami menghukumnya, karena lalai.

Badannya sedikit menjengit ketika kancing dari lengan kemeja meluka ujung bibirnya, sedikit mengaduh, akhirnya Sea berhenti.

**“u-udah bersih..”**Sea tergugup ketika menemukan bibir sang suami sedikit mengeluarkan darah akibat kancing lengan bajunya.

“a—aku marah.”

Sabia tau, ketika suaminya marah ia akan keluar dari kerumunan, menenangkan diri sebelum mengambil tidakan.

“I know my love.” Sabia mengelus pinggang ramping itu dengan sayang.

“aku kesel.” Pria lebih muda mengusap bagian dimana darah itu keluar. Nada suara Sea semakin bergetar.

**“yes, sweety you must be.” **namun Sabia bangga karena Sea tidak meluapkan emosinya langsung saat itu juga. Ia lebih baik pergi sebelum amarah menguasai logikanya.

“I'm sorry Bia. I know, it will never be you who means it.”

“yes sayang, you are forgiven.”


“ah..shhh..Bibya.”

Sabia bisa merasakan kejantanannya bereaksi atas leguhan yang tercipta dari bibir manis Sea. Penisnya kini semakin bangkit dari tidurnya. Ia kembali mencium sang suami dan beralih menciumi leher jenjangnya. Menyapu dan menyesap meninggalkan bekas kontras dilehernya yang putih.

Tangan kekar berpindah pada bukit kembar yang padat berisi, meremas dan menekannya dengan gerakan statis. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan dengan bebas memainkan puting kesukaannya dibalik kemeja putih yang berhasil ia tarik keatas. Memilin dan menggaruknya dengan ujung jari.

“gigit ini.” Sabia membawa ujung kemeja Sea untuk digigit, menampilkan pemandangan yang akhir-akhir ini menjadi bagian favoritnya.

Desahan lantang menggema keseluruh ruangan ketika pucuk tubuh Sea disesap dengan keras. Lidah itu bermain disana, memutar dan terus menyesap putingnya hingga kemerahan.

Sabia kembali mencium bibir basah sang suami dengan beberapa lumatan kecil. Sea meleguh nikmat, membawa panggulnya bergerak sesuai dengan remasan yang ia terima didadanya. Tiba-tiba punggung itu menegang, saat menyentuh kejantanan sang suami yang mengeras tepat di depan perutnya.

Sabia membalas lumatan yang Sea berikan pada bibirnya karena kini pandangan Sea berpindah pada bagian bawah tubuh sang suami. Jemari lentik itu bergerak turun menyentuhi gundukan keras diantara kedua pahanya. Mengusapnya dibalik celana lengkap yang ia  gunakan.

“mereka kelihatannya sesak Bia.” bisiknya saat sang suami sibuk menciumi wajahnya.

Dengan lancang tangannya mengusik menyelusup kedalam celana Sabia. Menyentuhi secara langsung kejantanannya dari dalam kain yang ia kenakan. Sea itu jauh dari kata malu-malu. Dia bahkan berani mengeksplor tubuh sang suami menciuminya hingga ke perut membuatnya meleguh nikmat.

Tangannya bergerilya menaik turunkan kejantanan sang suami ketika menemukannya dan mengeluarkannya dari dalam sangkar kain yang ketat. Sea menyentuhinya dengan kedua tangan perlahan, sambil menciumi pack pack diperut suaminya.

Sabia menghentikan pergerakan tangan Sea saat tubuhnya hampir merosot menunduk berlutut didepan kejantanannya. Sabia mengangkat tangan agar dia kembali berdiri. Namun karena dikuasai nafsu, Sea melepas seluruh bawahan yang ia pakai saat Sabia meminta Sea untuk tetap memakai baju atasnya lalu kembali kepada posisi dimana bokongnya tepat berada pada kepala penis sang suami.

“get In B-bia.”

Perlahan, Sabia melumuri kejantanannya dengan banyak saliva,  membuka jalan menggunakan jari jarinya untuk masuk kedalam liang senggama milik Sea, tubuh diatasnya mengejang saat jari jari panjangnya berhasil menyentuh titik sensitif dalam kocokan yang teratur, Sea terus meleguh keenakan sementara Sabia menjadi saksi setiap tetes peluh yang bercucuran.

Cukup dengan semua stimuliasi pembuka, Sabia menuju pada hidangan utama. Ia membuat gerakan memutar menggunakan penisnya disekitan lubang dimana miliknya akan tertanam dalam. Ini yang kesekian kalinya mereka bersenggama, terlalu banyak emosi yang tercipta, entah mengapa setiap kali melakukannya selalu terasa jauh lebih luar biasa.

Mulutnya ia bawa untuk terus mengulum pucuk indah sang suami sembari perlahan melesakkan kejantanan yang tebal miliknya masuk. Leguhan keras berasal dari Sea, terdengar bergetar karena kemeja miliknya masih tersumpal disana. Sea ternyata anak yang penurut, Sabia belum memerintahnya untuk melepas kemeja yang digigitnya, dan Sea masih melakukannya dengan baik.

“who’s the good boy? Are you a good boy baby?”

“hhgnhh.. ngggh…yes bbyaah”

Sabia berhasil memasukkan kejantanannya dengan erangan nikmat pada lubang sempit favoritnya, Sea kini berposisi duduk dengan penis tebal milik sang suami yang tertanam didalamnya. Tangannya bergetar, kemejanya basah menampung lelehan saliva dari desahan yang terhalang.

Tangan Sabia meremas pipi bokong Sea yang telanjang, mengangkatnya dalam gerakan horizontal agar penis itu keluar dan kembali masuk. Menghasilkan bunyi erotis yang berasal dari pertemuan kulit serta desahan panjang dari mulut suami manisnya.

Sabia kembali menanamkan kejantanannya semakin dalam dalam sekali hentak. Membuat Sea bangkit dari posisinya dan menjerit. Tangannya meremas kedua pundak Sabia yang masih terhalang jas yang terakhir ia pakai, dalam hentakka terakhir Sea setengah berteriak menerimanya.

“ahhhkkk.. my God.”

Sabia menggerakkan pinggul Sea dengan gerakan memutar, suhu diruangan mereka memanas karena aliran listrik yang belum dinyalakan, peluh menyelimuti kedua tubuh yang terus bergesekan diatas sofa. Namun kini beban tangan Sabia semakin berat karena tubuh sang suami melemas.

Dalam satu gerakan, ia membawa tubuh Sea untuk ia tidurkan diatas sofa ruang tamu miliknya, seluruh jendela terbuka mempertontonkan adegan panas mereka kepada dunia. Sabia melepas penyatuan mereka yang diiringi protes dan rengekan keras dari sang suami.

“hggg..hiks Bia.” Tangan itu terjulur keudara, meminta penyatuan kembali bermula. Sea menggeliatkan tubuhnya pada kain sofa tebal berwarna hitam itu, memohon kepada sang suami untuk berhenti menatapnya dari atas sana.

“ce-pheett.. hggh..”

Sabia membuka seluruh kain yang ia pakai, menjadi mulus tak tertutup apapun. Ia mengocok penisnya, sembari terus menyaksikan Sea memohon dengan membuka lebar kakinya meminta untuk disetubuhi, dengan napsu yang naik hingga keubun-ubun. Sabia kembali mendekat, menciumi kaki jenjang milik sang suami yang terangkat keudara, mencium hingga kedalam pangkal paha mulus miliknya. Menyisakan banyak tanda cinta agar hanya mereka yang tau, bahwa area ini adalah milik suaminya. Setelah beberapa kali jilatan dan isapan pada cincin berkerut yang basah, Sabia kembali menghujamkan kejantanannya pada lubang Sea yang telah terbuka. Sea kembali mengerang keras, setelah tubuhnya digempur tanpa ampun.

Sesuatu seperti mendorong dari perut ke kerongkongannya, ia menahan gejolak aneh diantara lonjakkan tubuhnya oleh dorongan kuat penis sang suami didalamnya.

Sabia mendesis, menyuarakan nama Sea dan betapa ia mencintainya. Hujaman tepat dititik nikmat Sea, menghasilkan kedutan dahsyat pada sekujur tubuhnya. Beberapa kali hentakkan keras Sabia berikan dengan erangan kencang tanda ia sampai.

“I’m coming baby.. deep inside. You want me to get you pregnant sayang.. hng? I’ll make you pregnant baby?uh-uh? Yes.. Erghh..”

Sabia sampai ketika dialog itu benar benar membuat Sea ada dititik klimaksnya, undangan Sabia untuk membuahinya terdengar begitu erotis sehingga ia sampai pada puncaknya.

“yesh Bia.. hamilin aku Bia.. sshhaahhh.. I’m cumming”

Mereka berdua roboh setelah Sabia selesai menanamkan benih itu kembali jauh didalam Sea. Sempat bernapas beberapa saat, tiba-tiba gejolak itu timbul lagi, menekan perutnya seolah meminta dikeluarkan.

“urrrgghh…”

Sea segera bangkit walau kakinya sempoyongan, Sabia yang panik bangun dan membawa tubuh telanjang itu dalam pelukan.

“hey, hey sayang what happened?”

“urrggh..”

Sea berlari menuju sink yang ada dibelakang bench dapurnya, mengeluarkan seluruh isi perutnya. Melihat tubuh tanpa sehelai benang itu terlonjak memuntahkan cairan bening terus menerus, Sabia kemudian membawa satu kain besar menyelimuti tubuh telanjang suaminya.

Setelah selesai, kini Sabia mengangkat tubuh itu untuk ia bawa ke kamar utama mereka. Merebahkannya pada kasur besar miliknya ditengah ruangan.

you stay here honey, aku akan ambil air untuk menyeka badan kamu. Mau teh dan madu?”

Sea hanya bisa mengangguk lesu, adegan muntahnya terlalu menguras tenaga. Ia lelah, setelah sedikit menangis saat seluruh perutnya dipaksa untuk keluar. Tak lama, Sabia kembali dengan satu baskom air dan satu mug yang memenuhi kedua tangannya, ia berlutut menyamakan tinggi mereka dengan Sea yang terlentang diatas kasur.


“minum dulu sayang.” Sabia mengangkat sedikit kepala Sea untuk dapat meminum teh hangat yang ia buat, sedikit merasa lebih baik Sea kembali merebahkan tubuhnya saat mendapatkan layanan extra setelah bersetubuhannya.

“angkat kakinya boleh?” Dengan telaten, Sabia mengusapkan kain hangat pada tubuh berpeluh milik Sea, tidak lupa membersihkan bagian bokong dimana cairan miliknya terus menetes keluar dari sana.

Setelah bersih, Sabia segera melumuri tubuh sang suami dengan minyak hangat dan bedak bayi sesuai permintaan Sea agar tubuhnya semakin membaik. Dan setelah membersihkan dirinya sendiri, Sabia kemudian naik ikut merebahkan diri disamping Sea.

“sudah lebih baik?” Sabia membawa tubuh itu ke dadanya memberikan usapan halus pada punggung yang telah terbalut piyama.

“uh-uh.” Ujarnya singkat.

“kalau masih muntah besok, kita berobat ya sayang?”

Lagi, Sea menanggapinya dengan anggukan, karena kantuk mulai menyerang. Ciuman terus ia dapatkan dari sang suami, beserta usapan ditubuh belakangnya. Tapi Sea membawa tangan besar itu untuk mendarat pada bokongnya.

“puk puk my bumbum Bibya.” Ucapnya setengah sadar.

Menahan gemas, Sabia mempererat pelukannya. Sembari mengabulkan permintaan sang suami untuk menepuk pantatnya hingga ia terlelap. Menggumamkan lagu mengiringi sang mimpi untuk segera menjemput.

“you are my sunshine—my only sunshine. You make me happy when skies are gray—You'll never know dear, how much I love you Please don't take my sunshine away—”