Mama Thailand

holiday

#HOLIDAY

Pranburi Beach | minggu, 13.12 pm

Podd tersenyum menatap sang kekasih manisnya bergelut mesra di dalam rengkuhannya — sebelum akhirnya lengkungan bibir itu turun ke bawah, ketika beberapa detik kemudian, ia mendengar lengkingan suara dari seseorang di balik dapur.

“BANG KHAOOO!! MANASIN KOMPOR INI GIMANA CARANYA!!” teriak Pond yang baru saja pulang satu jam yang lalu — setelah diplonco abang-abangnya dari agenda belanja yang menyebalkan. Tidak buruk karena sedikit terhibur mendengar gerutuan pedas dari bibir patnernya kala itu, Phuwin.

“Sebentar ya mas ...,” mencoba melepaskan pelukan dari sang pacar, Khao beranjak menuju ke arah sumber suara.

Membuat Podd berusaha untuk bersabar dalam membagikan perhatian pacarnya untuk sahabat-sahabat jahanamnya.

. .

“Apa dek?” tanya Khao mendekati Pond yang sedari tadi sibuk mencari cara untuk menghidupkan kompor.

Phuwin yang menunggu Pond yang telah menjanjikan memasak untuknya, hanya menonton dari kursi makan. Menatap abangnya kesusahan.

“Bang ini gimana?? Kok pencet-pencet kaya gini?? Pond frustasi dengan kecanggihan teknologi yang membuatnya berpikir ingin mengambil semua bahan masakan tersebut dan mencoba membuat api untuk memanaskannya. Sangat kreatif, seakan bisa saja.

Khao mengoperasikan kompor elektrik yang sudah diajarkan Luke tadi malam saat mereka sampai. Tentu saja orang-orang seperti Pond dan yang lain melewatkan bagian dapur begitu saja tidak akan paham mencari cara untuk menghidupkannya.

Krataktaktaktak barrrr

“Nah, udah hidup.”

“Makasih bang—”

“Mau masak nasi goreng ya? Abang aja yang masakin,” tawar Khao mengajukan diri membuat mata Pond dan Phuwin yang mendengarnya bebinar senang.


Mix kembali tertidur meskipun sempat terbangun dan bermain sebentar bersama Neo dan Earth. Hangatnya air setelah mandi dan suasana sejuk udara pantai yang menerpa membuat mata itu menjadi berat. Salahkan dirinya yang terjebak di dalam mobil dimana anak-anaknya masih belum terlalu pandai mengemudi. Hanya Phuwin, itu pun disangsikan oleh yang lain untuk menyerahkan posisi pengganti untuk Mix saat ia lelah. Alhasil, Mix terus mengemudi dari Bangkok sampai ke sini.

“Siw, lo kesini bukan karena mau tidur kan? Ayo bangun! Luke sama Joss ngajakin kita ke pantai sebentar lagi.” Earth mencoba untuk membangunkan patner in the crime-nya dengan menepuk betis Mix. Tetapi tidak ada pergerakan sedikitpun dari sang empu—

“Yakin gak mau lihat Luke, Joss dan Bang Podd pake baju renangnya—”

SRAKKKK

. . .

“AYO PERGI ERD!!! GUA DAH BANGUN DAN SADAR SEPENUHNYA!!! DADA I'M COMINGGGGG!!!” teriak Mix cepat — meninggalkan Earth yang belum tuntas menyelesaikan omongannya.

“Agak sialan.”


“Te, sorry ganggu liburan lo, tapi gua butuh bantuan lo buat meriksa denda penjualan serat kain lap di Vietnam ....”

“Hm, kenapa?”

Suara helaan nafas terdengar, suara New terdengar bergetar di seberang telepon sebelum melanjutkan bicara, “Kacau Te, customer meminta kita untuk memeriksa kondisi FTA sekarang yang ternyata ada penambahan produk barang. Tetapi mereka menyebutkannya cuma dalam kontrak lisan dan Thanat melewatinya. Dia gak mikir banyak soal itu seperti sebelumnya kontrak kita diberlakukan.”

“Bukannya kapal itu berangkat besok?” Tay berusaha tenang, ia mengambil sebatang rokok dan menghembuskannya hingga asap itu mengepul ke luar jendela.

Ia melihat ke arah bawah yang terdengar agak bising. Anak-anak semuanya sedang bersiap-siap pergi ke pantai. Neo yang tidak sengaja mendongakkan kepalanya mendapati Tay yang masih berdiam di kamarnya lantai dua. Anak itu melambaikan tangannya ke arah Tay.

“BANG, AYO TURUN!! KITA BENTER LAGI BERANGKAT!!” Neo berusaha menguatkan suaranya agar sampai ke Tay. Namun hal tersebut juga mengundang perhatian anak-anak lainnya.

Tay menggeleng dan memberikan gesture tangan untuk tidak menyertakannya dalam perjalanan mereka. Ia ingin berdiam diri di kamar villa saja. Berkas-berkas data yang diberikan Arm, laptop yang menyala dan tak lupa juga bab 2 skripsi yang sudah di revisikan oleh Pak Mew telah menunggu manis untuk diselesaikan.

Tay ingin menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda, ditemani suara deru ombak dari arah selatan dan angin pantai yang berhembus sepai-sepoi.

“Te ....”

“Gua masih denger, Wi.”

“Kapalnya emang berangkat besok. Tapi costumer kita gak mau ngalah dan mereka bakal membatalkan kontrak kalau kita gak bisa memenuhi permintaan mereka sesuai dengan tanggal yang sudah disepakati sebelumnya.”

Tay diam saja. Mengambil skripsinya dan membaca hasil revisi yang penuh dengan coretan merah. Ia sedikit menyeringai merutuki dosen pembimbingnya yang tidak punya hati nurani.

“Gimana kalau kita mesen ulang?”

Tay menggeleng meskipun tahu New tidak akan melihatnya, “Gak bakal sempet, besok berangkatnya ...,” sanggah Tay cepat, “kecuali ada kapal lain lagi yang datang dengan cepat.”

“Te ... gimana ... abang bakal marah sama kami kalau dia tahu ... gua dan Thanat gak berani bilang ...,”lirih New pelan, amat pelan dan hampir tidak bisa didengar Tay — kalau suasana villa itu tidak sunyi tanpa teriakan anak-anak Safehouse.

“Selesaikan prosedurnya dan kalian berdua coba cari kapal lain yang berangkat di hari yang sama besok, kalaupun tetap gak dapat—konfirmasikan sama Namtan. Minta dia mencari pengiriman melalu transportasi udara. Cuma itu jalan satu-satunya,” usul Tay sambil mengetik revisi skripsi yang dimana dengan biadabnya oleh Pak Mew meminta Tay untuk mengulang semuanya.

“Biaya yang dikeluarin pasti banyak ... dan abang pasti gak bakal suka itu.”

“Prioritaskan untuk mencegah pembatalan kontrak, kepercayaan klien kita dipertaruhkan. Bilang itu sambil meminta maaf dengan tulus. Suruh Thanat.”

Tidak ada lagi percakapan. Hanya suara ketikan Tay yang menemani kesunyian dari keduanya.

“Te?”

“Apalagi?”

“Bukannya lo lagi liburan? Kok gua dengerin lo kaya lagi ngetik sesuatu?”

“Gak ada kata liburan buat orang-orang yang ngejer wisuda kaya gua, Wi. Udah dulu telponnya gua tutup.”